Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tepatnya Gudbener DKI telah merevisi pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp 1 miliar. Dalam aturan yang baru, pembebasan pajak berlaku sampai 31 Desember 2019. Pergub ini ditetapkan pada tanggal 9 April 2019 dan ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kemudian, diundangkan 15 April 2019 dan ditandatangani Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah.
Revisi mengenai pembebasan PBB ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 38 Tahun 2019 Perubahan Kedua atas Pergub Nomor 259 Tahun 2015 tentang Pembebasan atas Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan atas Rumah, Rumah Susun Sederhana Sewa dan Rumah Susun Sederhana Milik dengan Nilai Jual Objek Pajak sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah)
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 259 Tahun 2015 tentang Pembebasan Atas Pajak Bum dan Bangunan Perdesaan danPerkotaan Atas Rumah, Rumah Susun Sederhana Sewa dan Rumah Susun Sederhana Milik Dengan Nilai Jual Objek Pajak Sampai Dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2015 Nomor 61036)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2018 (Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2018 Nomor 61007), diubah sebagai berikut :
1. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 2A, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2A
Pembebasan PBB-P2 dikecualikan terhadap objek pajak yang mengalami perubahan data wajib pajak karena peralihan hak kepemilikan atau penguasaan atau pemanfaatan kepada wajib pajak Badan.
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 4A, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4A
Pembebasan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.
3. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 5A, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5A
Wajib pajak orang pribadi yang telah diberikan pembebasan PBB-P2 untuk tahun pajak sampai dengan tahun 2018 sebelum berlakunya Peraturan Gubernur ini, tetap diberikan pembebasan PBB-P2.
(Sumber : Salinan Pergub DKI no 38 tahun 2019)
Dalam aturan yang baru, terdapat sejumlah poin yang ditambah. Salah satunya mengenai jangka waktu pembebasan PBB. Ketentuan tersebut disisipkan antara Pasal 4 dan 5 yakni Pasal 4A yang menyatakan pembebasan ini berlaku sampai 31 Desember 2019.
“Pembebasan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019,” Sangat jelas dan terang benderang dalam ketentuan ini, pembebasan pajak PBB p2, hanya berlaku sampai dengan 31 desember 2019, artinya atas pajak PBB dengan NJOP 1 Milyar Rupiah sampai dengan Desember 2019 masih akan dibebaskan dan untuk selanjutnya, tidak berlaku lagi. Selanjutnya apakah akan diberikan pembebasan lagi atau berlaku seperti sebelum adanya pergub 259/2015 yang ditandatangani Gub BTP??, Tidak jelas.
Merunut ke belakang, kebijakan pembebasan PBB untuk NJOP ini dikeluarkan di era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Kebijakan BTP ini tertuang dalam Pergub 259 Tahun 2015.
Dalam aturan yang diteken BTP pada 31 Desember 2015 disebutkan, salah satu pertimbangan atas regulasi ini ialah dalam rangka meringankan beban hidup wajib pajak orang pribadi akibat perlambatan ekonomi. Pada aturan itu disebutkan, pembebasan pajak meliputi rumah milik orang pribadi dengan batasan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2 sampai dengan Rp 1 miliar, rusunami yang dimiliki orang pribadi untuk tempat tinggal dan rusunawa yang dimiliki dan disewakan oleh pemerintah yang telah dilakukan pemecahan unit-unit satuan rumah susun dengan NJOP sampai Rp 1 miliar.
