Saya setuju jika ada yang mengibaratkan Jokowi sebagai pemain catur yang handal; penuh strategi dan perhitungan matang, langkah-langkah yang diambil pun terkadang bisa menjadi kejutan yang tak disangka-sangka oleh lawan.
Hari ini, tepat setahun yang lalu ketika suasana politik Jakarta sedang gaduh-gaduhnya, digelar aksi demo besar-besaran yang diklaim para penggagasnya berhasil mengumpulkan 7 juta orang. Angka fantastis yang kemudian banyak dijadikan bahan lawakan lantaran sulit diterima nalar. Aksi tersebut dikenal dengan aksi 212. Sebulan sebelumnya sudah ada aksi “kode buntut” lainnya yaitu 411.
Ketika para tokoh dan penggagasnya sudah sangat jumawa menjadi bintang panggung di aksi tersebut, tiba-tiba muncullah Presiden Jokowi. Ia datang dengan pengawalan yang minim, memakai payung karena saat itu kebetulan sedang hujan, lalu mengambil alih podium dan berpidato sangat singkat.
Aksi Jokowi tersebut ibarat sedang menyiramkan air ke tengah kerumuman massa yang sedang kebakaran emosi dan amarahnya setelah api-api kebencian terus menerus ditiupkan oleh mereka yang punya kepentingan. Jokowi patut menuai banyak pujian karena aksi heroiknya tersebut.
Hari ini aksi serupa digelar dengan tajuk “Reuni alumni 212”. Panitia mengklaim ada sekitar 7,5 juta orang yang akan hadir. Lagi-lagi klaim angka yang sangat lucu dan menggemaskan. Memang bisa dimaklumi jika tujuan mark up jumlah massa tersebut sebagai laporan/klaim ke penyandang dana.
Tapi pertanyaan pentingnya, kemanakah Jokowi ?. Alih-alih datang seperti tahun sebelumnya, Jokowi justru lebih memilih menghadiri puncak perayaan hari Guru Nasional dan HUT ke-72 PGRI. Di acara tersebut, Jokowi lagi-lagi membuat “ulah” ketika memberikan penghormatan khusus sambil membungkukkan badan kepada para Guru di saat menyampaikan pidatonya.
Sekali lagi, Jokowi berhasil mencuri perhatian sambil menyampaikan pesan apik nan simpatik di momen yang diklaim sebagian orang sebagai tanggal cantik. Kali ini Jokowi dengan tegas menunjukkan pilihannya. Ia memilih hadir di momen perayaan hari para “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yaitu para pembawa pelita kecerdasan bagi bangsa, bukan di acara reunian yang lebih sarat nuansa kepentingan politik kelompok tertentu.
Mau buktinya? Pertama, acara tersebut dihadiri para elit partai politik yang dikenal memang sangat anti dengan pemerintahan saat ini. Tak usah saya sebutkan namanya, sudah TST (tau sama taulah) karena orang-orangnya itu L4 (lu lagi lu lagi). Kedua, sebuah buku berjudul Pandangan Strategis Prabowo Subianto: Paradoks Indonesia beredar dan dibagikan di tengah massa Reuni Aksi 212 di halaman Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2017).
Terima kasih Jokowi, terima kasih Guru Indonesia.
Silakan baca tulisan-tulisan saya sebelumnya