Menarik memang jika kita terus mengikuti perkembangan DKI Jakarta. Bukan hanya sekedar persoalan janji yang tidak ditepati, bukan juga soal demo penolakan supir angkot, dan yang lain-lain, melainkan soal terkonfirmasinya teori kepala dan ekor Ahok.
Teori Ahok jelas sangat berbeda dengan apa yang dijadikan pegangan oleh Anies. Kalau Ahok berprinsip sama dengan Jokowi, bahwa atasan adalah teladan dan menjadi contoh bawahan untuk memimpin dan berkarya dalam birokrasi.
Sedangkan Anies jauh sekali berbeda. Sangat bertentangan dengan teori kepemimpinan Jokowi dan Ahok. Anies berprinsip bahwa gerakan perubahan harus dimulai dari bawah, bukan dari atas. Gerakan masyarakat yang berubah akan menghasilakan perubahan yang massif.
Teori kepemimpinan Jokowi-Ahok adalah teori lama yang sebenarnya sudah dinyawakan oleh Ki Hadjar Dewantara sang penggagas teori pedagogi kritis di Indonesia.
Dalam teorinya, Ki Hadjar menghembuskan semangat Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Dan itu benar-benar dijiwai dan dihidupi Jokowi-Ahok dalam kepemimpinannya. Sehingga terlihat bagaimana para bawahan mereka mulai meneladani.
Dan teori ini pun akhinya terbukti dalam kepemimpinan Anies. Ing ngarso Sung Tulodho. Bagaimana gaya kepemimpinan Anies ternyata seperti itulah juga gaya kepemimpinan SKPDnya. Setidaknya kita bisa dapatkan fakta dari Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu Purwoko.
Kasatpol PP Yani, dilaporkan oleh anak buahnya terkait penganiayaan yang dia alami. Dan seperti bagaiman Anies, begitu jugalah ternyata Yani. Dengan penjiwaan kepemimpinan Anies, Yani pun ngeles bajaj tidak karuan.
Yani yang dilaporkan melakukan pengniayaan membela dengan mengatakan bahwa dirinya tidak ada melakukan penganiayaan dan kontak fisik. Yani mengaku hanya menempelkan kedua tangannya ke pipi seperti seorang ayah kepada anaknya.
Hebat bukan pembelaannya. Apakah seorang ayah ketika menempelkan tangan ke pipi akan menimbulkan luka?? Kalau ayah mendisiplinkan anaknya dengan kekerasan dan mengaku hanya menempelkan tangan ke pipi, itu jels bukan seorang ayah, melainkan pelaku kekerasan.
Bukan kekerasan yang dilakukan lagi yang kini menjadi permasalahan menurut saya, melainkan ngelesan bajaj tidak bermutu yang dilakukan Yani. Seorang pemimpin seharusnya menjadi seorang ksatria dan bertanggung jawab, bukan menjadi lebih pengecut dibandingkn seorang banci.
Semoga saja kasus ini diselesaikan dengan tuntas oleh pihak kepolisian. Dan anak buah tidak perlu berdamai dengan kesepakatan apapun. Supaya kita lihat apakah memang benar hanya menempelkan atau memang menganiaya sampai terluka.
100 hari Anies benar-benar mengubah Jakarta, Keberadaban dan kedisiplinan yang dibangun bertahun-tahun runtuh dalam waktu sekejap. Inilah dampak kalau kita salah memilih pemimpin.
Pilkada Jakarta jadikanlah pelajaran untuk Pilkada 2018. Jangan salah memilih pemimpin, karena bagaimana pemimpinnya akan menentukan kemajuan kotanya.
Salam Ngeles.