Tidak terasa Pilpres 2019 sudah semakin dekat, sisa 1 tahun lebih aja. Dengan demikian, suasana politik pun sudah semakin memanas berbarengan dengan Pilkada serentak 2018.
Tentu itu menjadi wajar, Pilkada 2017 yang sudah lalu serta Pilkada 2018 yang akan datang akan sangat menentukan siapa yang akan berkuasa di 2019 nantinya.
Semakin banyak daerah yang dikuasai, maka semakin mudah untuk menguasai nasional di 2019 nanti, terutama jika mampu menguasai 5 daerah besar yang ada, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Tentu daerah lain selain 5 ini juga akan menentukan, namun 5 daerah ini yang akan memakan porsi yang lebih banyak karena jumlah pemilih yang relatif lebih besar dibanding daerah lainnya.
Selain menguasai daerah, sosok yang diusung juga akan sangat menentukan partai mana atau siapa yang akan berkuasa di 2019 nantinya.
Kalau melihat kondisi saat ini, dengan pembangunan yang sudah semakin terasa dan merata yang dilakukan oleh Presiden saat ini, yaitu Jokowi, tentu Jokowi akan menjadi sosok petahana yang akan sangat diperhitungkan oleh siapapun lawannya nanti.
Sebagai pendukung Jokowi, sampai saat ini saya masih merasa Beliau masih menjadi sosok yang terbaik dari kemungkinan lawannya yang ada. INGAT..!!, terbaik bukan berarti tanpa cacat, Jokowi tetaplah manusia yang punya kekurangan. Terbaik itu artinya yang paling baik dari yang terlihat, bukan dalam arti KESEMPURNAAN.
Sebagai pendukung Jokowi, saya pun pernah mengkritik Jokowi. Sejauh yang saya ingat saya pernah mengkritik Jokowi yang tidak memakai helm saat naik ojek, saya pun pernah mengkritik soal Jokowi yang tidak memakai sabuk pengaman saat memantau proyek dan saya pun pernah mengkritik pembagian KJS serta kartu-kartu lain yang sangat mungkin tidak tepat sasaran (dapat masukan dari komentar di posting Jokowi sendiri). Artinya apa? Jokowi juga ada cacat-cacatnya juga. Hanya saja cacatnya tidak terlalu banyak.
Dengan kata lain, seandainya jika nanti muncul lawan yang lebih baik darinya, maka status “terbaik” itu akan otomatis lepas, dan saat itu juga saya akan beralih ke yang lebih baik dari dia itu. Ini serius, sebagai pemilih, sebuah kewajiban memilih yang terbaik sesuai pertimbangan dan bukti nyata yang ada. Kira kira seperti itu.
Namun sekarang jangankan ketemu yang lebih baik, saya bahkan belum jelas sebenarnya siapa yang akan menjadi lawannya. Saya, sebagai yang aktif di Facebook dan banyak mengikuti grup-grup baik yang oposisi atau yang mendukung pemerintahan, kadang-kadang sangat susah menemukan sosok lawan Jokowi yang bisa saya jadikan pertimbangan.
Bayangin aja, baik grup yang pro atau kontra, semua isinya tentang Jokowi. Ada-lah beberapa yang lain tentang sosok lain, tapi tidak sampai 10% dari total yang isinya tentang Jokowi. Bedanya mungkin yang pro isinya tentang kelebihan Jokowi, sedangkan yang kontra isinya tentang buruknya Jokowi. Hanya itu saja.
Namun, info lengkap beserta track record yang seharusnya menjadi hal yang paling penting untuk dijadikan bahan pertimbangan buat pemilih tentang sosok yang akan jadi lawan Jokowi nyaris tidak pernah terlihat. Selain itu, juga tidak ada yang bisa jadi referensi yang memadai termasuk baliho-baliho bertulisan “Prabowo Presidenku” yang beredar, yang ingin merebut kekuasaan layaknya penjajah yang tidak punya prestasi tapi ngebet berkuasa sehingga tidak mampu bersaing sehat dan harus menggunakan rebut dengan menghalalkan segala cara.
Saya pernah mencoba memancing dengan posting-an beberapa kali dengan kalimat yang berbeda-beda yang intinya bertanya apa prestasi atau track record presiden pilihan orang yang membenci Jokowi ke grup yang ada pembenci Jokowi. Saya tidak mendapat jawaban apa-apa selain hujatan, hinaan kepada saya pribadi atau meme-meme tentang kejelekan Jokowi. Hasilnya saya diblok dan dilarang untuk mem-posting digrup tersebut. Hahahaha…
Jadi jangan aneh kalau Jokowi semakin terkenal, sedangkan lawannya semakin tidak jelas keberadaannya. Kita harus jujur, terlepas terkenal karena hal positif ataupun negatif, nama Jokowi semakin meroket sedangkan lawannya semakin nyungsep karena ulah pembenci Jokowi sendiri yang terus mempromosikan gambar Jokowi yang turut menambah simpati orang yang mungkin masih ragu dengan pilihannya.
