Saya pernah menonton di salah satu channel televisi mengenai satwa liar yang hidup di alam bebas. Saat itu diceritakan kehidupan kawanan Hyena. Dikatakan bahwa Hyena itu adalah hewan yang pengecut, walaupun karnivora, mereka hanya berani mencuri makanan-makanan sisa yang ditinggalkan oleh satwa karnivora lainnya.
Namun mereka tidak ragu memburu hewan hidup lainnya bila tidak menemukan makanan sisa, tentu saja dengan keroyokan. Berbeda dengan hewan lain yang hidup dalam kelompok, hyena walaupun hidup berkelompok, ternyata sering berkelahi di antara sesama mereka sendiri.
Tidak beda jauhnya dengan kondisi perpolitikan saat ini, khususnya di Ibu Kota DKI Jakarta. Sepeninggal Sandiaga Uno, posisi wagub yang kosong tersebut menjadi rebutan antara PKS dan Gerindra.
Perselisihan antara Gerindra dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) soal jabatan wakil gubernur DKI bahkan makin meninggi. Kedua partai tersebut saling mengklaim berhak mendudukkan kadernya di kursi yang ditinggalkan Sandiaga Uno itu.
Ketua DPD DKI Jakarta Gerindra Muhammad Taufik pun merasa dipaksa dan diintimidasi untuk menandatangani surat kesepakatan. Isinya adalah dua nama dari PKS sebagai calon wakil gubernur. Surat kesepakatan itu disebut sebagai pengganti setelah PKS gagal dapat jabatan cawapres.
Pernyataan sepihak itu jelas membuat PKS geram. Direktur Pencapresan PKS Suhud Alyuddin menantang balik Taufik untuk membuktikan pernyataannya tersebut.
Melihat berbagai kekisruhan tersebut, hanya semakin memperlihatkan wujud asli Gerindra dan PKS yang sesungguhnya. Padahal kita tahu, dulunya saat ingin menjatuhkan Ahok, mereka sangat kompak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Setelah tujuan tercapai, topeng kekompakan yang palsu itu pun perlahan tapi pasti mulai tersingkap.
Rasa haus akan kekuasaan tidak mampu disembunyikan berlama-lama. Cadar kepura-puraan dan kemunafikan pun tersingkap memperlihatkan nafsu iblis yang tersembunyi di baliknya.
Sama seperti kawanan Hyena yang kompak bekerja sama untuk menjatuhkan mangsanya. Setelah berhasil, saling terkam dan saling gigit untuk mendapatkan jatah makanan paling banyak pun terjadi diantara mereka.
Kehormatan dan harga diri sudah tidak dimiliki oleh partai-partai tersebut. Demi uang 500 miliar dalam kardus, prinsip pun dikorbankan. Itjima Ulama hanya menjadi dagelan yang dilempar ke tong sampah.
Apa jadinya bila bangsa dan negara ini dipercayakan kepada kelompok atau partai-partai seperti itu? Sedangkan kalau kita lihat, ada HTI di pihak mereka yang siap menunggangi setiap aksi politik yang dilakukan oleh partai-partai tersebut. Bahkan beberapa waktu yang lalu beredar video kesepakatan antara PKS dan HTI yang ingin mengubah sistem, mengganti Pancasila dan UUD 45, apabila berhasil menang di pilpres 2019 nanti.
Bila para parpol tersebut diibaratkan gerombolan Hyena, maka HTI itu adalah serigalanya, dia siap mengintai dan mencaplok manakala para hyena tersebut sudah lelah berkelahi dan cakar-cakaran sesama mereka sendiri.
Apakah akan kita biarkan itu semua terjadi? Terlalu besar harga yang kita pertaruhkan bila menjawab Iya. Mulai dari HTI yang bangkit dari kubur, karena organisasinya yang semula dibekukan kemudian dihidupkan kembali. Sudah menjadi rahasia umum bila para simpatisannya sudah menyusup ke berbagai instansi pendidikan dan pemerintahan. Mereka hanya menunggu waktu yang tepat sebelum mengambil alih kekuasaan dengan cara kekerasan disaat para elite politik semacam Gerindra, PAN, Demokrat dan PKS sibuk membagi-bagi kursi.
Belum lagi terhentinya berbagai pekerjaan, pembangunan dan infrastruktur yang digagas oleh Jokowi serta menjadi target pencoretan dari APBN dan terancam terbengkalai. Lagi-lagi DKI Jakarta dapat dijadikan contoh dalam kasus ini, dimana berbagai program yang sudah disusun Ahok, pembangunan rusun untuk kalangan bawah warga Jakarta dicoret dari anggaran.
Akhirnya siapa yang jadi korban? Ya warga Jakarta itu sendiri. Karena uang anggaran yang seharusnya bisa dipergunakan untuk masyarakat banyak, dialihkan untuk hal-hal tak bermanfaat seperti membentuk dan membiayai tim-tim yang tidak jelas hasil kerjanya.
Jadi bila ingin membayangkan apa jadinya Indonesia bila Jokowi kalah, lihat saja Jakarta, namun dengan skala yang jauh lebih besar dan jauh lebih buruk mencakup Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote plus ancaman kelompok radikal HTI yang ingin mengganti Pancasila dan UUD 45.
Kerusakannya? Jangan ditanya, bisa berkali-kali lipat dari DKI Jakarta saat ini, apalagi kelompok radikal tersebut berniat mensuriahkan Indonesia. Perpecahan antar masyarakat sudah pasti terjadi.
Keputusan untuk mendukung Jokowi bukan lagi sekedar menginginkan Jokowi menyelesaikan pekerjaannya yang belum selesai, membela Jokowi bukan lagi hanya menginginkan Jokowi membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Memilih Jokowi karena hanya dirinya putra terbaik bangsa yang kita miliki saat ini, memperjuangkan Jokowi berarti menghindari negara kita jatuh dalam perpecahan dan kehancuran akibat ulah politikus busuk yang ditunggangi oleh kaum radikal brengsek bertopengkan agama semacam HTI.