Saya rasa nama Biksu (Bhikkhu) Ajahn Brham merupakan nama yang tidak asing lagi bagi banyak orang, khususnya pemeluk agama Buddha. Membaca tulisannya yang bercerita tentang berbagai hal. Mencerminkan bila ceramah yang beliau sampaikan itu selalu terkesan ringan, santai, penuh humor namun esensi Dharma tetap sampai ke telinga dan hati audience.
Ciri khasnya adalah menggunakan perumpamaan cerita (storytelling) sebagai metode utama ceramahnya. Inilah metode yang disukai pendengarnya dari Ajahn, karena penyampaian tersebut memudahkan orang untuk lebih mengerti dengan cerita yang membumi.
Berbeda dengan penyampaian yang lainnya, yang sering mengutip ayat-ayat dari Tripitaka, Dhammapada atau dari kitab suci Buddhis lainnya dalam berceramah, tak jarang membuat pendengarnya mengerutkan dahi. Bagi Ajahn Brham membebarkan Dharma adalah menyampaikan pengalaman hidupnya sehari-hari, dari situ kita dapat melihat kebijaksanaan yang terkandung di dalam ceritanya. Beliau mampu mengajar tanpa kita merasa diajar.
Tidak heran bila tulisan-tulisan beliau dalam bentuk buku sangat dinikmati oleh pembacanya. Sebut saja tentang bukunya yang berjudul Si Cacing Dan Kotoran Kesayangannya, Membuka Pintu Hati, Here And Now, sangatlah digemari. Bahkan sebenarnya apa yang diceritakan olehnya di berbagai buku tersebut sifatnya sangat universal, dapat dibaca oleh segala golongan dan agama. Dalam berbagai cerita yang disampaikan, tak jarang yang menjadi objek humor adalah dirinya sendiri.
Hal ini membuat saya membandingkannya dengan pengalaman saya saat masih di bangku sekolah dulu. Ketika perayaan Waisak, pihak sekolah mengundang Bhikkhu atau Biksu untuk membeberkan ajaran Dharma di dalam sebuah Aula besar. Anak-anak sekolah akan diminta duduk bersila dalam barisan untuk mendengarkan pembabaran Dharma.
Lima menit pertama, semua masih konsentrasi mendengarkan penjelasan sang Biksu, sepuluh menit kemudian, beberapa mulai gelisah, ada yang membolak balik buku paritta di tangannya, ada yang matanya mulai jelalatan ke kanan kiri. Ada juga yang mulai berbisik-bisik dengan teman disampingnya, entah membicarakan apa. 10 menit kemudian? Paling tinggal dua baris pertama yang berusaha terlihat serius sambil menahan kantuk memaksakan diri mendengar khotbah-khotbah dari sang Biksu. Bahkan para nyamuk dan cecak pun lebih memilih pergi tidur.
Apa yang salah dalam hal ini? Cara penyampaiannya yang salah. Bukan sekali dua kali kita menemukan para Biksu membabarkan Dharma dengan pemaparan yang terkesan datar, kaku, monoton dan bikin ngantuk. Seakan-akan membabarkan Dharma dengan cara demikian sudah merupakan patron yang wajib diikuti. Padahal bisa jadi apa yang disampaikan itu sebenarnya menarik, bisa jadi apa yang dibabarkan itu bagus dan bermanfaat, tapi karena disampaikan dengan kaku seperti pembaca berita, kesannya jadi membosankan. Bahkan pembaca berita masih lebih bagus karena ada intonasinya.
Sudah saatnya para Biksu meninggalkan gaya-gaya berceramah konservatif yang terbukti tidak efektif. Cara-cara formal tanpa senyum, pasang wajah tenang agar terkesan jaim, berbicara lemah-lembut hampir-hampir tak terdengar. Tidak ada salahnya bila menyelipkan humor dalam pembabaran Dharma. Karena humor sendiri merupakan salah satu bentuk komunikasi yang efekif dalam menyampaikan pesan.
Malah dengan adanya humor, suasana yang awalnya terkesan kaku dan membosankan akan menjadi lebih cair dan menarik. Sekaligus juga secara emosional mendekatkan antara yang membeberkan Dharma dengan pendengarnya.
Saya tidak peduli bila apa yang saya sampaikan disebut saran, masukan atau kritikan sekalipun, toh sebagai Biksu tidak perlu anti kritik. Jangan seperti raja Thailand yang anti kritik tapi hidupnya penuh burik. Karena kritikan yang membangun dan disertai solusi malah bagus sebagai instropeksi agar lebih baik lagi ke depannya.
Hal ini perlu saya sampaikan mengingat ada teman saya yang menyebutkan tentang aturan untuk tidak boleh mengkritisi Biksu. Tentu saja hal ini masih perlu diteliti kebenarannya. Bila memang benar ada aturan seperti itu, tentu sangat disayangkan karena malah menjadi penghambat di dalam agama Buddha itu sendiri.
Namun kita harus bedakan juga mana yang disebut mengkritik dan mana yang disebut dengan nyinyir. Karena kritik yang benar adalah kritik yang memberikan solusi, sementara nyinyir biasanya tidak menyertakan solusi. Bukankah begitu kawan?
So, Selamat Hari Waisak 2563 BE Tahun 2019
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Semoga Semua Mahkluk Berbahagia
Sadhu … Sadhu … Sadhu