Siapa yang tidak kenal Setnov atau Setya Novanto? Pada masa jayanya tidak ada jerat hukum yang mampu menyentuhnya. Tak kurang dari Donald Trump memberikan pujian kepada Setnov sebagai orang yang berpengaruh di Indonesia.
Beberapa media bahkan menjulukinya sebagai “The Untouchable”, pasalnya sejak 2001 meskipun dirinya telah dikaitkan dengan berbagai kasus korupsi, namun tidak ada yang mampu menyeretnya duduk di kursi pesakitan. Termasuk kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden saat meminta jatah saham PT Freeport Indonesia yang sempat menghebohkan itu juga tidak mampu menggoyang dirinya.
Barulah dalam kasus e-KTP, KPK berhasil menyeret Setya Novanto sebagai tersangka pada pertengahan tahun 2017. Itupun tidak mudah, Setya Novanto pernah menolak menghadiri pemanggilan pemeriksaan oleh KPK. Dua kali mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Drama pura-pura sakit untuk menghindari pemanggilan KPK hingga akhirnya sepak terjangnya terhenti oleh tiang listrik yang menimbulkan benjol sebesar “bakpao” di kening Setnov.
Vonis 15 tahun penjara pun harus diterimanya. Namun bukan berarti kisah Setnov berakhir sampai di situ saja. Selama mendekam di Lapas Sukamiskin, sempat tepergok menempati sel palsu. Ulahnya itu terungkap berkat tayangan Najwa Shihab yang mengunjunginya bersama Direktur Jenderal Pemasyarakatan atau Dirjen PAS tahun lalu.
Sel aslinya justru jauh dari kesan sederhana, dengan dinding berlapis wallpaper, ada kasur busa ukuran cukup besar, meja kerja, hingga toilet duduk. Hal ini yang ditemukan oleh Ombudsman RI saat inspeksi.
September 2018, juga muncul foto Setnov yang sempat menghebohkan, di foto terlihat Setya Novanto (Setnov) dan Anang Sugiana Sudihardjo sedang berada di Tol Purbaleunyi tanpa menggunakan rompi tahanan.
29 April 2019, Setya Novanto juga pernah tepergok sedang berada di sebuah rumah makan Padang di sekitar Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Setelah Dirjen PAS mendalami, ternyata disebutkan bila saat itu Setnov memang ingin makan bubur dan ‘cari angin’.
Dan yang terbaru, Setya Novanto kepergok pelesiran pada Jumat, 14 Juni 2019, ke toko bangunan yang berada di Kotabaru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat. Dalam foto yang beredar, Novanto tampak mengenakan kemeja lengan pendek, kepalanya memakai topi hitam dan wajahnya ditutup masker.
Setya Novanto diketahui menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Santosa karena mengeluhkan sakit jantung dan bahu sebelah kiri. Setnov seharusnya kembali ke Lapas Sukamiskin.
Awalnya disebutkan bila Setnov turun dari lantai 8 ke lantai dasar tempatnya dirawat dengan alasan akan membayar rekening tagihan rumah sakit di lantai dasar. Namun setelah ditunggu oleh petugas sekian lama, Setnov tidak muncul-muncul. Lalu disusul ke bawah, ternyata orangnya tidak ada. Pencarian pun segera dilakukan dan menemukan Setya sedang bersama istrinya di daerah Padalarang pada Jumat sore sekitar pukul 18.00 WIB.
Di sini terlihat bagaimana teledornya petugas yang mengawal Setnov dengan membiarkan Setnov turun ke bawah sendirian tanpa didampingi sama sekali.
Untungnya kemudian Setnov berhasil “ditemukan” kembali dan langsung dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur, yang merupakan Rumah Tahanan (Rutan) khusus narapidana teroris.
Keteledoran ini juga dipertanyakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyoal pengawasan sehingga narapidana korupsi Setya Novanto bisa pelesiran. KPK meminta agar kasus ini diusut tuntas.
“Bisa dipahami bila SOP (standar operasional prosedur) keluar rumah binaan tidak dipatuhi ya potensi ada yang menggunakan kesempatan,” kata pimpinan KPK Saut Situmorang.
“Ya sudah kalau begitu yang bersangkutan di Gunung Sindur-in aja sampai selesai masa tahanan biar nggak buat macam penilaian pada criminal justice system NKRI kita,” ujarnya.
