Masih segar dalam ingatan kita, ketika drama penutupan tempat hiburan Alexis dipakai sebagai alat legitimasi keberhasilan mengeksekusi program program dalam janji kampanye Pilkada . Walau manajemen Alexis menyumbang 30 Milyar pajak dalam 1 tahun , Gubernur mengatakan ia memilih uang halal.
“Kami ingin uang halal. Kami ingin dari kerja halal. Enggak berkah kalau masalah-masalah seperti ini,” ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Selasa (31/10/2017) malam. Anies menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki kewajiban menegakkan peraturan daerah (perda). Pemasukan dari sumber yang melanggar perda, kata Anies, tidak akan berarti bagi Ibu Kota. “Bagi daerah seperti Jakarta, pemasukan dari sana enggak ada artinya dibandingkan dengan tegaknya prinsip-prinsip aturan yang kita miliki, yaitu perda, dan perdanya ada, kami tidak mau meninggalkan itu,” kata Anies.
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/11/01/06331131/pajak-alexis-rp-30-m-per-tahun-anies-bilang-kami-ingin-uang-halal.
Awalnya kita surprise dan bangga punya gubernur dengan sikap lugas dan berani menegakkan aturan, namun dengan berlalunya waktu ucapan manis gubernur hanya tersisa isapan manis dijari manis, yang ternyata berbau amis. Lihatlah “uang uang haram” itu masih dengan derasnya masuk ke pundi pundi pemprov DKI. Hampir di seantero Jakarta masih beroperasi dengan terang benderang, tempat tempat berkedok hiburan, sebagai tempat tempat praktek prostitusi, seperti Hotel M Jl Gajah Mada, C jl. Kunir, Hotel T jl Mangga Besar, dan masih banyak tempat tempat lainnya.
Artinya, kalo dengan pandangan Gubernur yang tidak ingin ada sumber (pendapatan tidak halal ) yang melanggar perda, tempat tempat seperti itu seharusnya seluruhnya ditutup, tanpa pengecualian. Jikalau hanya uang halal yang diinginkan oleh Gubernur maka sebaiknya beliau konsisten untuk menutup semua tempat tempat hiburan berkedok tersebut. Termasuk sesegera mungkin menjual kepemilikan saham DKI di perusahaan Beer PT Delta, yang sampai hari tidak jelas kedengaran kelanjutannya lagi? Ah sudahlah bukan itu isu kita dalam artikel ini, isu kita jauh lebih krusial!
Bicara “uang haram- halal” ala sang Gubernur, ada yang paling mengusik hati nurani, yaitu pajak PBB rumah/tempat tinggal.
Konstitutsi UUD 1945 pasal 28 H(1) dengan tegas mengamanatkan.
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapalkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Frase bertempat tinggal ini mengandung makna hak untuk bertempat tinggal, masuk dalam kategori hak dasar universal yang diakui secara Internasional. Hak untuk mendapat sandang pangan dan papan, merupakan hak hak dasar yang harus dilindungi dan dijamin oleh suatu Negara. Dalam prakteknya pajak PBB ini sangat menyengsarakan banyak kalangan, terutama kalangan orang orang tua pensiunan ataupun kelompok marginal yang tidak memiliki penghasilan tetap dan juga kelompok masyarakat yang tidak memiliki jaminan sosial di hari tua nya. Kelompok kelompok masyarakat seperti ini akan rentan terusir dari rumah tempat tinggalnya. Mereka “terusir” ketika harus menjual property nya, dan pindah ketempat pinggiran dengan kondisi yang lebih jauh jaraknya dan murah harganya, Seperti yang pernah dilansir Gubernur Ahok
“Harusnya rumah tempat tinggal nggak pantas dikenakan PBB. Bagaimana logikanya. Coba bayangkan kalau saya pensiun, tapi tagihan pajak naik terus. Saya berarti harus jual rumah saya. Ini nggak masuk akal,” ujar Ahok.
