Di tengah ramainya pembahasan sidang di MK, terselip berita tentang mulai banyaknya investor yang mulai mengalihkan investasinya di Indonesia.
Mulai dari LG yang merencanakan untuk merelokasikan pabriknya dari Thailand ke Indonesia, hingga Sharp yang berencana memindahkan pabriknya dari Vietnam ke Indonesia. Panasonic juga tidak ketinggalan, ingin memindahkan pabriknya dari Malaysia ke Indonesia.
Apa penyebabnya?
Efek Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok bukanlah faktor utama dan satu-satunya. Pasalnya, investor yang mengalihkan investasinya ke Indonesia bukanlah pabrik-pabrik yang berinvestasi di Tiongkok. Kebanyakan malah dari negara-negara yang tidak terlibat perang dagang secara langsung, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia.
Walaupun demikian, ada juga investor yang awalnya berinvestasi di Tiongkok, lalu mengalihkan ke Indonesia. Salah satunya adalah Volex Group, sebuah perusahaan perakitan peralatan teknologi dan otomotif yang berkantor pusat di Inggris berupaya memindahkan pabriknya dari Suzhou, Tiongkok ke Batam, Indonesia.
Namun faktor paling utama menurut saya adalah daya tarik iklim investasi di Indonesia yang semakin meningkat beberapa tahun terakhir ini terutama sejak kepemimpinan Jokowi. Pembangunan infrastruktur secara massif, termasuk perombakan birokrasi perijinan yang semakin mudah cukup menarik perhatian para investor.
Walaupun saat ini masih berada di peringkat ke-73 dari 190 negara di dunia. Dan masih di bawah Singapura (2), Malaysia (15), Thailand (27), Brunei Darussalam (55) dan Vietnam (69). Namun diperkirakan tahun ini peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia akan naik pesat, di mana ditargetkan harus masuk peringkat 40 dunia.
Faktor lainnya adalah terkait rencana pemerintah menerbitkan aturan insentif berupa super deduction tax. Yakni pengurangan pajak 200 persen hingga 300 persen. Dengan adanya pengurangan pajak tersebut tentu berpengaruh besar terhadap harga produk yang akan menjadi jauh lebih murah dan lebih kompetitif.
Strategi pengurangan pajak ini merupakan strategi berani dan cerdas Jokowi. Saya sebut cerdas karena momentumnya sangat tepat, yakni berani memanfaatkan momentun perang dagang dua negara adi daya yang berefek pada perlambatan ekonomi global.
Pemangkasan pajak besar-besaran tidak hanya diberikan kepada investor, namun juga diharapkan dapat menggenjot ekspor dalam negeri.
Hal ini terlihat pada perintah Jokowi kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati agar memberikan lebih banyak fasilitas yang tak sekadar instrumen, tapi juga bisa berjalan di lapangan.
Atas instruksi tersebut, Menkeu pun berupaya mempercepat kajian untuk penurunan pajak PPh (Pajak Penghasilan) supaya tarifnya lebih rendah menjadi 20 persen.
“Itu seberapa cepat dan berapa risiko fiskalnya bisa ditanggung dan bagaimana implementasinya,” kata Sri Mulyani.
Beberapa pajak yang dipangkas adalah pajak kendaraan bermotor, pembebasan PPN Sewa Pesawat, Penurunan PPh bunga obligasi untuk infrastruktur dari 15 persen menjadi 5 persen, pengenaan pajak barang mewah dikenakan untuk rumah di atas Rp 30 miliar dari yang sebelumnya Rp 20 miliar dan Rp 10 miliar.
Pemerintah juga berencana akan melakukan peningkatan batas tidak kena PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk rumah sederhana sesuai daerah masing-masing.
Dan yang terakhir adalah pemangkasan tarif PPh Pasal 22 hunian mewah juga turun dari 5 persen menjadi 1 persen, dan validasi PPH penjualan tanah juga akan disederhanakan.
Tujuannya adalah agar sektot-sektor properti dapat semakin bergairah.
Walaupun secara jangka pendek, kebijakan itu akan mengurangi pemasukan bagi APBN. Namun secara jangka menengah dan panjang akan terasa jauh lebih menguntungkan. Dengan iklim investasi yang menarik seperti ini, ada harapan para investor akan menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan utama investasi di masa sekarang dan yang akan datang.
Sementara produk-produk dalam negeri juga menjadi jauh lebih kompetitif dan pada gilirannya akan ikut menaikkan kompetensi ekspor Indonesia di luar negeri akibat harga yang kompetitif tersebut.
Bila ada pepatah “dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah”. Melalui kebijakan cerdas Jokowi, pepatah itu menjadi “dua gajah bertarung, si kancil yang memetik untung”. Dan si kancil itu bernama Indonesia.