Salah satu pentingnya kita berkata jujur adalah kita akan mendapatkan ketenangan batin, pikiran bebas karena tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan dan harus ditutup-tutupi. Kita tidak perlu resah memikirkan cara bagaimana menyembunyikan sesuatu yang membuat kita was was dan khawatir jika kebohongan kita terbongkar.
Analogi sederhananya, jika kita setia kepada pasangan maka tidak perlu ada yang ditakutkan jika kemudian pasangan kita buka-buka chat whats app di smartphone kita. Namun jika kita selingkuh dan tidak jujur dengan pasangan kita, maka hati kita tak akan bisa tenang dan yang pasti tidak akan nyenyak tidur. Pasti kita akan kepikiran bagaimana nanti kalau tiba-tiba ada chat whats app yang masuk tengah malam dari perempuan lain dan dibaca oleh pasangan kita. Bisa dipastikan malam itu juga karir kita sebagai kepala keluarga akan berakhir. Siap berkemas-kemas, tidur diluar rumah beralaskan koran dan berbantalkan koper berisi baju. Dan “kelar idup lo”.
Maka ketika Ahok teriak-teriak dimanapun, ngomongnya mengalir saja tanpa mikir, dan juga membuka lebar-lebar semua rekaman rapat pimpinan dan semua video-video kegiatan Pemprov DKI, bisa saya pastikan bahwa Ahok memang bersih. Logika bodohnya tidak mungkinlah seorang yang berbohong dia akan teriak-teriak nantangin tes kebohongan (baca: laporan harta kekayaan).
Berbeda dengan orang yang memang hobinya pencitraan. Jangankan ngomong, mau foto saja pakai mikir, kira-kira sudah pas belum ya, judul koran sudah kelihatan apa belum, syalnya miring apa udah lurus, image di masyarakat bahwa saya pro Palestina sudah kentara apa belum ya? cekrek..cekrek..editing dan kemudian barulah diupload. Pesan pun tersampaikan. Sebagian warga mungkin percaya, kagum dan bangga, tetapi bagi sebagian warga bisa-bisa malah menjadi eneg dan geli melihatnya, termasuk saya.
Sebuah kebohongan lama-lama akan terbongkar juga. Kalau sudah begini akhirnya kita harus menyadari bahwa kejujuran sudah menjadi barang yang mahal. Ternyata tidak semua pejabat punya integritas mau jujur dan terbuka dalam menjalankannya pemerintahan. Buktinya, bicara Open goverment pada kenyataanya cuma omong kosong.
Sehingga saya mempertanyakan mengapa pemprov DKI tidak lagi mengunggah video rapim ke YouTube. Bahwa mereka beralasan untuk mencegah terjadinya perpecahan itu saya anggap hanyalah logika yang ngawur dan alasan yang mengada-ada.
Itu sama saja dengan kita mengatakan kepada pasangan kita tidak boleh lagi memeriksa hape masing-masing agar tidak terjadi pertengkaran dan perselisihan. Sudah dipastikan si dia akan semakin tidak percaya kepada kita. Hal ini malah justru mengkonfirmasi bahwa memang kita menyembunyikan sesuatu. Apalagi jika kita memiliki rekam jejak yang buruk soal tipu-tipu dan perselingkuhan. Bukanya makin sayang dan saling percaya yang ada pasangan kita malah ngamuk-ngamuk. Ya nggak? (Bukan pengalaman lho yah…)
Pun begitu dengan Sandiaga yang mengatakan tidak mau nanti programnya dijadikan bahan ejekan dan saling menjelekkan jika diunggah di YouTube. Tentu saja kita akan semakin tidak percaya dan semakin curiga. Apalagi jika kita flashback kebelakang banyak sekali modus-modus operandi serta kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dan kita temukan terutama dalam hal penyusunan anggaran.
Baru beberapa hari yang lalu Gubernur Anies mengatakan bersyukur dan berterimakasih karena dibantu masyarakat dalam mengawasi pemerintahanya tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang tidak diawasi. Lho kok sekarang setelah dibantu masyarakat mengawasi malah ditutup begini, bagaimana kita mau bantu awasi, pak gubernur?
Anehnya Gubernur Anies dan Sandiaga sama-sama sepakat untuk tidak menayangkan rapat pimpinan di YouTube. Sepertinya mereka sudah tak malu-malu lagi mengakui bahwa memang ada apa-apanya di dalam rapat pimpinan DKI.
Kalau boleh saya sekedar mengingatkan Gubernur Anies pernah mengatakan bahwa pemerintahanya akan menerapkan open goverment bukan open governance. Berbusa-busa memberi kuliah warga jakarta Open goverment yang dia maksud ada tiga komponen yaitu transparansi, partisipasi, dan kolaborasi. Saat itu dia menjelaskan kebijakan bukan saja dijelaskan dan disosialisasikan, tapi warga juga bisa partisipasi. Materinya sih keren dan filosofis..cuma kalau tidak diterapkan ya berarti hanya bualan tanpa makna.
Anies juga pernah menyebutkan pentingnya partisipasi. Gubernur Anies membayangkan nantinya warga dapat terlibat dalam mengkaji dan mengevaluasi kebijakan Pemprov DKI.
Kenyataanya sekarang bagaimana mau mengkaji, mengevaluasi apalagi berkolaborasi kalau lihat rapim saja sudah tidak bisa? Ini mah bukan partisipasi namanya, ini antisipasi…
Oleh karena itu penting pesan ini untuk kita sampaikan kepada Gubernur Anies. Jika sebulan lalu Sandiaga berjanji untuk tetap mengupload setiap rapim Pemprov DKI, namun entah mengapa sekarang sepakat untuk menutup rapat rapat.
Sandi sebelumnya ingin semua rapat di Pemprov DKI Jakarta tetap diunggah ke YouTube. Dia mengatakan hal-hal positif yang ada pada pemerintahan sebelumnya harus tetap dilanjutkan.“Lanjutin dong yang bagus-bagus, tapi saya bilang jangan diedit, jangan pencitraan,” ujar Sandi, Jumat (20 Oktober 2017). kompas.com
Tetapi entah mengapa sekarang sudah berubah lagi. Menambah daftar panjang kemunduran-kemunduran Jakarta dibawah pemerintahan Gubernur Anies yang denger-denger akan dicalonkan menjadi presiden.
Akhir tahun, mustinya yang kita tutup adalah kegagalan-kegagalan dan kenangan pahit sepanjang tahun ini untuk kemudian kita bersiap-siap membuka lembaran baru di tahun yang baru. Mulai memikirkan resolusi-resolusi apa yang akan kita buat tahun depan. Yang kita tutup mestinya adalah kalender di rumah kita yang sudah akan segera berakhir, bukan malah rapat yang ditutup rapat-rapat.
Selamat tahun baru 2018! Sayonara, Open Goverment!
Lihat juga tulisan saya yang lain disini :