Pembebasan diberikan sebesar 100% dari PBB-P2 yang seharusnya terutang. Bahkan Ahok telah berencana menaikkan batas NJOP yang lebih tinggi untuk dapat diberikan pembebasan PBB. Selanjutnya Ahok berencana untuk membebaskan PBB dengan NJOP sampai dengan Rp 2 miliar. Pergub itu, rencananya keluar pada Mei 2017. Sayang, takdir berkata lain mimpi besar Ahok tersebut kandas dengan kandasnya karier politik BTP, yang berakhir di sel mako Brimob. (finance.detik)
Setelah Pergub 38 tahun 2019 viral dipersoalkan dan menuai protes berbagai pihak, terutama kelompok pendukung gudbener sendiri , Gudbener DKI membuat penjelasan:
Menurut Anies, revisi pergub merupakan hal yang rutin dilakukan tiap tahun. “Yang penting pada 2019, itu (PBB) tetap dibebaskan, itu dulu yang penting,” ujar Anies di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin, 22 April 2019. (metro.tempo.id)
Menurut Anies, revisi pergub sejalan dengan program DKI yang tengah melakukan fiskal kadaster atau pendataan ulang seluruh bangunan. Dia menuturkan saat ini banyak sekali informasi tentang bangunan di Jakarta yang tidak akurat sehingga membutuhkan penghitungan ulang. (metro.tempo.id)
Alasan yang terdengar sangat lugu , mengada ngada, terkesan dipaksakan untuk mengubah suatu Pergub yang cukup sensitif terhadap kesejahtraan rakyat. Konyol rasanya kalau suatu Pergub perlu di revisi setiap tahun . Bukankah suatu peraturan yang baik itu harus dapat dipakai selama mungkin ( kurun waktu yang panjang). supaya ada kepastian hukum dan dapat dilaksanakan dengan efektif? Jika menggunakan logika gudbener , anytime dia dengan mudahnya dapat mengeluarkan pergub sesuka nya?? Contoh Pergub 38 ini pasti , sebelum akhir tahun 2019 nanti harus segera dikeluarkan Pergub baru lagi, karena akan ada “kekosongan” aturan pengenaan PBB dibawah Rp 1 Milyar di awal tahun 2020. Begini kah cara berpikir seorang PhD yang sangat cetek ?. Atau karena gudbener sudah tak tahu lagi apa yang harus dia kerjakan (kurang gawe) , sehingga dia punya banyak waktu untuk mengutak atik pergub dengan alasan yang remeh temeh ? Sinyalemen lain gudbener tidak merasa happy dengan kebijakan warisan gubernur BTP, apapun yang masih berbau BTP harus segera “dicuci” bersih? Jangan jangan , bulan depan jalan layang Semanggi 2, hasil pembangunan inisiatif gubernur BTP non APBN/APBD pun akan diminta untuk dirobohkan?? Sinyalemen lain gudbener merasa terganggu dengan menurunnya APBD dari pendapatan pajak/retribusi karena adanya pembebasan pajak PBB dengan NJOP tetentu , berpengaruh langsung terhadap besarnya fee/ upah pungut 0,15% PAD untuk pemasukan operasional Gudbener, yang angkanya lebih dari 100 Milyar? Entahlah………..(semoga saya salah )
Alasan prematur tersebut setelah ramai dikritik dan dipermasalahkan berbagai kalangan ; warga DKI, anggota Dewan, dan para pengamat, pada akhirnya memaksa gudbener mengeluarkan klarifikasi melalui suatu video. Dalam rekaman video yang viral itu , gudbener melalui channel pemprov membela diri. Seperti biasa khas gudbener menata kata dan dengan manisnya coba meyakinkan warga ibukota, sayangnya gudbener gak sadar, ada pameo “kesalahan” yang satu harus ditutup oleh “kesalahan” yang lain, gudbener masuk dalam perangkap yang dia bangun sendiri. Gudbener bicara dalam video isinya lebih kurang:
“Bahkan, mulai tahun ini, semua guru bebas PBB di Jakarta, kemudian termasuk pensiunan guru, jadi yang di bawah Rp 1 miliar itu malah ditambah sekarang, kalau dulu hanya di bawah Rp 1 miliar,” katanya di Balaikota Jakarta, Selasa (23/4/2019)
“Kalau sekarang semua guru bebas PBB semua veteran, kemudian purnawirawan TNI, polisi, pensiunan PNS, lalu para perintis kemerdekaan, para pahlawan nasional kemudian juga penerima bintang kehormatan dari presiden, para mantan presiden, wakil presiden semua akan mendapatkan pembebasan PBB, siapa orang itu? mereka adalah orang-orang yang dianggap berjasa pada bangsa,” paparnya.
Anies menyebut, pembebasan PBB untuk perintis kemerdekaan sampai tiga generasi. Kemudian, guru sampai dua generasi atau sampai anaknya.
