sumber: embajadaindonesia.es
Ananda Sukarlan, Alumni Kanisius mendadak lebih populer dari sebelum-sebelumnya. Tindakannya melakukan Walk Out saat Anies Baswedan berpidato, menuai pujian, sekaligus kecaman dari berbagai pihak.
Bagi saya, Ananda layak mendapat pujian, karena dia berani menyuarakan ketidaksukaannya dengan cara yang elegan. Dia tidak berteriak-teriak, marah-marah, mencaci-maki seperti kebiasaan kaum onta atau menghasut alumni yang lain untuk keluar, cukup dia sendiri yang berjalan keluar. Sisanya mengikuti, bahkan yang sedang berpidato pun tidak menyadarinya.
Dalam pidatonya, Ananda menyampaikan kritik terhadap panitia acara yang sengaja mengundang tokoh yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Kanisius. Nilai-nilai tersebut adalah Competence (kepintaran), Conscience (hati nurani), dan Compassion (kepedulian terhadap sesama).
Prinsip 3C ini merupakan dasar yang bisa dikembangkan lagi mencakup sikap kejujuran, sikap “man for and with others” (kita hidup untuk dan bersama sesama), Semangat Ignatian yang dibangun oleh Ignatius Loyola, yaitu Ad Maiorem Dei Gloriam (Demi Lebih Besarnya Kemuliaan Tuhan), Magis (Unggul), Refleksi (Melihat Ke Dalam Diri Sendiri), Diskresi (Mampu Membedakan Perbuatan Baik Dan Jahat). Itulah prinsip dasar yang diyakini oleh seorang Ananda Sukarlan dan dijalaninya.
Dan Ananda Sukarlan tidak melihat ke 3 ciri tersebut dalam diri orang yang memberikan pidato.
Competence (Kepintaran/Kompetensi), apakah yang memberikan pidato tersebut pintar? Secara akademisi sudah pasti, apalagi lulusan luar negeri, tapi apakah memiliki kompetensi? Menguasai masalah?. Jelas tidak, keunggulannya hanyalah pandai merangkai kata-kata, tidak lebih dari itu.
Conscience (hati nurani), bagaimana orang yang menghalalkan segala cara untuk menang, memanfaatkan ayat dan mayat, diajak bicara hati nurani? Tentu kata-kata tersebut tidak ada dalam kamusnya
Compassion (kepedulian terhadap sesama). Bila 2C diatas tidak dimiliki, bagaimana mungkin memiliki C yang ketiga?
Tindakan Ananda Sukarlan saya katakan sebagai tindakan seorang Gentleman, jadi jangan dibandingkan dengan perlakuan kaum onta terhadap Djarot, yang diusir dengan kasar dari Masjid oleh orang-orang yang mengaku paling Islami, paling beradab, paling santun saat kampanye yang lalu, jelas tidak Equil to Equil.
Seandainya saya atau Anda para pembaca berada diposisi dan memiliki prinsip seperti Ananda Sukarlan, tentu akan berbuat hal yang sama, tidak percaya? Coba bayangkan, saat Anda harus duduk di depan orang yang begitu memuakkan, menjijikkan, entah sifat, sikap atau cara bicaranya serta bertentangan dengan prinsip prinsip yang Anda yakini, kata kata yang dia ucapkan sudah seperti kotoran yang tercemplung dalam toilet dan saat itu Anda sedang makan, tentu akan membuat anda merasa mual, jijik dan ingin muntah, cara yang paling sopan tentulah pergi menghindar ke tempat atau ruangan lain. Memaksakan diri anda tetap ada disana lalu muntah-muntah, bukankah hal tersebut lebih tidak sopan?
Jadi saya tidak mengerti kenapa Ananda Sukarlan harus dikecam? Bahkan ada yang sampai menuduh dirinya kafir, menyeret nyeret ke masalah agama segala, apa hubungannya coba?. Bahkan ada ajakan boikot Traveloka karena dianggap pemiliknya mendukung tindakan Ananda Sukarlan. Padahal pemilik Traveloka tidak hadir di acara tersebut. Dulu Sari Roti, lalu Equil dan sekarang Traveloka.
Kolese Karnisius sampai harus mengirim surat untuk klarifikasi dan meminta maaf kepada Anies. Meminta maaf untuk apa?. Anda Kolase Karnisius harusnya bangga dengan Ananda Sukarlan. Karena dia memberikan contoh untuk tidak menjadi orang yang bertopengkan kemunafikan.
Cara dia menunjukkan ketidaksukaannya sangat baik. Dia tidak pura pura tersenyum dan mendengar dengan antusias tapi mengutuk dan mengumpat didalam hati. Karena banyak orang yang berperilaku sopan, ucapan santun tapi dalamnya bejat.
Ada yang pura pura bodoh, berpura pura konyol, berpura pura menunjukkan dirinya santun, tapi hatinya penuh dendam sehingga ketika dia menggantikan pendahulunya, segala aturan yang baik dan dibuat pendahulunya ingin dia acak-acak, ingin dia rubah atau hilangkan. Padahal peraturan baru yang dia buat malah jauh lebih buruk dan terkesan asal-asalan, kalaupun ada yang bagus itu karena menjiplak dan ganti nama saja.
Tapi inilah dunia yang kita tempati, dimana kebusukan yang dibalut kesantunan lebih dihormati daripada kejujuran berbalut kekasaran.
Coba perhatikan perdebatan di dunia maya atau di sosmed, orang-orang yang mengaku dirinya paling Islami, mengutuk pemimpin kafir yang katanya ucapannya kasar, justru caciannya yang paling kotor. Orang-orang yang memuja dan memuji pemimpin yang katanya santun dan seiman, justru saat berdebat dengan orang lain, tidak pantang mengeluarkan kata kata paling jorok. Hasil didikan siapakah itu?.
Seakan-akan kita semua tidak boleh berbeda pendapat dengan mereka, bila berbeda, dengan mudahnya kita dilabeli dengan kata kafir dan dicaci-maki, mereka lupa untuk melihat ke dalam diri sendiri, sudah seberapa dalam mereka memahami agamanya, sudah seberapa jauh mereka meneladani sikap Rasulullah. Akan lebih baik, sebelum memaki orang lain, kita berkaca dulu seberapa suci diri kita sebenarnya, atau jangan-jangan diri kita masih kotor, sekotor makian kita kepada orang yang kita maki.
Tentu mereka tidak akan berpikir sejauh itu, karena lebih gampang menyalahkan orang lain daripada mengoreksi kelakuan sendiri. Sifat tidak mau mengalah, sifat ngeyel dan tidak mau berpikir sudah menjadi sifat yang melekat dalam diri mereka. Jadi tidak salah kalau saya menyebut mereka sebagai kaum Onta (Otak Nol Tapi Angkuh), bukan saya yang menciptakan istilah tersebut, tapi saya tidak keberatan untuk mempopulerkannya.
Ref
m.alamatku.detik.com
http://megapolitan.kompas.com