Tentu kita semua senang jika pemberantasan korupsi terjadi dengan sangat terstruktur massif dan sistematis. Karena korupsi sebenarnya sudah menjadi musuh bersama dan sudah menjadi penghisap APBN dan APBD yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, usaha atau terobosan apapun yang dilakukan untuk memberantas korupsi perlu didukung.
Nah, saat Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian melakukan terobosan dengan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri, maka kita harus meresponnya dengan baik. Apalagi kalau nantinya Densus ini kerjanya seperti Densus 88. Bisa melacak koruptor sampai ke akar-akarnya.
Lalu apakah Densus ini akan overlap dan saling singgung dengan kerjaan KPK?? Tentu saja tidak. Kapolri Tito menyatakan bahwa Densus ini akan menangani kasus korupsi yang tidak bisa ditangani oleh KPK karena keterbatasan daerah jangkauan dan juga dari besaran kasusnya. Sinergisitas inilah yang sebenarnya juga diharapkan oleh Presiden Jokowi.
Sinergisitas bukan dalam hal berada dalam satu tim, tetapi sama-sama bergerak memberantas korupsi. Kapolri Tito menyebut bahwa Densus Tipikor akan dipimpin seorang bintang dua dan akan dibentuk satgas tipikor kewilayahan. Satgas tipikor tersebut akan dibagi tiga tipe, yakni tipe A (enam satgas), tipe B (14 satgas) dan tipe C (13 satgas).
Rencana Kapolri ini tentu saja tidak jauh dari Densus 88 yang saat awal-awal dibentuk dipimpin olehnya. Kapolri Tito sadar betul, bahwa Densus Tipikor akan mampu membantu KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi. Apalagi jika merujuk keberhasilan Densus 88 dalam menanggulangi beberapa aksi terorisme.
Namun hal baik ini ternyata tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Wapres Jusuf Kalla. JK merasa bahwa Densus Tipikor tidaklah perlu dibentuk. Menurut JK pemberantasan korupsi biarlah cukup KPK saja yang melakukannya. Karena menurutnya, jika dibentuk lagi tim lain malah akan menimbulkan ketakutan.
Ketakutan yang dimaksud adalah ketakutan para pejabat untuk membuat kebijakan. Karena berdasarkan pengamatannya, salah satu yang menghambat pembangunan adalah ketakutan para pejabat mengambil keputusan. Benarkah apa yang disampaikan oleh Pak JK?? Saya pikir tidak juga. Karena jelas bahwa yang menghambat pembangunan adalah korupsi itu sendiri.
Mengapa para pejabat takut mengambil kebijakan?? Kalau benar dan sudah sesuai dengan aturan, maka seharusnya para pejabat tinggal mengikuti SOP dan aturan yang berlaku dan sudah ditetapkan. Jika ini dilakukan, mau ada Densus Tipikor tiap kementerian dan juga tiap kantor kepala desa pun dia tidak takut. Karena dia memutuskan sesuatu tidak ada indikasi dan niat korupsi.
Lalu mengapa saat ini banyak pejabat menjadi takut mengambil kebijakan? Ya tentu saja karena mereka sebenarnya terikat transaksi-transaksi politik dalam perebutan kekuasaan. Bahkan ada pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk jual beli jabatan di daerahnya dan juga untuk mengumpulkan dana menghadapi Pilkada.
Ketakutan itu tidak akan pernah ada kepada mereka yang menguasai SOP dan ketentuan-ketentuan lainnya. Itulah mengapa, orang seperti Ahok (maaf kalau contohnya Ahok lagi), sangat cepat dalam hal membangun Jakarta. Bayangkan saja, berusaha dijegal dengan kasus korupsi aneh bin ajaib seperti Sumber Waras dan juga Reklamasi, Ahok tidak pernah takut membuat kebijakan.
Mengapa dia tidak takut?? Karena dia pastinya tidak melakukan hal-hal terindikasi dan berniat korupsi. Lah, Ahok saja bahkan membuat APBD Jakarta menjadi sulit dikorupsi karena diawasi oleh KPK dan pakai nomenklatur khusus sehingga yang mau melakukan korupsi akan segera diketahui.
Lalu apa sebenarnya ketakutan JK?? Ada satu hal sebenarnya yang ditakuti JK jika Densus ini benar-benar dibentuk. Hal yang sebenarnya merupakan sebuah hembusan angin tetapi tingkat kepercayaannya sangat tinggi. Bahwa ada faksi-faksi di KPK itu kemungkinan benarnya lumayan besar. Apa yang ditemukan oleh pansus itu merupakan fakta yang mengarah ke dugaan ada faksi-faksi tersebut.
Nah, kalau Densus ini dibentuk, maka beberapa kasus korupsi yang terhambat, bisa saja akan menjadi lebih cepat diungkap. Dan kalau Densus ini terbentuk dan kerjanya benar-benar seperti Densus 88, maka KPK akan sangat tertolong sebenarnya menangani kasus-kasus korupsi lainnya. Kecuali jika memang ada yang tidak ingin korupsi diungkap secara massif.
Lalu apakah ini berarti JK tidak mau korupsi diungkap besar-besaran?? Silahkan saja simpulkan sendiri. Tetapi yang pasti JK menilai Densus Tipikor yang bisa seperti Densus 88 ini tidak perlua ada. Pak Tua anda sebenarny ada dipihak mana??
Salam Pak Tua.