“Jadi keluarganya pun yang tinggal di rumahnya, untuk apa? Untuk rumah pertamanya, satu rumah. Kalau mereka punya satu rumah, rumah kedua nggak. Tapi untuk rumah pertama yang ditinggali itu dibebaskan,” jelasnya. (detik.com)
Pak gudbener, anda bisa ngomong apa saja di video, tetapi sebelum semua itu anda tuang dalam Pergub yang diundangkan dalam Berita Daerah, semua itu hanyalah janji kosong. DKI ini bukan kerajaan yang bisa anda kelolah melalui statemen yang bisa anda tekuk kesana kemari. Setelah anda di kritik karena dalam Pergub 38 yang mana menyatakan mengakhiri pengratisan Pengenaan pajak PBB sampai dengan 2019, yang diartikan oleh warga anda menghentikan penggratisan pajak PBB, dengan secepat kilat anda membuat klarifikasi.
Gudbener dengan yakinnya mengatakan tahun ini segera dia akan memberikan pembebasan pengenaan pajak pbb tempat tinggal ( ini istilah yang paling konstitusional, UUD 45 Pasal 28 H (1), catat itu gudbener Anies). Bearti, paling lambat dalam satu atau 2 bulan kedepan sudah harus mengeluarkan pergub anyar, karena masa pembayaran PBB 2019 biasanya sampai dengan akhir Agustus? Dapat kita bayangkan betapa konyol nya gudbener kalau dari awal anda sudah memikirkan rencana seperti dalam video, kenapa anda harus terburu buru mengeluarkan Pergub 38, april 2019?, kenapa tidak dinyatakan saja sejak awal dalam Pergub 38 seperti yang anda inginkan dalam video?. Gudbener Anies, “ngeles bajay” , jelas tidak jujur, setelah terdesak dan melakukan blunder anda mencoba menghindar; anda kerdil gudbener (peanut !, kalau tidak mau dibilang munafik ) ketika dalam keadaan terjepit, di desak masyarakat barulah anda mengeluarkan jurus mabuk, seolah olah menjadi pahlawan kesiangan. Gubernur macam apa yang kita miliki ini?? Integritas diragukan, tanpa pemikiran jangka panjang? Bagaimana ingin memikirkan Jakarta 50 atau 100 tahun lagi, memikirkan Pergub PBB saja dalam hitungan hari anda berubah!! Gudbener, anda memang tidak memiliki konsep dan pengetahuan yang cukup tentang apa yang hendak anda putuskan, selain retorika, dan tata kata yang memukau.
Tidaklah penting kepada siapa atau sampai turunan ke berapa anda ingin memberikan dispensasi pembebasan pengenaan pajak PBB itu gudbener!. Semua yang anda wacanakan itu politis pencitraan. Perlu anda ingat sebagai pejabat publik yang diberikan wewenang dalam UU PDRD P2 28/2009 seharusnya anda bisa mengamalkan sila ke 5 Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Wacana yang ingin anda lakukan dalam video adalah sangat partisan kalau tidak ingin disebut diskriminatif ( oh ya memang sejak awal saat inagurasi saja, anda gudbener sudah terindikasi diskriminatif?). Bagaimana mungkin anda ingin memberikan dispensasi pajak PBB P2 pada kelompok tertentu, seperti PNS, guru, dsb ( bukan bearti kita tidak menghargai dan menghormati jasa mereka), sementara anda juga melupakan pahlawan pahlawan masa kini lainnya? Coba anda bandingkan dengan para warga negara marginal, petugas kebersihan, PPSU, pedagang kaki lima, buruh, petugas keamanan, petani, nelayan, supir trasportasi umum , pegawai swasta, Karyawan BUMN dan lain nya??Justru kelompok masyarakat yang anda sebut sebut dalam video itu tergolong safe mampu dalam hal membayar pajak PBB (terkecuali para veteran dan pensiunan). sebaliknya pada kelompok kelompok yang tidak anda sebut kan tadi, justru mereka sangat rentan untuk dapat membayar pajak PBB.
Dimana nalar anda sebenarnya gudbener?? Beda kelas anda dengan gubernur BTP yang dengan mudah membuat aturan sederhana , mudah di implementasikan , berlaku adil, tempat tinggal dibawah nilai NJOP 1 Milyar misalnya dibebaskan dari pengenaan pajak PBB, semua masyarakat dari golongan dan profesi apapun yang memiliki tempat tinggal dibawah nilai NJOP tersebut diberlakukan secara adil. Sesunguhnya anda tinggal meneruskan saja kebijakan itu, misalnya batas NJOP dibawah 2 Milyar dibebaskan dari pajak PBB, berlaku pada tahun x , kemudian anda tingkatkan lagi 3 Milyar berlaku pada tahun Y, dan seterusnya, tanpa harus mengelompokkan warga masyarakat menurut profesi ini dan itu, yang justru berpotensi menciptakan kasta dalam masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial. Kenapa sesuatu yang sederhana selalu anda buat rumit? Bukankah itu cara pengejawantahan Pancasila pasal ke 5 (lima), keadilan sosial bagi seluruh rakyata Indonesia, yang paling nyata dan efektif?