“Sudah kerja keras waktu muda, masak sudah tua masih dipalak lagi,” lanjutnya (BTP)
Itu sebabnya eks Gub Ahok ingin menghapus Pajak PBB secara bertahap, dan dia sudah membuktikannya dengan mulai menghapus kewajiban pajak masyarakat DKI dibawah nilai NJOP 1 Milyar rupiah (Pergub 259/2015), seandainya Ahok masih Gubernur mungkin NJOP dibawah 3 Milyar pun sudah tidak perlu bayar PBB lagi? Bertahap Ahok ingin menghapus pajak PBB di DKI, dan diharapkan pada akhirnya bisa menjadi inspirasi semua kepala daerah lainnya di seluruh Indonesia, lihat betapa besar visi Ahok untuk masyarakat Indonesia……:)
Lantas bagaimana pajak PBB di DKI pasca peninggalan Ahok??
Jangankan mencoba untuk menghapuskan kewajiban PBB warga Jakarta, justru Guberner sibuk mencari celah untuk meningkatkan PAD (pendapatan Asli Daerah) dengan meningkatkan Nilai jual objek pajak Tanah dan bangunan. Untuk PBB tahun pajak 2018, ada kenaikan signifikan pajak PBB di Jakarta, rata2 19,4%. zona zona tertentu ada yang 100% kenaikkannya.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180706081857-4-22191/njop-dki-jakarta-naik-bayar-pbb-pun-kian-mahal
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4106632/njop-dki-naik-anies-sandi-genjot-pajak-untuk-apa
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4111974/kenaikan-njop-dki-bisa-kerek-harga-sewa-toko-di-mal
Akibat dari kenaikkan pajak PBB ini banyak warganet menjadi meradang, sebagian besar mereka adalah pendukung dan tim supporter gubernur terpilih, sekarang harus merasakan bagaimana pilihan mereka ini hanya bisa “memalak” dan “”memeras” mereka, menyesal itu selalu kemudian cuys……:)
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/19/08233191/viral-bayar-pbb-di-jagakarsa-naik-100-persen-jadi-rp-32-juta-ini
PBB di Jagakarsa naik 100 persen Netizen: “Era Rezim @[email protected] Hanya Orang Kaya yang Boleh Punya Tanah di Jakarta.
Tweet ini benar adanya, karena mereka yang tidak mampu membayar pajak PBB apabila taat pajak dipastikan harus menjual Tanah Bangunannya, untuk membayar pajak PBB. Alhasil hanya orang orang kaya saja yang tersisa tinggal di Jakarta. Jadi kalo Gabener sibuk beretorika dengan keberpihakan seperti berpihak kepada rakyat yang memasang bendera peserta Asian Games dengan bambu belahan , jelas lah Gabener sedang (maaf) beronani ria dengan kata keberpihakan, entah kepada rakyat yang mana dia sedang berpihak?? Jelas warga yang punya rumah resmi dan membayar PBB akan terusir, sebaliknya penghuni liar yang tak pernah membayar pajak PBB sedang dimanjakan?? Jakarta diperkirakan akan menjadi kota dengan tingkat kesenjangan sosial yang tinggi. Disatu sisi masyarakat yang kaya yang memiliki asset asset property, disisi lain adalah kelompok marginal yang sama sekali tidak membayar pajak PBB, jurang besar ini akan menjadi suatu isu sosial yang sangat rawan di kemudian hari. Entahlah, apa yang ada di kepala sang Gubener tentang keberpihakan kepada kelompok poor?? Yang pasti dia sedang melawan azas sila ke 5 Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan itu tidaklah harus selalu berpihak kepada wong cilik, rakyat tak mampu, Keadilan itu harus dirasakan oleh semua kelompok masyarakat tanpa memandang status “kekayaannya”.
