Ini bedanya kalau daerah dipimpin oleh seorang gabener dan Wagabener yang tidak memahami pekerjaan mereka. Mungkin waktu kampanye dulu, mereka hanya melihat peran Gubernur dari luarnya saja. Banyak yang minta selfie, jalan ke sana kemari, memimpin rapat tinggal main perintah, dan mungkin mereka pikir, pekerjaan harian bisa dilimpahkan pada Sekretaris Daerah dan para walikota. Sementara Gubernur hanya ngurusin APBD, uang uang dan uang. Apalagi kita semua tahu, untuk mencapai posisi menjadi gabener dan wagabener sekarang ini, sang wagabener sudah merogoh koceknya ratusan miliyar rupiah. Dan ini hanya ada dalam cerita pengantar tidur kalau uang sebanyak itu adalah sumbangan yang tidak perlu dikembalikan. Preeeeet!!
Masa seratus hari pertama gabener dan wagabener DKI Jakarta ini akan sangat berat untuk mereka. Bukan apa-apa, ini karena kemenangan yang mereka raih tidak bisa dilepaskan dari semua janji-janji kampanyenya yang aduhai. Segala macam kontrak politik mereka setujui, sebelum kemenangan ada ditangan. Kontrak politik dengan para buruh atau dengan warga Bukit Duri. Dan Sekarang apa yang mereka harapkan sudang datang.
Dan alangkah terkejutnya semua orang melihat gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh kedua tokoh baru Jakarta karena mereka melakukannya dengan kecerobohan tingkat dewa. Pertama, pidato pertama sang gabener yang mengandung pesan memecah belah bangsa dengan mengkail kata pribumi. Lalu pernyataan maboknya sang wagabener tentang langkah merapikan daerah Tanah Abang. Belum lagi jawaban ringan dia tentang pemecahan masalah kemacetan Jakarta yang begitu viral tapi sangat sulit untuk dipahami oleh cerdas sekalipun. Rasanya bahasa Vickinisasi jauh lebih baik ketibang bahasanya sang wagabener.
Anyway, yang sekarang membuat pada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta mabok adalah naiknya jumlah anggaran APBD yang begitu tiba-tiba. Awalnya sudah disepakati besarnya APBD DKI adlaah Rp 74.06 triliun, Lalu naik menjadi Rp 76.78 triliun, Dan jumlah Rp 76.78 triliun ini adalah jumlah APBD terbesar yang pernah dimiliki DKI Jakarta dalam sejarah! Keren banget gabener baru kita ini. Sementara APBD DKI tahun 2017 adalah Rp 71 triliun. Penambahan Rp 5.5 triliun untuk APBD 2018 pun dipertanyakan oleh DPRD.
Tapi apa pedulinya gabener dan wagabener baru ini. Menjawab pertanyaan tentang kemacetan Jakarta saja rancu, apalagi harus menerangan kenaikan APBD sebesar Rp 5.5 triliun. DPRD DKI mempertanyakan dari sektor mana perolehan kenaikan pendapatan yang signifikan itu? Karena yang DPRD DKI takutkan adalah dipertengahan tahun berjalan akan terjadi rasionalisasi besar-besar yang kemudian mengurangi alokasi untuk pelayan publik.
Dan di tempat terpisah wagabener menjawabnya bahwa dia akan menaikan target pajak, salah satunya adalah pajak restorant.
Wah selamat ya buat warga jakarta, terutama pemilik restaurant yang dipandang sangat nyata oleh pemimpin kalian. Sandi meminta Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) memeriksa kembali potensi sumber pajak yang dapat ditingkatkan di tahun anggaran 2018. Menurut dia, salah satu sumber pendapatan DKI Jakarta yang potensial untuk dinaikkan target penerimaannya adalah Pajak Restoran. Artinya, tidak hanya restaurant saja yang akan disoroti untuk dipecut membayar pajak, tentu saja beberapa sektor lainnya.
Namun pada hakekatnya, pihak yang membayar pajak itu adalah rakyat. Jadi kenaikan sebesar Rp 5.5 triliun ini akan dipaksakan untuk ditutupi oleh rakyat dengan cara taat membayar pajak. Sandi juga menyatakan Pemprov DKI akan memakai pendekatan teknologi untuk mendata semua rumah makan atau restoran yang berstatus wajib pajak, baik kecil maupun besar. Pendataan itu untuk memastikan pemilik restoran sudah membayar pajak daerah.
Dulu waktu jaman Ahok, karena Ahok sangat pintar dalam mencari uang tambahan yaitu dengan cara memalak para pengusaha atas CSR mereka, membuat APBD tahun 2016 kurang dari Rp 70 triliun, namun pembangunan bisa dilakukan dimana-mana seperti 100 RPTRA. Bahkan Pemprov DKI mampu mengkaryakan puluhan ribu warga yang terrangkum dalam pasukan berwarna.
Kita semua tahu bahwa reputasi Anies Baswedan selama menjabat Menteri Pendidikan adalah tidak mampu membuat anggaran dan sangat boros. Ini dibuktikan dengan adanya kelebihan anggaran sebesar Rp 23.3 triliun untuk anggaran tunjungan para guru se-Indonesia dan Rp 143 miliar yang dia habisnya hanya untuk event 3 hari pameran buku di Jerman.
Sekarang Anies diberi limpahan untuk mengelola anggaran Propinsi DKI dan yang dia kedepankan adalah memenuhi janji kampanye dia. Walaupun sama semua pihak memandang semua janji kampanye itu sangat sulit untuk direalisasikan.
Ya bersabar saja, semoga uang sebanyak itu benar-benar bisa mewujudkan kota yang maju dan warga yang bahagia.