Arus urbanisasi memang tidak bisa dicegah karena bagaimanapun semua orang berhak mengadu nasib di kota besar manakala desa tempat dimana mereka tinggal tidak memberikan “penghidupan” yang bernama pekerjaan.
Dan Jakarta sebagai ibu kota adalah salah satu kota tujuan yang menjadi magnet kaum urban. Bagaimana tidak, apapun bisa jadi duit di Jakarta ini.
Contoh misalnya: Tanpa ijazah, tanpa KTP, tanpa seragam khusus, cukup berdiri di tengah jalan dimana ada rambu-rambu putaran balik, dalam hitungan jam sudah bisa mendapatkan uang ratusan ribu rupiah. Dialah pak Ogah.
Atau menjadi penonton bayaran di sebuah stasiun televisi misalnya, hanya bermodalkan teriak-teriak alay saat sang artis melontarkan joke, mereka sudah bisa mengantongi ratusan ribu rupiah per hari. Dan kalau sedang untung, ada nasi kotak gratis yang bisa mereka makan untuk mengurangi cost makan siang mereka.
Bandingkan dengan menjadi buruh tani harian lepas di desa misalnya, nyangkul berpanas-panas seharian cuma dapat uang 20.000 itupun tidak setiap hari ada lowongan. Hanya musim-musim tertentu saja. Tentu orang akan lebih memilih untuk mengadu nasib ke Jakarta dengan segala konsekuensinya.
Sehingga peran pemerintah DKI Jakarta dalam mengambil sebuah kebijakan sangat diperlukan untuk mengendalikan arus urbanisasi di Jakarta ini.
Dan sayangnya, kembali Jakarta harus menanggung beban urbanisasi akibat dari kebijakan yang kurang tepat yang di ambil oleh gubernur Anies.
Kali ini cukup mengkhawatirkan karena bencong-bencong dari daerah sudah mulai berdatangan dan membuat jalan-jalan di Jakarta terlihat semakin semrawut dan tidak enak dipandang mata.
Padahal sebentar lagi kita akan menyambut tamu-tamu dan turis dari mancanegara pada gelaran Asian Games bulan September nanti. Hmm…
Diberitakan Warta Kota, banyak bencong dari daerah sudah memenuhi kolong jalan layang di Jakarta untuk mengais rupiah. Tidak peduli siang atau malam, mereka berkeliaran di pinggir jalan dan di kolong-kolong jembatan di Jakarta menawarkan jasanya.
Dan benar saja, ketika saya melewati jalan layang Bandengan, Tambora, Jakarta Barat, kemarin, terlihat beberapa bencong yang mangkal disana melambai-lambai menawarkan jasanya kepada orang-orang yang lewat. Lha padahal masih siang hari. Sebuah pemandangan yang cukup mengganggu menurut saya.
Herannya saya, siapa yang mau memakai jasa bencong di siang bolong? Kalau malam hari okelah, lha ini siang bolong sudah mangkal…
Tetapi kalau kita pakai logika gubernur Anies dalam menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa kemarin soal becak, bahwa tidak akan ada becak jika tidak ada kebutuhan. Berarti bisa juga saya simpulkan bahwa adanya bencong adalah karena adanya kebutuhan. Artinya ada yang butuh bencong di Jakarta ini…
Masih menurut Warta Kota, Ngatijan(41) yang ditemui di kolong jembatan Bandengan mengatakan dia datang bersama puluhan temannya ke Jakarta karena mendengar kabar bahwa gubernur Anies memperbolehkan bencong beroperasi di Jakarta.
Urbanisasi memang tidak boleh dicegah tetapi harus dikendalikan. Jakarta memang milik semua, tetapi tak bisa semau-maunya. Semua bebas datang ke Jakarta asalkan tertib administrasi sehingga tak terjaring saat ada razia operasi yustisi. Dan kita bersyukur bahwa gubernur Anies sudah mulai mendata bencong bencong ini agar teratur.
Kedepan akan diatur keberadaan bencong ini tidak boleh beroperasi di jalan-jalan besar tetapi hanya di jalan-jalan kampung saja. Menurut gubernur Anies, selama ini keberadaan bencong atau becak kinclong masih dibutuhkan ibu-ibu untuk berbelanja ke pasar.
Selamat menggunakan jasa Bencong, Becak Kinclong di Jakarta!!