Jikalau anda ingin berlaku adil, seharusnya yang perlu anda lakukan sederhana, bebas kan saja semua pengenaan pajak PBB untuk tempat tinggal rumah pertama dari setiap warga DKI (Indonesia) tanpa pengecualiaan. Berapun ukuran rumahnya, berapapun nilai objek NJOP tempat tinggal itu, selama tempat tinggal pertama dan difungsikan sebagai hunian , bisa anda bebaskan pengenaan pajak PBB nya. Dasarnya adalah UUD 45 pasal 28 H (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapalkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” Konsideran ini dapat mematahkan semua konsideran yang dipakai oleh UU Pajak PBB no 12 tahun 1985 jo UU PDRD P2 28 tahun 2009
Itulah keadilan sosial. Keadilan sosial , tidak selalu harus berpihak kepada kelompok “lemah”(pro poor) dengan memberi fasilitas berlebihan kepada yang berkukurangan, keadilan sosial itu memberi kesempatan yang sama kepada semua strata masyarakat . Anda dimungkinkan membuat kebijakan tersebut karena diberikan wewenang dalam UU PDRD P2 28/2009.
Ide anda untuk membebaskan pajak PBB P2 tempat tinggal itu ide yang baik, patut dihargai. Itu ide Gubernur BTP, anda tidak perlu malu malu mengcopy kebijakan Gubernur BTP yang sudah benar tersebut, karena itu lah hakikat dari hadirnya suatu Negara, yang berkewajiban menyediakan sandang pangan dan papan bagi warga negaranya. Justru dengan video anda yang akan memberi special treatment pada golongan masyarakat tertentu, sebenarnya anda sedang menghina Pancasila pasal ke 5. Padahal seperti yang anda ketahui bagaimana seorang Presiden Jokowi pun berusaha mewujudkan sila ke 5 Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia dengan membuat harga BBM satu harga dari Sabang sampai Papua, misalnya.
Berbicara UU Pajak PBB ini, seharusnya anda sebagai gudbener paham. UU pajak PBB ini dikelompokkan ke dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD P2 ). Konsideran dari pengenaan pajak PBB ini adalah adanya manfaat yang diperoleh subjek pajak atas objek yang dimiliki. Manfaat yang diperoleh subjek pajak atas objek pajak yang dimilikinya dimintakan berbagi kepada negara. Itulah dasar yang dipakai untuk mengenakan pajak PBB P2. Kita bisa memahami dan memaklumi esensi pajak dan retribusi lain yang dipungut dalam kelompok UU PDRD P2, seperti pajak Restoran ataupun Pajak Kendaraan. Kalau warga tidak ingin berbagi alias tidak ingin dikenakan pajak Restoran dan Kendaraan contohnya, mereka tetap masih memiliki alternatif lain, dengan memasak di rumah tanpa harus ke restoran, atau menggunakan transportasi publik, tidak perlu memiliki kendaraan pribadi! Tapi bagaimana dengan tempat tinggal (rumah hunian)?; mereka tak punya pilihan. Tak mungkin membiarkan mereka tinggal di bawah kolong jembatan, di pinggir rel Kereta Api bukan?
Saya terkejut, sebelum artikel ini selesai dibuat ( Saya menulis dikala waktu senggang saja) , dalam hitungan jam (saya memprediksi dalam hitungan 1-2 bulan Gudbener akan merevisi), Gudbener Anies sudah merevisi Pergub 38 menjadi Pergub 42 2019. Supaya tidak bias, saya memilih untuk mengakhiri tulisan ini dan memposting apa adanya dulu , sambil menunggu apa isi Pergub 42 yang resmi dimuat dalam lembaran Berita Daerah Provinsi DKI Jakarta dalam beberapa hari kedepan, untuk menunjukkan bahwa Pergub 42 menyimpan potensi masalah baru, salah satunya melanggar prinsip sila ke 5 Pancasila.
Salam Betterthangood Indonesia
Jakarta 25 April 2019, jam 19 20