Kita tentu pernah mendengar berita tentang bayi yang dengan tega dibuang oleh orangtua kandungnya, ditinggalkan di tempat umum seperti pasar, tempat sampah, rumah sakit dan lain-lain. Apapun alasan yang melatarbelakangi tindakan itu, pertanyaan selanjutnya yang lebih penting adalah apa yang akan terjadi pada anak malang tersebut?
Apakah ia akan tumbuh besar di panti asuhan? Atau terlantar menjadi anak jalanan yang tidur di kolong jembatan, mengais tempat sampah demi mengisi perut yang lapar? Pilihan yang paling ideal tentu saja jika ada keluarga yang bersedia mengadopsinya, menyediakan rumah yang aman, memberinya kasih sayang, merawat dan menjaganya.
Hal inilah yang ingin dilakukan oleh Aipda Rouli Ida Maharani Hutagaol, seorang Polwan di kota Binjai, Sumatera Utara. Ia terlanjur jatuh hati pada seorang bayi laki-laki berusia satu bulan yang ditemukan di dalam kardus di Pasar Sepuluh Tanjungjati, Binjai Barat pada tanggal 28 Agustus 2017. Ia dan suaminya lalu sepakat ingin mengadopsi bayi tersebut, memberinya sebuah keluarga, ketika orangtua kandung bayi tersebut menolak melakukan hal itu.
Setiap pagi sebelum berangkat kerja ia menyempatkan diri menjenguk bayi itu di RSU, menggendong dan memberinya susu, membelikan baju dan perlengkapan bayi, membawa pulang popoknya untuk dicuci di rumah. Semua ia lakukan dengan ikhlas sambil menunggu permohonan adopsinya disetujui oleh Dinas Sosial kabupaten Binjai.
Namun tak disangka-sangka, niat mulia mereka ternyata harus digagalkan oleh negara karena agama yang mereka anut. Mungkin banyak di antara kita yang belum tahu, bahwa ada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tepatnya dalam Pasal 3 Ayat (2) yang berbunyi :
“Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.”
Artinya bayi tersebut hanya boleh diadopsi oleh keluarga muslim, sedangkan sang Polwan beragama Kristen.
Tak terbayangkan betapa sedih hati sang Polwan dan suaminya. Segala upaya sudah mereka lakukan demi bisa melindungi dan merawat bayi malang tersebut di dalam keluarga mereka.
“Saya buat permohonan, saya ikuti semua syarat; KTP, akte nikah, slip gaji dan tes kejiwaan. Juga sudah menyatakan memberikan surat hibah harta warisan. Karena saya diminta melengkapi itu saya pikir ada jalan ada harapan,” katanya.
Peraturan yang dibuat pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut dapat dianggap tidak mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Selama calon pengadopsi menganut agama yang diakui secara resmi di negara kita, mengapa harus dipermasalahkan? Bukankah kelangsungan hidup bayi malang tersebut dalam sebuah keluarga yang menyayanginya jauh lebih penting dibanding agama apa yang kelak akan ia anut? Bukankah orangtua kandungnya sudah mencampakkan dia sehingga agama dari orangtua kandungnya tidak relevan lagi dengan masa depan anak itu?
Tak ada yang tahu persis terlahir dari orangtua beragama apakah bayi itu. Bisa saja dia terlahir dari orangtua Kristen, Islam, Buddha dan lain-lain. Lalu orangtuanya membuangnya ke daerah yang jauh dari kediaman mereka agar tidak mudah terlacak. Sehingga tidak adil rasanya mengharuskan hanya agama tertentu di wilayah ia ditemukan yang bisa mengayomi, melindungi dan merawat anak itu di dalam suatu keluarga.
Dan bukankah nilai-nilai kemanusiaan dalam diri kita sejatinya tidak memandang agama? Kita menolong korban kecelakaan lalu lintas di jalanan tanpa bertanya dulu apa agamanya, tim SAR bencana alam akan terjun menyelamatkan nyawa tanpa peduli agama, para petugas pemadam kebakaran sigap menolong tanpa memandang agama, tenaga paramedis menolong dengan sepenuh hati tanpa melihat agama. Itulah sejatinya nilai-nilai seorang manusia.
Referensi :
http://peraturan.go.id/pp/nomor-54-tahun-2007-11e44c4f344d5fb0ac8a313231393339.html
Baca juga :
- Anies Pidato, Para Tamu Walk Out, Hukum Sebab Akibat?
- From Jakarta with Love, Terima Kasih Ahok dan Djarot