Ada-ada saja kebijakan baru yang telah diputuskan oleh pasangan penguasa DKI. Jakarta Anies dan Sandi. Niatannya pastilah untuk memperbaiki permasalahan yang memang sudah sangat rumit dikawasan Tanah Abang. Tetapi aneh bila solusi mengatasinya memakai cara yang melanggar peraturan (hukum) yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itu, pasangan pemimpin yang harmonis ini harus mengkaji ulang kebijakan yang baru beberapa hari ini dieksekusi kelapangan. Mengatasi masalah dengan melanggar hukum sudah jelas sangat memalukan dan menyedihkan. Katanya Anies – Sandi merupakan lulusan Amerika Serikat yang berseliweran isu bentar lagi diboikot oleh bani micin, lulusan Luar Negeri kok cara kerjanya yang tampak melalui kebijakan ini, seperti orang yang beli gelar (Izajah) tanpa duduk menjalani studi.
Sungguh ironis memang bila ada pemimpin takluk terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat. Keputusan salah bila Pemimpin lebih mementingkan kepentingan gerombolan perusuh berkedok pedagang yang dibekingi preman daripada kepentingan masyarakat umum pengguna Jalan. Padahal kita ketahui bersama bahwa pembangunan dan perawatan jalan raya menggunakan dana yang sangat besar jumlahnya.
Semua pembangunan terkhusus infrastruktur jalan menggunakan pajak dari uang rakyat yang besarannya bermilyar-milyar rupiah. Tetapi dialihfungsikan seenaknya untuk lokasi berjualan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang memang sangat sulit diarahkan dan dibina. Sudah jelas dananya bukan dari kantong para pejabat, maka jangan dong korbankan kepentingan masyarakat umum pengguna jalan.
Jalan raya juga merupakan aspek yang sangat penting bagi segenap masyarakat untuk menunjang aksesbilitasnya dalam menjalankan setiap kegiatan mencari nafkah menghidupi keluarga. Tidak hanya golongan masyarakat mampu saja yang menggunakan jalan raya. Hampir seluruh masyarakat Ibukota menggunakan Jalan raya untuk menjalankan aktifitasnya.
Berikut petikan berita yang penulis langsir dari kompas.com sebagai sumber referensi :
Peneliti Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memfasilitasi pedagang kaki lima ( PKL) berjualan di Jalan Jatibaru, Stasiun Tanah Abang, melanggar undang-undang.
“Di dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan terdapat ketentuan pidana yang sangat tegas, yakni 18 bulan penjara atau denda Rp 1,5 miliar bagi setiap orang yang sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan trotoar,” jelas Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (23/12/2017). Sumber Disini
Bayangkan sahabat pembaca dengan adanya penggunaan badan jalan raya untuk lapak jualan para PKL, kemungkinan besar akan menambah carut marut kondisi transportasi di kawasan tersebut. Bisa saja berdampak secara global di DKI. Jakarta, masyarakat PKL yang lain akan semakin berani membuat lapak-lapak jualannya di trotoar jalan raya.
Dengan harapan masyarakat profesi PKL yang mengokupasi trotoar diberi kesempatan sama dengan PKL di Tanah Abang. Bila ini terjadi, seluruh jalan raya di Ibukota akan disulap menjadi lapak jualan para PKL yang diberi nama “Uno market on the highway”. Bila jalan raya telah beralih fungsi, Maka perlu segera direalisasikan moda transportasi mengapung di udara yakni “car flying numero Uno”. Maaf ya sahabat kalau penulis ikut-ikutan pakai bahasa asing, Semoga saja tidak salah terjemahannya. Ha ha ha
Sangat aneh memang bila ada kebijakan para penguasa untuk mengurai kemacetan yang disebabkan masyarakat tidak disiplin dengan mengurangi kuantitas jalan raya. Seharusnya pemerintah membangun jalan raya yang baru untuk mengatasi masalah macet, tetapi kebijakan pemimpin DKI. Zaman now malah mengurangi kuantitas jalan raya. Aneh bin guoblok ya !
Semoga saja solusi yang dijalankan oleh penguasa Ibukota Republik Indonesia yang Ga-Bener ini tidak ditiru ataupun tidak di copy–paste oleh pemimpin daerah yang lainnya, karena kebijakan yang seperti ini jelas merupakan kemunduran dan sebuah kegagalan pemimpin dalam mengatasi permasalahan. Sungguh tidak masuk akal bila kita gunakan logika berpikir mengatasi suatu masalah dengan menimbulkan masalah baru.
Asudahlah kita lihat aja kedepannya seperti apa perjalanan dinamika sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan yang melanggar hukum ini. Tetapi menurut penulis, bila hal ini dilakukan berlarut-larut maka akan menghasilkan kekisruhan masalah yang baru seperti yang penulis sampaikan diatas. Selayaknya seorang pemimpin memberikan solusi mengatasi masalah tanpa melanggar aturan-aturan baku yang sudah ditetapkan di Undang-Undang.
Salam Cerdas