Beberapa hari yang lalu kita Semua sempat dihebohkan oleh keprihatinan beberapa pihak terkait kasus meninggalnya rakyat Papua, lebih tepatnya Asmat karena kurang gizi.
Ada yang menjadikan ini kesempatan untuk menyalahkan orang lain tanpa mengerti inti persoalan, ada juga yang mencoba menggunakan ini untuk menfitnah pakai foto jadul yang sudah lama banget serta ada juga yang lebih memilih diam dan mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.
Saat saya membaca berita ini, sebenarnya buat saya sudah tidak terlalu lebay dalam menanggapinya. Sudah tidak aneh dengan kehidupan rakyat di daerah terpencil yang memang serba susah namun keluhannya jarang terdengar (mungkin sudah pasrah karena memang jarang didengar sejak merdeka) dibanding anak kota yang terlalu nyaman dengan seluruh infrastruktur yang baik sehingga dikit-dikit ngeluh.
Tidak hanya itu, ini juga mengingatkan saya pada dua pengalaman saya, yaitu pengalaman saya saat mengunjungi salah satu desa terpencil di Kalimantan Barat beberapa tahun lalu dan pengalaman saya saat ikut seminar yang pembicaranya dr. Dharmawan Lie, pelopor Rumah Sakit Apung (RSA) dan Dokter Terbang (Flying Dokter).
Saya ingat betul satu cerita dari sekian banyak cerita soal pelayanan dokter yang mendapat julukan “Dokter Gila” ini adalah soal pelayanan Beliau di Papua.
Beliau bercerita pernah suatu sore sekitar jam 15:00 Wita, Beliau kedatangan seorang pasien yang butuh dioperasi yang lumayan parah (sepertinya tumor, saya sudah lupa). Beliau emosi dan marah pada warga itu, karena jika melanjutkan operasi kemungkinan selesainya akan subuh dan beliau akan kurang istirahat serta sulit melanjutkan pelayanan kesehatan keesokan harinya.
Singkat cerita, penerjemahnya mengatakan kalau pasien itu sudah jalan kaki dari subuh. sekali lagi saya tekankan, pasien itu sudah JALAN KAKI dari subuh dari atas gunung yang aksesnya susah, berbatuan (bukan jalan aspal yang mulus dengan tambalan di sana-sini atau lobang yang belum ditambal) .
Hatinya luluh dan tetap operasi pasiennya. Kejadian ini juga yang mengerakan dia untuk membuat program flying dokter berupa pesawat untuk menjemput bola pasien di tempat yang akses jalannya susah.
Selain cerita di atas, saat saya mengunjungi sebuah desa terpencil di Kalimantan barat. Bus Saya dan beberapa teman-teman mengalami amblas ke dalam lumpur yang becek. Singkat cerita, ada seorang warga yang berkata kepada kami “Tolong katakan kepada Presiden, kunjungi kami dan bangun jalan buat kami”.
Pernah sekali saya berbincang dengan salah satu warga setempat, dia mengatakan bahwa mereka bisa bercocok tanam, tapi mereka sulit menjualnya karena akses jalan yang sulit. Walaupun bisa ditempuh, tapi hasil jualnya tidak sebanding dengan apa yang harus mereka keluarkan, seperti kendaraan (motor) yang lebih mudah rusak -biaya perbaikannya mahal- atau hasil cocok tanam mereka yang rusak selama diperjalanan yang sulit saat sampai tujuan tempat mereka berjualan.
Pada dasarnya rakyat di daerah terpencil bisa bertani untuk mencukupkan kebutuhan makan sehari-hari mereka walaupun memang tetap terbatas. Namun, itu semua diperparah dengan sulitnya mengakses dunia luar dari daerah mereka karena akses jalan yang sulit, penerangan yang kurang serta becek sana sini saat musim hujan yang bahkan membahayakan nyawa saat malam hari.
Sudah 7 dekade lebih negeri ini merdeka, tapi masih begitu banyak daerah terpencil termasuk desa Asmat di Papua yang tidak tersentuh pembangunan.
Sederhana saja, tanpa jalan yang mulus, apakah mungkin bisa membawa makanan, obat-obatan ke daerah situ? Bahkan saat ingin membangun Puskesmas, Rumah Sakit misalnya, pengiriman material, alat-alat rumah sakit ya harus lewat jalan juga.
Kalau jalannya jalan gunung dan berbatuan ya tidak bisa lewat jalan darat. Contoh saja kasur rumah sakit, apa mungkin membawanya dengan jalan kaki atau kendaraan roda dua melalui jalan berbatuan atau lumpur yang becek sana sini? #mikir
Membawa makanan yang sebergizi apapun, obat sehebat apapun ke daerah terpencil yang aksesnya sulit tetap akan ada yang rusak. Bisa karena jalannya yang bebatuan merusak barang bawaan tapi juga karena waktu untuk mengakses juga menjadi kendala yang harus dipertimbangkan. Biasanya kalau memang urgent ya pakai pesawat kecil.
