“Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi.”
Ucapan tegas Zhu Rongji, PM Tiongkok dulu, betul-betul menyadarkan kita bahwa korupsi tidak bisa lagi ditangani dengan ha, ha, hi, hi. Jika di Tiongkok koruptor ditembak mati, di sini masih ada koruptor yang malah mendapat remisi. Saat dipenjara pun, seperti temuan Najwa Shihab, mereka bisa ‘membeli’ sel mewah. Jika tidak ketahuan, dengan main mata dengan petugas lapas, malah ada yang bisa pulang ke rumah, bahkan jalan-jalan nonton pertandingan olahraga di luar pulau. Saat tertangkap, tidak ada nada jera di wajahnya. Pemirsa televisi dan pembaca media massa cetak maupun online, malah disodori dengan wajah tersenyum dan lambaian tangan.
Jika tidak segera diatasi, saat RRT sukses menjadi negara raksasa ekonomi karena efektif memberantas koruptor, Indonesia akan tetap menjadi negara berkembang lalu kempis kembali. Ibarat penyakit, mengutip pernyataan Prabowo, masalah korupsi di Indonesia sudah stadium 4. Perhatikan apa yang Grace Natalie katakan di Medan: “Bertahun-tahun, kami dan jutaan orang Indonesia lain, berharap partai politik menjadi lebih baik. Penantian yang tidak pernah terjadi! Kami — dan generasi di bawah kami — tidak ingin hidup di negeri di mana uang pajak dicuri secara sistematis, di mana orang tak bisa menjalankan ibadah dengan tenang, negeri di mana orang bisa seenaknya menyebarkan kebencian SARA secara terbuka… Apakah kita akan biarkan politik dikuasai para pencoleng? Apakah kita akan biarkan politik dikuasai para fasis?”
Dua pertanyaan ketua umum PSI itulah yang kini sedang terjadi di hari yang sama. Jumat pagi Rommy, Ketua Umum PPP, kena OTT KKP di Hotal Bumi, Surabaya. Siangnya, dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, diteror pelaku penembakan yang bisa saja disebut fasis dari manifesto 74 halaman berjudul “The Great Replacement” yang ditulisnya. Di dalamnya kental sekali keangkuhannya sebagai ras unggul sehingga benci dengan imigran. Bukankah kengerian yang sama dirasakan oleh orang kulit berwarna—khususnya kulit hitam—di AS karena triple K dan ancaman etnic cleansing orang Yahudi oleh kekejaman Hitler?
Respon setiap orang terhadap dua peristiwa itu berbeda. Itu biasa. Namun, jika tanggapannya jauh dari substansi yang sebenarnya, itulah yang membuat kita layak mengelus dada. Berita tentang Rommy, misalnya. Begitu Rommy ditangkap, kabar yang banyak beredar—khususnya di media online—adalah munculnya amunisi baru bagi BPN untuk menyerang TKN. Serangan ini seolah-olah meniadakan para koruptor di kubu penyerang. Bukankah baik di koalisi Jokowi maupun Prabowo sama-sama ada tikus di lumbung padinya? Balok di mata sendiri tidak kita singkirkan, malah sibuk mengorek selumbar di mata orang lain.
Jika kita terus saling serang, bukankah musuh akut justru senang? Karena tidak lagi dijadikan sasaran tembak, para teroris bisa bertindak dalam senyap. Tiba-tiba bum, bom meledak dan tembakan menyalak. Brendon Tarrant, pelaku teror di Selandia Baru, sudah pindah dari Australia ke negeri Kiwi ini selama dua tahun, bahkan berlatih menembak? Ingat, musuh paling berbahaya justru pembiaran yang membuat kita terlena.
Ingat kisah dua angin yang bertanding. Dua angin dari arah yang berbeda bertanding siapa yang paling kuat sehingga bisa menjatuhkan monyet di pohon.
Angin pertama langsung meniupkan kekuatannya. Si monyet, begitu diserang, langsung mendekap batang pohon seerat-eratnya. Dia tidak goyah sama sekali sampai si angin kehabisan nafas.
Ketika diberi kesempatan berikutnya, angin kedua berhembus sepoi-sepoi basa. Akibatnya monyet merasa nyaman dan akhirnya tertidur. Begitu tidur, angin kedua ini bertiup kencang. Seketika monyet yang terlena itu terjatuh.
Jangan biarkan Indonesia terlena. Akibat saling serang, masing-masing pihak bisa melupakan musuh bersama. Yang kawan jadi lawan. Yang lawan malah dianggap kawan karena memberikan dukungan. Bahkan dukungan setan pun diterima. Jika setan diberi tempat, cepat atau lambat, kita pasti akan disikat.
Saya sering membaca ada orang yang memelihara binatang buas di rumahnya. Selama mendapat makanan yang cukup, harimau itu tampak jinak. Suatu kali, dalam kondisi lapar, pemiliknya secara tidak sengaja menggores tangannya dengan pisau dapur. Begitu mencium bau darah, harimau itu menyerang pemiliknya sendiri. Apakah kita membiarkan binatang buasa terus-menerus berada di kelompok kita? Tunggu saja saatnya, suatu kali, saat momentumnya tiba, dia akan menyerang dengan ganasnya. Begitu sadar, kita sudah terkapar. Tindakan paling tepat adalah menghindar sebelum terpapar.
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.