Ahok terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya ketika massa mulai meramaikan kalimat ucapan dia yang dituduhkan telah menistakan agama mereka.
“Saya tidak ada niat sedikitpun menistakan agama Islam! Ini semua berkaitan dengan apa yang sudah saya alami dulu dan sekarang niat yang sama sudah mulai menyerang saya di Pilkada mendatang!”
Itu pembelaan dan klarifikasi yang berkali-kali Ahok ucapkan di depan publik dan disiarkan oleh hampir semua stasiun televisi. Tapi warga tidak mau menerima penjelasan dia. Mereka tetap merangsek kalimat Ahok dan bahkan ditunggangi oleh mereka yang melihat celah untuk menakomodir kepentingan mereka.
“Saya minta maaf jika kalimat saya telah menyinggung perasaan umat Islam.”
Empat kali kata maaf diucapkan Ahok pada kesempatan yang berbeda dengan harapan kegaduhan bisa dihentikan dan dia bisa kembali bekerja membangun Jakarta. Tapi bukannya warga memaafkan, bahkan MUI pun mengeluarkan fatwa khusus untuk kalimat yang dia katakan.
Mereka lebih brutal lagi dengan lebih mengagungkan potongan video yang sudah membelokkan makna pidato yang Ahok ucapkan. Penghilangan 1 kata PAKAI menjadi viral dan menjadi cikal bakal kegaduhan dan membuat Umat Islam tidak terima kalau Kitab Suci mereka dituduh menjadi alat kebohongan.
Tidak ayal lagi, tuntutan mereka hanya satu, penjarakan Ahok atau Jokowi akan mereka lengserkan!
Kalimat penyejuk hati bagi warga Kepulauan Seribu menghadapi Pilkada, dibalikkan menjadi agenda menggulingkan Jokowi. Ahok dan keluarganya secara batin dibantai habis-habisan. Jokowi ditantang untuk memenjarakan sahabatnya.
Memang sudah dasarnya baik Jokowi maupun Ahok adalah orang-orang yang beriman dan berpegang teguh pada kebenaran, mereka menyerahkan semuanya pada Tuhan. Dan meyakini bahwa jika kebenaran tidak diungkapkan maka balasan Tuhan yang pada mereka yang akan diberlakukan. Itulah dasar keyakinan mereka. Maka lahir dari mulut Ahok sendiri satu kalimat yang kemudian menjadi viral, “Gusti Allah Mboten Sare!”
Saya saksi dari segala kegaduhan yang ditimbulan mulai A sampai Z dan saya merinding menulis paragraf-paragraf di atas.
Lalu bangsa Indonesia menjadi saksi bagaimana tokoh-tokoh dari mereka yang begitu semangat mendzolimi orang yang benar, gugur satu per satu KARENA KESALAHAN UCAPAN DAN KELAKUAN MEREKA SENDIRI. Berdalih dan membalikkan fakta adalah keahlian mereka. Mereka gunakan rakyat biasa sekelas Asma Dewi, Sri Rahayu Ningsih, Jasriadi dan yang lainnya menjadi tumbal atas agenda dan rencana mereka. Namun kebenaran memang hanya milik Tuhan semata. Pelan tapi pasti, rakyat melihat sendiri apa, siapa dan bagaimana mereka satu-satu dipidana. Bahkan sampai ada yang minggat dari tanah Indonesia hanya untuk menghindari sebuah tanggung jawab pada hukum negara dan rakyat Indonesia.
HUKUM KARMA ITU MEMANG ADA
Sesaat mereka merasa menang. Kemenangan mereka dikonfirmasikan dengan pelantikan sebagai Gubernur DKI Jakarta di Istana Negara!
Tidak peduli ada banyak orang yang dikorbankan, “Inilah perjuangan! Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan!” mungkin dalih itu yang mereka pakai. Tapi “GUSTI ALLAH MBOTEN SARE!”. Kemenangan akan menjadi kemenangan yang hakiki dan tidak akan bisa tergoyahkan.Dan kalimat itu pula yang juga diucapkan oleh Anies Baswedan:
“Ketetapan Allah SWT telah datang. Tak ada yang bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan olehNya. Tak ada pula yang bisa mewujudkan apa yang ditolak olehNya.”
Rakyat Indonesia, pendukung lawan Anies Baswedan, tidak bisa menghalangi pelantikannya. Tapi Anies Baswedan pun tidak bisa memaksa keadaan bahwa dia sudah tersandung dengan kata-katanya.
Disaat rakyat Indonesia sudah mulai menerima keadaan dan kemenangan mereka atas Pilakada Jakarta, dan Ahok dengan keikhlasannya menerima putusan pengadilan dan masuk penjara, Anies dengan kesadarannya yang maksimal sudah mengucapkan satu kata yang menjadi bumerang atas dirinya.
Tidak ada pihak manapun yang merekayasa isi pidatonya. Instruksi Presiden tentang pelarangan penggunaan kata “Pribumi” lahir 19 tahun yang lalu. Undang-Undang tentang pelarangan diskriminatif ras dan etnis lahir 9 tahun yang lalu. Rakyat Indonesia, termasuk Anies Baswedan, memiliki waktu yang cukup lama untuk memahami dan mengimplementasikan isi dari kedua aturan hukum yang ditetapkan.
Lalu Anies Baswedan membela dirinya bahwa konteks kata “Pribumi” adalah bagian dari pidatonya tentang perjuangan bangsa ini di masa lalu? Sayangnya kata-kata “KINI SAATNYA KITA…” yang dia ucapkan setelah kata “Pribumi” yang mematahkan argumentasi dia. Karena kata “KINI SAATNYA” menujukan waktu yang Anies maksudkan adalah masa sekarang dan kata KITA menunjukan pengakuan bahwa dirinya dan bangsa Indonesia adalah Pribumi.
TIDAK ADA DAN TIDAK PERLU ADANYA PENGHILANGAN KATA seperti apa yang dilakukan pendukungnya terhadap Ahok untuk membalikkan makna kata. Semuanya gamblang terdengar oleh seluruh rakyat Indonesia.
Tidakkah kita melihat bahwa kekuasaan Allah SWT sedang diberlakukan? Anies Baswedan dihari pertamanya menjadi Gubernur Jakarta sudah dihadapkan pada laporan di kepolisian untuk tindakan pelanggaran 2 hukum yang diberlakukan di Indonesia.
“Gusti Allah mboten Sare!” itulah do’a yang selalu Ahok panjatkan setiap hari dibalik jeruji.