Jadi, kalau ada yang mengatakan daerah-daerah terpencil termasuk desa Asmat tidak butuh infrastruktur, orang-orang itu pasti hatinya sudah picek. Orang-orang yang sudah terlalu manja dan nyaman dengan kehidupan kota yang jalannya sudah mulus, kalau pun tidak mulus paling hanya berupa lubang-lubang yang sangat jauh lebih baik jika dibandingkan jalan lumpur atau bebatuan di daerah terpencil.
Rakyat-rakyat yang tinggal di daerah terpencil memang butuh makanan yang bergizi, memang membutuhkan obat-obatan, tapi tanpa akses jalan yang baik, apa mungkin mudah membawa itu semua ke mereka?
Ini memang memprihatinkan dan jelas tidak salah ketika kita memang punya niat untuk menunjukkan berempati kita kepada mereka. Sebagai rakyat biasa nan sederhana, memang tidak banyak yang bisa kita lakukan selain hanya bisa menviralkan berita untuk menunjukkan empati kita pada saudara kita di Papua, tidak hanya pada suku Asmat saja.
Itu memang tidak salah, kalau seandainya niat kita memang supaya lebih banyak yang tahu dan berempati pada mereka, yah.. syukur-syukur ada yang mampu dan bisa mengulurkan tangan untuk menolong mereka sambil berharap pemerintah daerah yang selama ini diam bisa terenyuh untuk melakukan sesuatu atau pemerintah pusat bisa bekerja lebih ekstra untuk membangun akses jalan guna mempemudah pendistribusian makanan bergizi atau obat-obatan ke daerah-daerah yang terpencil termasuk Asmat
Namun demikian, menjadi sangat hina sehina iblis, ketika ada pihak yang justru menjadikan ini sebagai senjata untuk menyerang pihak yang bersebrangan dengan mereka. Mereka tidak benar-benar berempati pada rakyat di daerah terpencil, mereka tidak ikhlas dalam menunjukkan keprihatinan mereka. Hidup mereka bermewah-mewah (politikus), tapi sok mengkritik namun aslinya menjadikan ini kesempatan untuk menyerang lawan politik, salah alamat pula.
Bagi mereka, itu hanyalah sebongkah harapan dan kesempatan untuk menjatuhkan pihak lawan. SUNGGUH HINA MEREKA ITU, DEMI KEKUASAAN, MEREKA MEMANFAATKAN PENDERITAAN ORANG LAIN UNTUK MENYERANG LAWAN.
Memang kita harus menyalahkan pemerintah yang sudah mengabaikan mereka.
Namun demikian, menjadi sangat super konyol dan terlihat kemunafikannya ketika ada pihak yang hanya menyalahkan pemerintah pusat atau Jokowi yang baru berjabat 3 tahun SERTA sudah berusaha melakukan pembangunan di sana. Namun mereka lupa bahwa ada pemerintah daerah mulai dari Gubernur hingga jajaran di bawahnya yang harusnya punya LEBIH BANYAK kewajiban dari pusat kepada rakyat di bawah kepemimpinan mereka.
INGAT.. Jokowi bukan manusia super, itulah sebabnya ada kepala daerah di tiap-tiap provinsi, kota, kabupaten, bahkan ada kepala desa.
Selain itu, jangan lupa pula untuk menyalahkan Presiden-Presiden terdahulu yang benar-benar menelantarkan mereka. Minimal bisa mengurangi kemunafikan kalian yang begitu HINA.
Selain itu, saling menyalahkan seperti ini, apa mampu mengubah hidup saudara-saudara kita di pinggiran yang tidak tersentuh pembangunan, yang hidupnya sangat susah dari berbagai aspek kehidupan?
Lagipula sangat aneh, bagaimana pula mereka-mereka itu bisa menunjukkan empati mereka kepada rakyat Papua?
Padahal kenyataannya, mereka hanyalah pilitikus busuk yang terbiasa hidup mewah serta rakyat manja yang terbiasa menikmati subsidi yang teriakannya jaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaauuuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh lebih kencang dibanding rakyat Papua yang kelaparan saat BBM dinaikin 1.000 rupiah saja atau saat subsidi listrik dan gas dicabut demi pemerataan pembangunan di daerah yang sulit diakses, menambah penerangan di daerah-daerah terpencil?
Ok lah Sekian..
Hans Steve