Ketika mendapatkan kiriman di WAG kami, saya membaca Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menginginkan Indonesia, khususnya Jakarta menjadi salah satu pusat pergerakan pemikir dunia jaman sekarang. Sehingga, kata Anies, kota Jakarta bisa menjadi pusat pemikir yang berdampak pada kemajuan dunia.
Jakarta, menurut Anies, mestinya bukan hanya menjadi Ibu kota warga Jakarta, tapi harus menjadi pusat pemikir yang diikuti oleh dunia internasional.
Sejenak saya tercenung, otak saya berpikir keras , apa saja program atau tindakan si Anies yang sudah mengarah kesana. Apakah program Ok Oce? Bukan, toh meski telah menghabiskan uang sekian miliar rupiah, yang diajarkan hanya belajar cuap-cuap, setelah itu dibohongin lagi, pasalnya saat kampanye ngakunya dimodalin, tapi prakteknya hanya didampingi minjam duit ke bank dengan bunga 13 persen.
Bagaimana dengan penutupan jalan di Tanah Abang yang kemudian dipakai untuk berjualan? Juga bukan, penutupan itu saja entah sudah berapa banyak UU yang dilanggar, baik UU dishub, kepolisian dan sebagainya, hanya mengajarkan orang untuk berani melanggar aturan dan tidak disiplin.
Pemberdayaan becak? Jelas bukan, itu adalah perbuatan tidak manusiawi dan tidak beradab. Bila dia benar-benar ingin mensejahterakan warganya, pasti akan diberikan pekerjaan yang lebih layak daripada sekedar menjadi tukang becak.
Lantas apa dong? Oh Rumah Lapis, tapi bagaimana bisa disebut program yang mencerdaskan bila isinya tipu-tipu. Awalnya janjiin rumah petak, berubah menjadi rumah susun, awalnya janjinya untuk masyarakat menengah bawah, kenyataannya hanya untuk yg berpenghasilan minimal 7 juta. Jadi apa dong? Entahlah, sampai disini, saya tidak bisa menemukan jawaban yang tepat, bisa jadi karena memang tidak ada.
Sampai kemudian saya teringat Ahok, apakah yang sudah dilakukan oleh beliau untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat pemikir dunia?, Ahok memang tidak pernah mengatakan hal tersebut, tapi coba kita lihat beberapa tindakannya. Apa yang sudah beliau lakukan?
Merelokasi penduduk kawasan kumuh ke rusunawa, dengan demikian bisa hidup lebih sehat dan bermartabat. Melawan perilaku korup anggota dewan, pengusaha hitam dan oknum pemprov, mengajarkan kita untuk mendapatkan penghasilan secara benar, tidak makan duit rakyat, berani bersih, transparan dan profesional.
Menyediakan KJP yang tidak bisa ditarik tunai agar tepat sasaran pemanfaatannya serta membantu siswa tidak mampu untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi, itu namanya mencerdaskan warga.
Membuat Jakarta Creative Hub wadah binaan yang digagas oleh Ahok ini untuk memberdayakan anak muda dan masyarakat kelas menengah dalam pembangunan ekonomi kreatif. Disana mereka diajar bagaimana mengembangkan kemampuannya, bagaimana mengasah potensi yang dimiliki sehingga dapat mandiri dan berdaya guna.
Mengeruk sungai, membersihkan sampai, mengajarkan kita apa artinya hidup bersih, disiplin dan menjaga kesehatan.
Memikirkan hal tersebut membuat saya berpikir, tidak salah bila beliau, tahun 2017 kemarin terpilih masuk dalam daftar bergengsi “Top Global Thinkers 2017” versi majalah ternama Foreign Policy.
Ahok bergabung dengan tokoh-tokoh dunia ternama dan Ahok menjadi satu-satunya tokoh Indonesia yang berada dalam daftar tersebut.
Tidak mudah untuk dapat masuk ke dalam daftar majalah tersebut, Ahok bisa masuk ke dalam daftar 100 pemikir dunia karena dianggap sebagai ikon yang mampu berdiri tegak melawan setan-setan fundamentalis di Indonesia.
Ahok bahkan disebut bukan tipikal politisi biasa Indonesia. Hal ini mulai tercermin dari ketika mantan Bupati Belitung Timur itu menginjakkan kaki di Balai Kota Jakarta 2012, Ahok sudah diprediksi akan menjadi sosok yang kontroversial dan mengundang polarisasi.
Setelah kejadian di Kepulauan Seribu, karier politik Ahok berakhir. Namun, Ahok terlanjur menjadi simbol penting dari pluralisme yang sedang tersudut di Indonesia.
Majalah Foreign Policy menyebut, hal yang luar biasa adalah ketika Ahok, sebagai seorang minoritas ganda ditambah dengan gaya bahasanya yang impulsif, dapat melangkah begitu jauh di kancah politik Indonesia.
Ahok bersama Jokowi disebut sebagai duet yang saling melengkapi di mana kecerdasan teknokratik Ahok mampu mengimbangi retorik populis Jokowi.
Kinerja Ahok bahkan mendapat pujian sebagai gubernur yang berhasil memerangi korupsi, memperluas akses kesehatan, mengeruk kanal-kanal, serta meningkatkan kinerja transportasi umum. Kesuksesan ini melambungkan popularitasnya.
Selain Ahok, ada 3 tokoh dari Indonesia yang pernah masuk majalah Foreign Policy tersebut, yaitu Jokowi, Sri Muliany dan yang terakhir ternyata Anies juga pernah masuk majalah tersebut, tapi itu sudah lama, tahun 2008 yang lalu, saat dirinya masih memiliki kewarasan untuk merajut tenun kebangsaan. Untuk sekarang paling jauh dia hanya bisa masuk majalah sekelas majalah Tempe
Saya tidak tahu apakah Anies mengetahui, kalau Ahok sudah masuk dalam daftar 100 pemikir dunia, karena jauh sebelum Anies yang hanya pintar beretorika, baru menginginkan Jakarta sebagai pusat pemikir dunia, Ahok sudah melakukannya melalui gebrakan-gebrakan yang mengarah kesana.
Sampai disini saya tiba-tiba merasa rindu akan sosok beliau.