Hoax di negeri kita ini memang sudah sangat mengerikan. Dampak penyebaran hoax yang sangat masif, sistematis dan terstruktur telah membuat banyak gesekan dalam kehidupan bermasyarakat. Hoax yang disebarkan ditujukan ke berbagai individu/tokoh, ormas, badan/lembaga bahkan ke pemerintah, yang menimbulkan adanya ujaran kebencian, kemarahan, pengumpatan atau pun fitnah. Penyebaran hoax tentu memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Entah itu tujuan bagi diri sendiri, kelompok atau organisasi.
Hoax memang dikemas semenarik mungkin, menimbulkan simpati bahkan empati. Membuat judul dan isi yang provokatif dan terkadang tidak ada kaitan antara isi dengan judul. Media sosial menjadi tempat yang subur untuk menumbuhkan berita hoax. Penyebarannya sangat cepat (bahkan mungkin melebihi kecepatan cahaya). Siapa saja bisa termakan berita hoax tanpa pandang bulu. Entah itu seorang siswa, mahasiswa, guru, dosen, pejabat di lembaga/badan/pemerintah, karyawan, pegawai, pedagang, pebisnis, pemuka agama, dan lain-lain. Bila tidak disikapi dengan baik dan bijak akan menimbulkan seperti yang saya sebutkan diatas.
Perhatikan berita hoax yang masih hangat saat ini dan banyak orang yang mempercayai kemudian menyebarluaskannya (di-share). Seperti Ananda Sukarlan yang dituduh Kristen padahal dia Muslim. Dia hanya pernah sekolah yang berbasis Katolik. Kemudian ajakan boikot dan uninstal aplikasi Traveloka karena CEO-nya, Derianto Kusuma, walk out saat Anies berpidato. Padahal dia (sebagai salah satu kandidat yang terpilih untuk diberikan penghargaan yang digelar Kolese Kanisius) sedang berhalangan hadir. Dia sedang berada di Amerika Serikat dan hanya diwakili ibunya.
Selain hoax itu, ada lagi yang sangat memilukan dan menyayat hati. Dua sejoli yang dituduh mesum oleh RT dan memprovokasi warga untuk mempermalukan, mengarak-arak dua sejoli ke jalanan dengan kondisi telanjang. Pasti menanggung beban psikis yang berat. Polisi sudah menyatakan bahwa dua sejoli tersebut tidak ada berbuat mesum. Apakah RT itu ingin terkenal, dikenal heroik ? Tidak cukup RT dan tersangka lainnya dihukum, mereka harus memulihkan nama baik dua sejoli itu ke publik. Masih banyak lagi berita hoax yang berseliweran diberbagai media sosial.
Menarik dari sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh University of Illinois, Chicago, Amerika Serikat (berita Detik Health Selasa kemarin). Studi itu menyebutkan bahwa IQ tinggi bukan jaminan dapat bebas dari pengaruh berita hoax. Keputusan partisipan dalam mengambil keputusan terhadap suatu berita, hoax atau bukan, lebih dipengaruhi oleh kepercayaan dan latar belakang. Dan logika atau daya kritis kecil pengaruhnya. Sehingga tidak ada perbedaan antara yang ber-IQ tinggi dan rendah dalam memutuskan suatu berita bila didasarkan pada kepercayaan tanpa menggunakan logika.
Nyata, bukan ? Seorang profesor pun (atau katakanlah orang yang berpendidikan tinggi yang biasanya memakai logika untuk berpikir) bisa mempercayai hoax. Saya mengamatinya, banyak yang demikian. Ini adalah suatu pengabaian untuk berpikir kritis. Menganalisa terhadap sesuatu terlebih dahulu sebelum mempercayainya atau tidak, harusnya itu dilakukan.
Hoax yang selalu membuat “panas” negeri ini terutama berkaitan dengan politik dan agama. Nalar, akal budi, daya kritis, seakan-akan (memang demikian) tidak ada gunanya bagi sejumlah orang. Hoax yang diproduksi terkait politik dan agama (berpuncak pada politisasi agama) memiliki efek yang kuat dan luas. Perhatikanlah, contohnya, serangan yang dilakukan ke pemerintah oleh sejumlah orang yang merasa benar sendiri (apalagi punya kavelingan surga) tapi mengatasnamakan “seluruh umat” (tapi entah umat yang mana) untuk memenuhi agenda politiknya ketika pemerintah memukul mundur mereka. Disebarlah berita bahwa pemerintah “anti-umat” (tapi ya itu mengatasnamakan keseluruhan umat. Sekali lagi, entah umat yang mana). Dan tidak sedikit yang mempercayainya.
Suatu kebohongan (yaitu hoax) akan menjadi suatu kebenaran bila dilakukan secara berulang-ulang. Orang langsung mempercayainya dan tidak menganalisa kebenarannya. Seperti yang telah disebutkan diatas, didasarkan pada kepercayaan. Bila dimunculkan faktanya, maka akan ada tuduhan terhadap pihak yang menyampaikan fakta tersebut sebagai informasi yang palsu, tidak benar alias hoax (bagi mereka). Apakah nalar tidak punya peran penting dalam berpolitik dan beragama (puncaknya politisasi agama) ?
Ini serius. Apa beda hewan dengan manusia ? Sungguh berbahaya -bahaya itu sudah, sedang dan terus merongrong bangsa ini- jika menyikapi hoax hanya dengan modal kepercayaan saja dan menanggalkan nalar, pikiran, logika, kemampuan menganalisis. Ini menyangkali dan sungguh merendahkan martabat sebagai manusia yang memiliki pikiran didalam otak. Tempat dimana berbagai informasi diproses, termasuk berita, yang kemudian disimpulkan: hoax atau bukan.
Salam Anti-Hoax
*Silakan baca tulisan lain Kelas Teri https://goo.gl/H4H9Cc