Belum tuntas permasalahan Tanah Abang dimana para PKL diperbolehkan jualan di jalan sehingga memicu demo supir angkot karena pendapatan mereka berkurang, serta teguran dari pihak kepolisian agar Anies mengembalikan fungsi jalan raya di Tanah Abang, kini hadir lagi permasalahan yang sama di lokasi yang berbeda.
Para PKL mulai menggelar lapak dagangannya di Jalan Sudirman. Puluhan PKL memenuhi memenuhi trotoar dekat Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Meskipun tahu hal itu dilarang, para pedagang mengaku tak takut dirazia petugas Satpol PP. Bahkan yellow line atau rambu yang merupakan jalur pejalan kaki untuk penyandang disabilitas pun tidak segan-segan mereka tempati untuk menggelar barang dagangannya.
Saat ditanya alasan mengapa tidak takut dirazia oleh satpol PP. Salah satu pedagang pun berkomentar, “Buktinya PKL yang di Tanah Abang enggak ada yang ditangkapi. Di sana bukan cuma boleh berjualan di trotoar, melainkan difasilitasi berjualan di jalan. Jadi kenapa saya harus ditangkap?”
Kegiatan meniru rekannya di tanah abang tidak hanya diikuti oleh PKL Jalan Jenderal Sudirman saja. Para PKL di kawasan Asemka pun sekarang menuntut hal yang sama, yaitu diperbolehkan berjualan di trotoar dan meminta jalan disekitar lokasi juga ditutup agar sama dengan Tanah Abang .
Akibatnya, kondisi Pasar Asemka pun kian semrawut. Banyak trotoar digunakan untuk berjualan.
“Logikanya kenapa yang dulunya liar ditata. Kan mereka sebelumnya dagang di trotoar juga. Kami juga mau dong ditata. Jadi jangan pilih kasih. Kalau bisa, ya ditutup juga (jalan) untuk jualan,” demikian penuturan salah satu pedagang Pasar Asemka.
Di kolong flyover di Pasar Asemka terlihat semrawut karena PKL menggelar dagangannya di semua tempat. Selain pedagang, banyak pula kendaraan yang diparkir sembarangan. Pejalan kaki dan pengendara motor pun sulit melintas. Imbasnya, kemacetan lalu lintas tidak terhindarkan. Selain semrawut, sampah juga tampak berserakan.
Persamaan antara PKL di Jalan Jenderal Sudirman dan pasar Asemka adalah, mereka sama-sama mencontoh dan menuntut hak yang sama dengan rekannya yang sudah lebih dahulu dimanjakan oleh Anies melalui kebijakannya menata Tanah Abang.
Jadi jangan heran bila Anies tidak segera merevisi kebijakan yang jelas-jelas tidak bijak tersebut, ke depannya bukan hanya PKL Asemka dan Jalan Jenderal Sudirman saja. Seluruh PKL di Jakarta akan menuntut hak yang sama agar diperbolehkan berjualan di trotoar, bahkan kalau perlu, sampai ke tengah jalan.
Efeknya apa? Dari mulai dari hak pejalan kaki yang terampas, hak kendaraan bermotor yang tersita, munculnya oknum-oknum yang mengutip bayaran dan bisa dipastikan bayaran tersebut tidak masuk ke kantong kas daerah, namun masuk ke kantong pribadi si oknum atau kelompoknya.
Disisi lain, hal ini juga memicu kecemburuan bagi sesama pedagang, bagaimana tidak cemburu bila pedagang yang berusaha mengikuti aturan dengan menyewa tempat didalam gedung, harus bayar uang sewa dan biaya maintenance setiap bulannya.
Sementara rekan-rekannya yang jualan di trotoar hanya perlu membayar 20 ribu rupiah per hari, bisa buang sampah sembarangan tanpa perlu mikirin soal bayar uang sampah, karena setiap hari sudah ada petugas PPSU yang membersihkan, bahkan bila butuh listrik tinggal nyantol dari tiang listrik terdekat saja. Akses ke pembeli juga lebih gampang, akhirnya yang awalnya didalam gedung, mau tidak mau ikut-ikutan juga jualan dipinggir jalan.
Belum lagi para pembeli yang akan memarkir kendaraannya di sembarang tempat, munculnya parkir liar dan kemacetan tidak terelakkan lagi. Citra Jakarta yang mati-matian diangkat oleh Ahok dan Djarot gubernur sebelumnya sebagai kota yang tertata rapi, bersih dan berbudaya, hancur seketika.
Dan semua itu dilakukan oleh mereka hanya dalam hitungan bulan, makanya tidak salah bila ada istilah yang berbunyi “membangun, merawat dan menjaga itu sulit, tapi menghancurkan itu gampang”. Dan itulah yang sedang mereka lakukan saat ini melalui berbagai kebijakan ngawurnya, terkesan membela warga kecil namun sebenarnya merusak moral mereka. Membuat mereka tidak disiplin dan tidak taat aturan, menciptakan premanisme dan kesemrawutan.
Mengingatkan saya akan kata-kata yang pernah saya baca belum lama ini yang berbunyi “Pemimpin bodoh hadir karena adanya pemilih yang bodoh”.