Setelah sebelumnya menyontek cara Ahok menangani banjir di Jatipadang yang ketika kampanye katanya tidak akan menggusur tapi sekarang menggusur. Anies kali ini ketahuan nyontek lagi saat meluncurkan Kartu Lansia Jakarta pada tanggal 21 Desember 2017 di Lapangan Monas, yaitu pemberian dana bantuan sebesar Rp. 600.000/bulan untuk para lansia.
Pada masa Ahok, sebenarnya sudah ada yang namanya KJL (Kartu Jakarta Lansia). Nilai dana bantuan yang diberikan juga Rp. 600.000/bulan untuk para lansia dan semuanya menggunakan dana operasional Ahok sebagai Gubernur serta bantuan dari CSR (Corporate Social Responsibility).
Sedangkan Anies ketika kampanye dulu menjanjikan dana bantuan sebesar Rp. 300.000/bulan, setelah menjabat ternyata nilainya berubah menjadi sama seperti yang dijalankan Ahok, yaitu Rp. 600.000/bulan. Dan dana tersebut diambil dari APBD.
Terlepas dari hal tersebut, tentu saja kita harus bersyukur bahwa lansia mendapatkan perhatian dari pemerintah. Hanya saja apa tidak malu? Ketika kampanye dulu mengkritik habis-habisan program petahana, tapi setelah berhasil menang, malah mengambil program petahana menjadi programnya hanya dibolak-balik saja kata-katanya dari Kartu Jakarta Lansia (KJL) menjadi Kartu Lansia Jakarta (KLJ).
Itu kan ibarat orang yang menjilat ludahnya sendiri. Apalagi background gubernur kita dari latar belakang pendidikan, bukankah contek menyontek itu haram di dunia pendidikan?. Bagaimana dunia pendidikan kita bisa maju kalau tokoh pendidikannya jago nyontek?.
Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang dua-duanya adalah lulusan luar negeri, harusnya punya inovasi yang lebih baik daripada Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya yang hanya lulusan dalam negeri. Bukannya cuma bisa ambil program orang lain bulat-bulat, lalu ganti nama kemudian diterapkan, itu namanya copy paste, kalau begitu buat apa ganti gubernur, mendingan suruh Gubernur dan Wakil Gubernur yang lama saja untuk lanjutin.
Apa perlu saya kasih contoh supaya kelihatan beda dan tidak ketara sekali contekannya? Kan bisa saja misalnya bantuan langsung tunainya Rp. 600.000/bulan plus check kesehatan gratis setiap bulannya. Masih mirip?. Bagaimana dengan ini, Balai Kota dijadikan tempat penampungan bagi para lansia. Toh waktu kampanye kemarin kan katanya Gubernur dan Wakil Gubernur mau mengantor di kepulauan seribu?. Jadi ya manfaatkan saja Balai Kota, rubah jadi tempat menampung para lansia, lakukan pemeriksaan kesehatan setiap bulan, biaya hidup ditanggung oleh pemerintah daerah, berdayakan, berikan kegiatan berupa kursus atau kerajinan bagi yang kondisi tubuhnya masih memungkinkan.
Atau bila tetap ingin pakai sistem kartu seperti KJS atau KJP, boleh-boleh saja, tak perlu bolak balik nama program Ahok, biar tidak dikatakan menyontek, buat sendiri.
Untuk kartunya bisa saja dinamakan KUL (Kartu Usia Lanjut), tempat pengambilan kartu bisa disebut TUKUL (Tempat Untuk pengambilan Kartu Usia Lanjut), sedangkan tempat mengambil dana bantuan bisa saja menjadi TUKUL ARWANA (Tempat Untuk Kalangan Usia Lanjut mengambil ARisan, WArisan dan DaNA). Tuh kan terlihat beda dengan punya Ahok, masa begitu saja perlu diajarin.
Belum lagi bila kita berbicara program “asli” Gubernur dan wakil gubernur yang saat kampanye dulu terasa begitu muluk dan mengawang-awang, ternyata prakteknya tak satupun yang bisa diterapkan 100% sama dengan janji ketika kampanye dulu.
Diantaranya yang sering kita dengar, katanya mau terapkan vertikal drainase untuk mengatasi banjir di Ibukota, mana buktinya? Katanya mau terapkan Rumah Petak DP 0, mana realisasinya, koq berubah jadi rumah lapis? Janjinya mau kasih modal untuk peserta Ok-Oce, koq lagi-lagi berubah menjadi hanya mendampingi untuk pinjam duit ke bank?.
Lagi-lagi benar kata Ahok, jangan hanya karena kebelet menjadi gubernur, akhirnya segala hal dijanjikan, bahkan hal-hal yang tidak masuk diakal sekalipun, yang celakanya dimakan mentah-mentah oleh pendukungnya.
Apa memang hanya segitu saja kemampuan Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru?. Tentunya sangat menyedihkan, bila seorang yang ahli merangkai kata tapi nol besar prakteknya, bisanya hanya mengambil program orang lain. Bila demikian halnya bukan kemajuan yang diraih, malah kemunduran yang didapat. Bukan Gubernur dan Wakil Gubernur berkualitas, malah Gubernur dan Wakil Gubernur gentong nasi yang kita peroleh.