Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto memimpin rapat terkait gelar permasalahan pertanahan di Jatikarya, Bekasi pada Rabu (13/07/2022). Pada pertemuan ini juga melibatkan perwakilan dari Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan, KPK, Mabes TNI, dan Polri.
Konflik pertanahan di kelurahan Jatikarya yang sudah berlangsung sejak tahun 1999 meliputi lahan seluas 48 hektar tergolong rumit. Melibatkan ratusan warga ahli waris, Mabes TNI, Kemenhan dan oknum mafia tanah. Di tengah sengketa yang masih berproses di tingkat Mahkamah Agung, tahun 2016 PUPR mengambil 4,2 hektar untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional jalan Tol Cimanggis Cibitung. Sebagai kompensasinya PUPR mengalokasikan uang ganti rugi lahan sebesar 218 Milyar yang dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri Bekasi. Siapapun pihak yang memenangkan perkara dan telah berkekuatan hukum tetap, berhak menerima uang ganti rugi
Waktu bergulir konflik tersebut belum menemukan penyelesaian meskipun MA telah menerbitkan PK II No 815/Pdt/2018 juncto PK I No 218/Pdt/2008 dan telah inkrah 2019. Pemenangnya adalah para ahli waris Candu bin Godo dkk sebagai pemilik sah lahan 48 hektar tersebut.
Apa yang menjadi kendala konflik tersebut kian kusut selama 23 tahun? Muaranya berada di Kementerian ATR/BPN yang hingga hari ini enggan menerbitkan surat pengantar sebagai bukti pengakuan hak dan obyek tanah pihak pemenang perkara. BPN tidak menghormati putusan PK MA
Rapat yang digelar hari Rabu (13/7) yang melibatkan banyak pihak justru menjadi kesalahan fatal BPN di bawah kepemimpinan Hadi Tjahjanto. BPN yang sedang mencari solusi kebuntuan birokrasi internal terkait penerbitan surat pengantar, justru sedang melibatkan pihak-pihak di luar untuk masuk dalam konflik. Pihak yang bukan bagian dari persoalan, dan justru warga Jatikarya yang menjalani konflik tersebut tidak diikutsertakan.
Kemungkinan yang terjadi dalam rapat tersebut adalah munculnya friksi baru antar institusi melihat konflik lahan Jatikarya yang belum selesai status hukumnya. Putusan PK MA sebagai landasan hukum kembali diperdebatkan. BPN menggelar sidang konflik Jatikarya sendiri karena meragukan putusan PK MA, kemudian mengajak banyak pihak untuk mempertanyakan produk hukum MA yang sebenarnya sudah tidak bisa diganggu gugat.
Pihak Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara dan Mahkamah Agung sebagai pemutus perkara justru tidak dilibatkan. Bagaimana BPN bisa menyelesaikan konflik Jatikarya sesuai aturan hukum saat institusi hukum tidak dilibatkan? Justru mengundang pihak Mabes TNI dan Kemenhan yang sudah dinyatakan kalah dalam PK I. Mengundang Kemenkeu yang sudah tunduk pada putusan MA bahwa lahan Jatikarya bukan Barang Milik Negara (BMN). Menghadirkan KPK saat masih jauh dari indikasi tindak korupsi.
Spirit memberantas mafia tanah yang dikobarkan Menteri Hadi Tjahjanto sepatutnya dilaksanakan secara obyektif. Menteri Hadi mengatakan untuk melihat persoalan konflik lahan terkait mafia tanah, dia akan mendatangi obyek dan subyek perkara. Pelaksanaan rapat koordinasi yang tidak melibatkan warga Jatikarya sebagai subyek perkara, justru akan menjauh dari persoalan. Yang dilakukan Menteri Hadi sama dengan Menteri sebelumnya Sofyan Djalil yang selalu menolak menemui warga Jatikarya sebagai pemenang perkara yang sah secara undang-undang.
Presiden Jokowi menunjuk Hadi Tjahjanto menjadi menteri salah satu alasannya karena menteri Sofyan tidak mampu menyelesaikan konflik Jatikarya yang sudah meresahkan banyak pihak selama puluhan tahun. Jika konflik Jatikarya di tangan Hadi Tjahjanto tidak selesai juga sesuai putusan MA, maka semakin jelas bahwa mafia tanah berada di sistem internal di BPN sendiri yang mengakar tak tersembuhkan oleh siapapun menterinya.