Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) banyak mahasiswa doktor jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Suatu ketika saya tanya: “Untuk apa sih kuliah doktor untuk mengakar TK?”, salah seorang sahabat itu menjawab bahwa guru TK lah yang seharusnya kuliah doktor. Mengapa? karena guru paling sulit itu adalah mengajari anak TK. “Apa susahnya mengajar anak kuliah? Apa susahnya mengajar kuliah di Pascasarjana?: Jawabnya. Jawaban itu membuatku teringat akan kondisi PAUD di seluruh Indonesia, kususnya di Desa-desa.
Di Desa banyak guru TK kompetensinya terbatas. Bahkan, yang penting asal ada. Mereka mengatakan nanti juga bisa. Padahal filosofi dasar sebagai guru tidak ada sama sekali.
Beberapa waktu lalu, sahabat saya alumni pascasarjana UNJ menelpon saya agar kita buat pelatihan guru-guru TK. Guru-guru TK itu banyak yang tidak kompeten menjadi guru TK. Dan, hampir tidak ada usaha untuk memperbaiki kompetensi mereka. Minimal mereka memiliki kompetensi dasar untuk mengajar. Bagaimana jika mereka salah meletakkan dasar-dasar pendidikan di TK? Sulit mengembalikan kelak kan?
Kemarin, saya dan seniman Setiyoko yang ahli melukis dan seni rupa lulusan Seni Rupa ITB, belajar menggambar dengan anak TK di Tobasa. Setiyoko bertanya: “Apa saja warna dasar?”. Tidak ada siswa yang bisa menjawab. Setiyoko menjelaskan bahwa warna dasar itu adalah merah, biru dan kuning. Sayapun tak mengetahui warna dasar yang dimaksud. Jangan-jangan guru TK itupun tak mengetahui warna dasar. Padahal, guru TK mengajar menggambar pakai crayon. Berapa banyak guru TK tidak mengetahui warna dasar? Hal ini mengingatkan saya akan ajakan sahabat saya untuk pelatihan-pelatihan kepada guru TK. Setiyoko mengatakan, dunia Pendidikan kita ada yang keliru. Dunia pendidikan yang keliru. Sains yang meninggalkan seni. Sejatinya seni harus satu kesatuan dengan seni. Sains tanpa seni ibarat makanan Batak tanpa andaliman.
Rhenald Kasali, guru besar ekonomi Manajemen UI sekitar tahun 90n-an, ketika itu masih magister, mengatakan produk Indonesia itu kalah bersaing terutama di seninya ( packing). Seni di dalam penjualannya kurang baik.
Setiyoko mengatakan persaingan produk salah satu kuncinya ada di seni. Ironisnya, seninya hilang karena dalam proses pendidikan kita hilang. Hanya di ITB yang disejajarkan sains dan senia. Padahal, sains dan seni harus berkolaborasi.
Maria Radjawane alumni astronomi dan magister Fisika ITB juga mengatakan sains dan seni harus berkolaborasi. Selama ini dikembangkan STEM yaitu Science, Tecnology, Engeneering, Mathematic. Seharus ada Art. Dengan demikian menjadi STEAM yaitu Science, Tecnology, Engenering , Art, dan Mathematic.
Melihat banyaknya anak TK yang mau belajar mewarnai dengan pak Setiyoko, akhirnya kami memutuskan guru TK saja yang diajak berdialog dan berbagi. Guru-guru TK itu antusias. Antusias mereka luar biasa.
Ada pertanyaan guru TK itu yang menarik. Mengapa kalau ada perlombaan kalau mewarnai itu rambut manusia harus hitam, warna daun pohon harus hijau, warna batang dan dahan pohon coklat? Pernah anak-anak kami ikut lomba mewarnai, nilai anak kami langsung rendah ketika atap sopo bolon dibuat putih. Padahal, mewarnai itu merangsang kreativitas anak?
Setiyoko menjawab: “Di Bandung ada sanggar seni kalau ada lomba menggambar, hampir dipastikan sanggar itu juara, sanggar itu dikhususkan untuk menjadi juara”. Satu lagi ada sanggar yang menentang sanggar itu. Sebab, seni bukan untuk menghasilkan juara tetapi mendorong atau merangsang seni dalam setiap diri anak. Coba kita lihat, andaikan anak kita disuruh menggambar pohon, bisa ditebak pohon apa yang akan digambar yaitu pohon yang batangnya lurus dan dahanya yang lurus dan daunya bulat. Artinya hampir satu model pohon yang akan digambar anak-anak. Padahal ribuan jenis pohon yang dikenal anak-anak. Kreativitas anak-anak kita terbatas. Mengapa?
Saya menjadi teringat akan komentar-komentar di medsos. Jika ada gambar keluarga yang anaknya laki-laki semua, maka dikomentarilah,” tentara semu iya”. Kalau ada foto keluarga anaknya semua perempuan, komentarnya, “bidan semua iya”, Padahal perempuan banyak tentara, laki-laki banyak yang mantri kesehatan. Dan, bidan itu perempuan, mengapa dokter kandungan laki-laki? Banyak ibu hamil lebih senang ditangani dokter laki-laki ketika bersalin, bukan?
Melihat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan pondasi dasar berpikir anak maka meningkatkan mutu guru PAUD menjadi mutlak. Di usia TK merupakan momentum yang maha penting untuk pendisikan anak. Jika di PAUD anak itu dididik dengan baik maka kita tinggal mendampingi.
Terima kasih untuk sahabat saya Roselly Simanjuntak yang pikirannya seluas samudera untuk membuka diri untuk fokus dan konsentrasi untuk terus menerus meningkatkan mutu tenaga pendidik di Yayasan Bonapasogit Sejahtera (YBS). Sikap itu telah membuahkan hasil. Anak SD dan SMP YBS mendapat medali perunggu di Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Padang tahun 2018.
Ketika Kementerian Pendidikan melakukan pelatihan dan seleksi di Jakarta untuk International Mathematic Science Olimpyad (IMSO) di Tangerang, Banten, Provinsi Sumut diwakili 3 SD yaitu SD Sutomo Medan, SD St Paulus Dairi dan YBS Tobasa. Di babak kedua hanya Tobasa yang lolos.
Keseriusan, sikap terbuka Roselly Simanjuntak selaku pimpinan telah membuahkan hasil.
Jadi, kini kita sadari kunci sukses pendidikan kita ada di pendidikan dasar.
#gurmanpunyacerita