Alhasil keluhan warganet ini di respon oleh gubernur sendiri, Gubernur akan mengkaji ulang kebijakannya
https://news.detik.com/berita/d-4124796/anies-akan-kaji-ulang-kenaikan-pbb-di-kawasan-permukiman
Sebenarnya upaya Gabener ini bagai upaya menjaring angin untuk mencari simpati warga pendukung yang keburu meradang. Rakyat sudah kadung tak percaya, Koreksi dalam menentukan nilai objek pajak menjadi jualan obat di kaki lima. Dinaikkan sendiri dan sebentar kemudian diturunkan sendiri, kalo Gubernur jantan dan memang ingin mensejahterahkan warga DKI adalah dengan melanjutkan kebijakan Ahok, yakni membebaskan PBB dengan NJOP yang lebih tinggi nilainya semisal 3 – 5 (tiga sd lima) Milyar. Barangkali Dia akan diapresiasi! Tapi mana mungkin Gubernur berani?? Apa gak boncos tuh PAD? dan siap siap dimintakan pertanggungjawaban oleh DPRD?
Terakhir, ini yang seharusnya disadarai oleh Guberner.
Pajak PBB itu sangat “tidak beradab”, konsiderannya sangat tidak rasional, bahkan bisa jadi inkonstitusional! Dasar pengenaan pajak PBB itu adalah adanya manfaat yang diperoleh dari suatu objek pajak , manfaat yang diperoleh subjek pajak (pemilik) atas tanah dan bangunan yang dimilikinya, oleh UU PDRT P2 No 28 tahun 2009, dimintakan untuk berbagi kepada negara. Bayangkan apa yang menjadi manfaat utama dari suatu rumah tinggal? Tak lain tak bukan, sebagai tempat berlindung dari semua perubahan iklim dan cuaca, tempat berteduh dari terik matahari, hujan dan dari rasa dingin, tempat orang merasa dirinya aman, tempat keluarga berkumpul!! Manfaat seperti ini yang dimintakan berbagi oleh sistem perpajakan kita….. gila, memang gila………..padahal untuk memiliki sebuah rumah tinggal (tempat tinggal) setiap subjek pajak sudah membayar BPHTB, PPN, maupun Pph penjualan ( biasanya dibungkus sebagai harga jual oleh pengembang) ini harus diluruskan !! Kalau kita mengikuti alur pikirian Gubernur DKI hal seperti ini harus dikategorikan sesuatu yang tidak halal. alias Haram!!
Apalagi kalau kita menyadari kehadiran UU Pajak PBB ini tidak terlepas dari sejarah sistem upeti kepada raja- raja yang dibawah oleh kolonial Belanda. Sistem kolonial Belanda memungut pajak kepada warga jajahannya. Sewaktu Indonesia Merdeka Indonesia belum sempat meratifikasi hukum pajak pertanahan ini dengan baik dan benar dengan kearifan lokal. Untuk mengisi kekosongan hukum pasca kemerdekaan diadakan Perppu No 11/1959, dan pada akhirnya dijadikan UU melalui UU no 1/1961. Jadi semua kebijakan pajak PBB yang ada hari ini masih berbau kolonialisme, dan jauh dari kearifan masa kini. Waktunya kita memperbaharui UU Pajak PBB ini.
Jadi kalau Gubernur Jakarta masih juga menggenjot pajak PBB jelas sebenarnya dia sedang mengejar uang tidak halal, seperti yang didefinisikan dia sendiri. Oh ternyata Dia masih mencintai “uang haram” itu!!!
Salam betterthangood Indonesia
Jakarta, 22Juli 2018
Note;
Kepada seluruh masyarakat DKI & Indonesia, seharusnya mulai berani untuk menolak pajak PBB yang cendrung ditetapkan dengan cara semena mena, dan berpotensi “inkonstitusional” pula. Penyalagunaan PAD kita lihat dimana mana di berbagai daerah; Pemerintah ataupun DPR harus segera mereformulasi aturan pajak PBB ini. Bagi yang merasa keberatan dapat menunda pembayaran pajak pbb, karena sanksinya hanya bersifat denda, legal standing UU dan implikasi hukumnya sangat lemah, Peraturan Perundangan yang tidak efektif diberlakukan atau banyaknya dispensasi dalam Perundangan tersebut menunjukkan ada yang salah dalam Perundangan tersebut ….(kita bahas dalam artikel lain)
Yang punya masalah pajak pbb dan ingin berjuang untuk menghapus pajak pbb hubungi email. [email protected]
Lho pak… dari pada terima uang pajak hiburan yang gak halal lebih baik naikan PBB dong. Kan ini gak haram.