Kalau berdasarkan peta politik saat ini dan Pilpres 2014 lalu, memang yang terlihat lawan Jokowi kemungkinan hanya dua, yaitu Anies dan Prabowo.
Kemungkinan lebih besar ada di Prabowo, mengingat pendukungnya masih pada belum ejakulasi dan belum menerima kenyataan sejak Pilpres sebelumnya, sedangkan Anies mungkin hanya menjadi harapan baru yang masih segar dan perlu dipantau lebih lagi bagi yang belum ejakulasi tadi serta Anies harus jadi pengkhianat kalau seandainya ingin nyapres.
Tapi hal sebaliknya kalau kita nilai berdasarkan UU Pemilu yang baru tentang Presiden Threshold atau ambang batas. Jujur harus dikatakan, sebenarnya Prabowo nyaris tidak ada kesempatan untuk nyapres.
Karena nanti serentak dengan Pileg maka jumlah kursi yang dipakai adalah yang ada saat ini di DPR atau hasil Pilpres 2014 lalu menurut putusan MK, yakni PDIP (109 / 19.4%), Golkar (91 / 16.2%), Gerindra (73 / 13%), Demokrat (61 / 10,9%), PAN (48 / 8.6%), PKB (47 / 8.4%), PKS (40 / 7.1%), PPP (39 / 7%), Nasdem (36 / 6.4%), Hanura (16 / 2.9%). Sumber : Harus Koalisi di Pilpres, Begini Peta Kekuatan Parpol di DPR
Gerindra hanyalah punya 13% masih butuh dukungan partai lain. Seandainya tidak ada partai yang mendukung jelas Prabowo harus gigit jari dan tidak bisa nyapres di 2019 serta kemungkinan akan pensiun.
Bagaimana dengan PKS dan PAN?
PKS memang sangat mungkin berkoalisi dengan Gerindra, sedangkan PAN sendiri sekarang pun masih mendukung pemerintah, walaupun memang agak suka menentang pemerintah.
Bagaimana dengan partai lain? Jujur saja, kalau saya jadi ketua partai, saya akan mempertimbangkan dengan serius soal dukungan kepada sosok yang sudah dua kali gagal, ini belum termasuk kegagalan dalam mengurus rumah tangga. Tentu ini berlaku juga untuk PAN dan PKS, ini jelas sangat serius dan bukan hinaan, mana mungkin kita masih mendukung sosok yang sudah gagal berkali-kali? Capek dan mubajir aja, kecuali sosok itu mampu membayar harga atau memenuhi kepentingan partai yang ingin mereka ajak berkoalisi. Dengan kata lain, ada harga yang harus dibayar baik berupa kepentingan atau lainnya oleh sosok yang sudah berkali-kali gagal untuk mendapat dukungan dari partai lain.
Saya pikir saya tidak perlu terlalu detail menjelaskan dampak-dampak negatif dari soal bayar harga ini. Kalau loe cerdas, loe pasti tau deh dampaknya.
Jadi pada intinya, siapa yang akan jadi lawan Jokowi memang masih sangat tidak jelas. Selain itu, politik seperti ini pun masih bisa berubah-ubah.
Mana tahu nanti Prabowo akan legowo dengan mengusung Anies seperti Megawati yang dulu legowo dengan mengusung Jokowi. Kan bisa saja demikian.
Ok lah. Sebagai pendukung Jokowi, pasti sangat menantikan siapa sebenarnya sosok yang akan jadi lawan Jokowi nantinya. Tentu yang kita harapkan lawannya nanti bisa bersaing secara sportif, secara jujur serta sosok yang mampu menegur dan bertindak tegas terhadap pendukungnya yang suka memanfaatkan isu sara serta fitnah murahan sebagai bahan kampanye. Kampanye yang bahkan rela secara tidak manusiawi menelantarkan mayat serta mengutuk orang hanya karena beda pilihan politik. Cukup Jakarta aja yang jadi korban kampanye kotor dan jijik.
Kalau ada yang bisa berteriak tidak perlu menjadi orang beragama, cukup jadi manusia untuk perduli kepada Rohingya. Hal mayat mestinya juga demikian, tidak perlu jadi orang beragama, cukup jadi manusia untuk perduli dan prihatin jika melihat ada mayat, akhir hidup seorang manusia yang ditelantarkan hanya karena berbeda pilihan politik.
Ok lah Sekian..
Hans Steve