Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Salah satu keuntungan saya bisa menulis adalah cukup banyak yang mengajak untuk ngopi bersama. Uniknya, banyak pensiunan yang mengajak. Pensiunan yang merasa apa yang saya tulis benar.
Dalam berbagai kesempatan, bisa bercakap-cakap 4 jam lebih. Dalam waktu itu, mereka bisa dijelaskan pergumulan batinnya selama bekerja. Intinya, bangsa kita sulit maju karena Sumber Daya Manusia. Budaya kita tidak pekerja keras dan petarung, kira-kira demikian uneg-uneg mereka yang pernah saya temani berdiskusi.
Hampir semua pensiunan itu berbicara tempat kelahirannya. Mereka amat mencintainya. Sayang, gagasan dan pengalaman empirik mereka tidak bisa diwujudkan karena sulit ditransformasi. Sebab, di kampung halaman seperti Sumatera Utara misalnya,masyarakat tak begitu suka gagasan. Umumnya, mereka suka uang kontan.
Tidak banyak yang mampu mewujudkan impiannya seperti Prof. Midian Sirait mendirikan Yayasan Arjuna, Luhut Binsar Panjaitan mendirikan Yaysan Del, TB Silalahi mendirikan Yayasan Soposurung, Akbar Tanjung mendirikan Mata Uli, dan lain sebagainya.
Apakah banyak seperti mereka? Sangat banyak. Tetapi, tidak banyak yang memiliki jejaring yang luas. Mendirikan Yayasan membutuhkan Sumber Daya Manusia dan dana.
Mengapa TB Silalahi, Luhut B Panjaitan, Akbar Tanjung, Midian Sirait mendirikan Yayasan yang bergerak di dunia pendidikan? Jelas, mereka sadari pentingnya Sumber Daya Manusia (SDM). Kita kalah karena SDM.
Dalam kehidupan sehari-hari, mengapa rakyat di kawasan Danau Toba tidak maju? Rakyat banyak yang tidak bisa menjawab kebutuhannya? Mengapa sentuhan teknologi begitu sulit?
Siapa sebetulnya yang paling bertanggungjawab mengenai jawaban atas persoalan masyarakat? Jawabnya semua kita. Persoalan pendidikan bermutu dijawab oleh yayasan dan sentuhan teknologi bisa dijawab oleh swasta.
Persoalannya di daerah adalah semua fokus ke perebutan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Massa (Ormas), hingga wartawan odong-odong; mereka tidak kreatif. Karena banyak elemen fokus pada yang sumber APBD yang konfliknya dahsyat. Semua pusing.
Padahal, jika kita melihat kekuatan swasta denga pemerintah, acapkali lebih kuat swasta.
Contoh. Badan Usaha Milik Swasta dibidang perhotelan, lebih hebat swasta atau BUMN? Di bidang kontraktor, lebih kuat milik BUMN atau swasta? Paling kontras di bidang perbankan, banyak yang lebih suka ke BCA dibanding Mandiri atau BNI? Kadang, lebih nyaman di kawal satpam dibanding polisi kan?
Coba bayangkan, BUMN itu milik negara. Pejabat negara dengan kekuasaanya bisa membuat regulasi agar miliknya menang terus bukan? Masa kontraktor sekelas PP bisa kalah? Masa perbankan sekelas Mandiri bisa kalah dengan BCA? Mengapa orang senang dengan milik swasta? Jawabannya adalah SDM dan pelayanannya.
Dalam dunia pendidikan, sekolah swasta lebih baik dari sekolah negeri. Kita lihat misalnya pemenang Olimpiade Sains Nasional (OSN) didominasi sekolah swasta, bukan? Padahal sekolah negeri dibiayai oleh negera. Mengapa kualitas swasta lebih baik? Jawabannya adalah SDM dan pelayanannya.
Diskusi kita sebetulnya sudah sepakat bahwa SDM kita harus kita majukan. Lalu, mengapa lambat? Diskusi demi diskusi tetapi realitanya susah.
Dalam kenyataannya kehadiran menantu masih banyak yang meyulitkan mertua. Menantu bukan memperkuat keluarga barunya, tetapi membawa masalah baru. Mengapa?
Demikian juga para Bupati/Walikota baru. Membawa persoalan baru? Kalau gubernur Jawa Barat membawa jawaban baru atas Kali Malang. Kalau gubernur Sumut membawa viral baru. Viral itu berbunyi, “apa hak anda menyakan hal itu kepada saya?” Sejatinya menantu baru, Bupati/Walikota, dan Gubernur baru membawa angin perubahan yang baru untuk perbaikan. Semua kita dihadapkan kepada pertanyakan, pembawa masalah baru atau pembawa jawaban untuk masalah yang kita hadapi.
#gurman punya cerita