KPK bukanlah satu-satunya yang menyoroti hal tersebut. Pengawasan oleh Menkumham juga dipertanyakan oleh iCW. ICW menilai Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami wajib bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
“Kejadian Setya Novanto yang diketahui pelesiran semakin menegaskan bahwa ada persoalan serius dalam pengelolaan serta pengawasan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Tentu karena lapas berada di wilayah kerja Kementerian Hukum dan HAM maka Menteri Yasonna Laoly dan Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami wajib ambil tanggung jawab atas peristiwa ini,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Sabtu 15 Juni 2019.
Kurnia meyakini bahwa publik akan bertanya-tanya seberapa besar keseriusan pemerintah dalam memberikan efek jera bagi para koruptor terkait kasus Setya Novanto ini.
“Jika pengelolaan lapas masih terus menerus seperti ini maka kinerja kepolisian, Kejaksaan, serta KPK dalam menangani perkara korupsi akan menjadi sia-sia saja,” imbuhnya.
Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly sudah sejak lama dipertanyakan kredibilitasnya. Yasona juga dianggap kurang tegas dan tidak mampu membenahi persoalan lapas ini.
Tak kurang dari Aktivis hukum LBH Jakarta mendesak Menkumham Yasonna Laoly untuk mundur.
Desakan ini bukanlah yang pertama kalinya dan satu-satunya. Pada 21 Juli 2018, desakan mundur pun datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin, Bandung, Wahid Husein, yang diduga KPK menerima suap hingga sel mewah Setnov menjadi dasar desakan mundur tersebut.
Namun bukannya melakukan perombakan besar-besaran. Kemenkumham justru terkesan mencari-cari alasan atas keteledorannya. Memang benar Dirjen Pemasyarakatan (PAS) Kemenkum HAM Sri Puguh Utami meminta maaf atas kejadian yang ada, termasuk kasus pelesirnya Setnov. Tapi permintaan maaf saja tidak cukup tanpa ada tindakan konkret lainnya.
Walaupun Sri Puguh mengatakan pemeriksaan terhadap Novanto sudah dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun tidak lupa dirinya menyelipkan alasan klasik yang terus berulang, yakni mempermasalahkan lapas yang over capacity serta jumlah warga binaan dengan kapasitas lapas yang tidak sebanding.
“Terlebih saat ini isi lapas 264.000 lebih kapasitas hanya 126.000-an. Hampir 50% narkoba,” ujar dia.
Lha kalau masalahnya lapas yang ada sudah over capacity, kenapa tidak membangun lapas yang baru? Bila petugas kurang, kenapa tidak tambah petugas?
Memang benar, tidak sesederhana yang saya tanyakan di atas, banyak pertimbangan untuk membangun lapas baru, misalnya harus jauh dari pemukiman penduduk hanyalah salah satu alasan utamanya. Namun dengan kondisi Indonesia yang begitu luas, apa iya tidak lahan yang memenuhi syarat untuk membangun lapas baru? Kemudian apa kabar rencana yang ingin memanfaatkan pulau-pulau tidak berpenghuni sebagai lapas?
Masa sih diantara 17 ribu pulau di Indonesia tidak ada sepuluh persennya atau satu persen atau bahkan 0,1 persen (17 pulau) terpencil yang bisa dibangun lapas? Pindahkan para napo dengan hukuman di atas 5 tahun ke pulau-pulau itu sementara yang di bawah 5 tahun tetap di daratan utama.
Demikian halnya juga dengan masalah petugas, apa iya Kemenkum HAM kesulitan mendapatkan petugas dari sekian ratus juta populasi di Indonesia dan sekian juta tenaga produktif yang belum bekerja? Kemenkumham bisa meniru perusahaan swasta misalnya dengan membuka lowongan kerja.
Tentu saja tenaga kerja yang melamar tetap disaring sesuai kualifikasi yang ditetapkan dan harus menjalani serangkaian pelatihan sebelum benar-benar ditempatkan pada posisinya. Intinya asal mau pasti bisa. Pertanyaannya, apakah Kemenkumham memiliki kemauan dan upaya ke arah sana? Bila tidak, buat apa lagi menteri yang sekarang tetap dipertahankan di kabinet Jokowi jilid dua nanti?
Cari yang lebih mampu, apalagi Jokowi sering mengatakan dirinya sudah tidak ada beban. Jadi jangan terbebani untuk mengganti orang-orang yang tidak mampu walau satu partai sekalipun, dengan orang-orang yang memiliki kapasitas integritas dan kredibilitas sesuai dengan yang dibutuhkan. Bagaimana menurut anda?