Masalah difteri sebenarnya sudah sangat baik diantisipasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun ini. Bahkan vaksin difteri digratiskan demi mencegah menyebarnya wabah difteri dan mencegah kematian karena difteri. Tetapi sayangnya, usaha gencar Kemenkes ini terhalang isu vaksinasi haram.
Hal ini diakui oleh Kemenkes yang menilai bahwa gerakan anti vaksin adalah salah satu penyebab maraknya wabah Difteri belakangan ini. Gerakan anti vaksi tersebut akhirnya membuat warga takut dan tidak jadi memberikan imunisasi kepada anak mereka. Takut apa?? Takut dosa karena vaksinasi diharamkan.
Tentu saja gerakan anti vaksin ini membuat Kemenkes kewalahan. Sudah berupaya mendekati MUI untuk memberikan himbauan, tetapi tetap saja vaksinasi dianggap haram karena tida ada label halalnya MUI. Karena di Indonesia banyak orang yang masih percaya kepada fatwa MUI dan gerakan anti vaksin dari kaum radikal, maka Kemenkes terhambat melakukan vaksinasi.
Anehnya, Anggota Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh, mengatakan meningkatnya kasus difteri di sejumlah wilayah di Indonesia menjadi bukti Kemenkes gagal melakukan pencegahan.
“Kejadian itu bukti bahwa Kemenkes gagal melakukan pencegahan atas penyebaran pengakit Difteri ini,” ungkap Nihayatul Selasa (26/12/2017).
Aneh memang pernyataan Anggota DPR ini. Seperti tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia terkait fatwa haram vaksinasi, malah menyalahkan Kemenkes. Padahal, sangat jelas gerakan anti vaksin dan fatwa vaksinasi haram adalah penghambatnya.
Menyadari fenomena tersebut dan Dfiteri semakin berbahaya dan darurat, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Fatwa Huzaemah Yango angkat bicara. Huzaemah mengatakan dalam kondisi darurat, vaksinasi hukumnya wajib untuk menjaga jiwa.
“Kalau sesuatu itu darurat, bisa mengancam jiwa, maka wajib hukumnya dilaksanakan, karena dapat menjaga jiwa tadi,” kata Huzaemah.
Menyedihkan bukan?? Harus jadi darurat dan banyak korban yang jatuh, baru vaksin menjadi sebuah kewajiban. Apakah ini tidak akan menjadi hal yang sangat buruk bagi kehidupan beragama di Indonesia?? Tunggu sesuatu mewabah dan darurat baru menjadi wajib??
Kalau begini ceritanya, berarti gerakan anti vaksin yang mengandalkan penyembuhan ilahi menjadi gerakan yang tidak berkuasa?? Ternyata penyembuhan tidak bisa datang begitu saja dan memang harus kita, manusia yang diberi akal, megusahakannya.
Sayang sekali harus jatuh korban dan menjadi darurat, baru vaksinasi diwajibkan. Beginilah kalau kita beragama tidak melihat manfaatnya dan hanya melihat bahwa segala sesuatu secara stempel harus dihalalkan. Padahal, vaksin tersebut jelas adalah sebuah pengobatan yang memberi manfaat bukan hanya kepada diri sendiri tetapi kepada lingkungan.
Semoga dengan kejadian Difetri ini, gerakan anti vaksin dihentikan dan MUI mewajibkan vaksinasi tanpa menunggu banyak korban dan statusnya menjadi darurat. Karena akan menjadi sangat menyedihkan kalau segala sesuatu harus menelan banyak korban dan jadi darurat baru diwajibkan vaksinasi.
Marilah beragama dengan baik dan menyelamatkan jiwa, bukan kelembagaan atau demi kepentingan organisasi tertentu.
Salam Vaksinasi.