“Janganlah mau jadi gubernur ibarat om dan tante, merusak aturan yang sudah dibuat orangtua. Mendidik anak susah, membangun itu gampang! Kami didik anak bertahun-tahun, kami didik dengan baik jangan dirusak demi jadi gubernur saja,” (Basuki Tjahaya Purnama, 10 Februari 2017, Debat Pilkada)
Pendukung Anies sendiri dapat dipetakan menjadi 3 golongan, pendukung militan yang berprinsip asal seiman dan asal bukan Ahok, pendukung yang gampang diintimidasi dan terakhir adalah pendukung yang tergiur oleh janji-janji manies yang tidak masuk di akal sekalipun.
Pendukung Militan
Pendukung yang pertama, tidak perlu dibahas terlalu panjang lebar, karena bagi mereka, apapun kata orang, kalau sudah A tetap A, akal dan logika sudah tidak ada dalam otak mereka. Bahkan saya pernah membaca postingan di medsos, selama seiman kalau korupsi juga tidak apa-apa. Pendukung ini biasanya berasal dari parpol yang mendukung Anies Sandi, dari ormas-ormas, ulama dan politikus radikal.
Pendukung Yang Gampang Di-intimidasi
Pendukung yang kedua sebenarnya adalah pendukung palsu, yaitu mendukung tidak sesuai kata hati nurani, ingin pilih Ahok tapi takut mendadak mati dan tidak disholatkan hingga masuk neraka. Ada juga yang terintimidasi menjelang hari pencoblosan oleh Tamasya Almaidah hingga rumahnya diancam akan dibakar bila memilih Ahok. Sebagian kecil etnis tertentu yg pengecut dengan alasan takut rusuh, takut ribut, takut usahanya diganggu dan sebagainya juga masuk dalam golongan ini.
Pendukung Oportunis
Pendukung yang ketiga adalah pendukung oportunis yang malas bekerja tapi punya impian setinggi langit, dimana yang dilihat adalah janji mana yang paling menggiurkan. Kelompok ini terdiri atas para PNS yang tertekan dan tidak bisa mengikuti ritme kerja Ahok yang mengutamakan kinerja hingga yang tidak bisa melakukan pungli lagi sejak Ahok menjabat. Dalam bayangan mereka, kalau berganti gubernur tentu mereka akan bisa pungli lagi, bermalas-malasan dan bolos jalan-jalan saat jam kerja.
Para RT/RW yang tergiur akan diberi 3 miliar tanpa perlu membuat LPJ (Laporan Pertanggung-Jawaban) serta buruh dan masyarakat umum yang tergiur akan janji-janji kampanye juga termasuk kelompok ini.
Nah setelah Anies dan Sandi menang, kelompok yang ketiga inilah yang pertama menjadi korbannya. Apa buktinya?. Coba kita lihat data-data berikut ini:
Janji UMP
Pahitnya tertipu setelah saat kampanye diiming-imingi dengan UMP 3,9 juta yang ternyata realisasinya hanya 3,6 juta sudah dicicipi oleh kelompok buruh ini.
Penutupan Alexis
Sebenarnya kurang tepat disebut penutupan, hanya penghentian perpanjangan izin operasional Alexis. Faktanya Alexis masih buka hingga sekarang dan hanya berganti nama menjadi 4Play. Coba bandingkan dengan Kalijodo yang benar-benar dirombak total oleh Ahok.
Rumah Petak DP 0
Ketika kampanye disebutkan Rumah Petak, bahkan Anies sampai menyebutkan salah satu website perumahan yang katanya banyak terdapat rumah yang dimaksud. Malu karena tidak bisa merealisasikan setelah menjabat dan tidak ingin disebut meniru Ahok, akhirnya Rumah Petak bertransformasi menjadi Rumah Lapis.
Pemberian Dana Operasional 3 Miliar Untuk RT/RW Tanpa Perlu Membuat LPJ
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mulanya berencana menghapus laporan pertanggungjawaban dana operasional RT/RW mulai tahun depan. Alasannya, dia ingin pengurus RT/RW fokus melayani warga dibandingkan dengan hanya sibuk mengurus persoalan administrasi. Namun rupanya aturan tersebut dia ralat kembali, para RT/RW akhirnya tetap harus membuat LPJ. Lagi-lagi tidak konsisten.
Dimodalin Ok-Oce
Saat kampanye spanduk Ok-Oce ini bertebaran dimana-mana, bahkan masyarakat sampai hapal isinya, yaitu “Dimodalin Punya Bisnis, Dicarikan Tempat Usaha, Bahkan Dicarikan Pembelinya (dimisalkan tukang jahit)”, begitu katanya saat kampanye.
Tapi kenyataannya?. Kata Dimodalin lagi-lagi dipelintir menjadi “Dibantu” memfasilitasi ambil pinjaman ke bank. Kena lagi deh, hahaha.
Menggeser Bukan Menggusur Di Jati Padang
Ketika menginspeksi tanggul di Jati Padang yang merupakan salah satu basis pemilih Anies-Sandi. Anies bertemu dengan warga yang rumahnya tepat di pinggir sungai. Akhirnya dengan kelihaiannya menata kata, berhasil menggusur rumah penduduk. Tentu saja dengan mengganti kata menggusur dengan menggeser, padahal artinya sama. Satu lagi kelompok warga yang tertipu oleh permainan kata-kata.
Pencabutan Raperda Reklamasi
Bagi para pendukung Anies Sandi, jangan terlalu cepat ejakulasi dulu, pencabutan tersebut bukan berarti reklamasi dihentikan. Tapi hanya merubah ketentuan dan tata caranya saja. Reklamasi tetap berjalan!!! Parahnya satu dari dua Raperda yang dicabut adalah Raperda tentang pengenaan biaya konstribusi sebesar 15% kepada pengembang yang oleh Ahok akan digunakan sepenuhmya untuk keperluan pembuatan Fasos (Fasilitas Sosial) dan Fasum (Fasilitas Umum) seperti jalan, rusun, pompa, penerangan, taman dan tempat bermain anak untuk masyarakat serta revitalisasi seluruh kawasan pantai utara.
Namun apa lacur, harapan tersebut sepertinya akan hilang. Pengenaan konstribusi 15% oleh pengembang sudah pasti akan dihapus oleh Anies atau dirubah hanya menjadi 5% saja seperti permintaan DPRD. Bila itu yang terjadi, maka yang bahagia adalah para pengembangnya. Tentu saja para pengembang tidak akan lupa memberikan “ucapan terima kasih”.
Dari apa yang saya jelaskan diatas, silahkan Anda yang menilai sendiri, siapa yang sebenarnya berpihak kepada warga dan siapa yang sebenarnya berpihak kepada pengembang. Sedangkan warga Jakarta? Cukuplah dihibur dengan kata-kata yang sudah teruji sakti tersebut.
Semoga si anak yang jumlahnya 58% tersebut tidak menyesal lalu menyanyikan lagu iklannya Jd.id yang judulnya “Tertipu”, karena mencampakkan si Ayah Ibu dan memilih si Om yang suka merangkai kata dan Tante yang suka mengolesi bibirnya dengan lipstik made in Japan.