Masa setelah proses transfusi sel induk selesai merupakan masa yang sangat sensitif bagi pasien, karena pada saat itu jumlah sel darah dan antibody sangat rendah sehingga rentan akan infeksi yang bisa berakibat komplikasi. Jumlah sel darah menjadi rendah dikarenakan sebelumnya pasien menjalani proses kemotherapi yang mengakibatkan rusaknya sebagian besar sel-sel darah di dalam tubuh pasien.
Selama beberapa minggu, pasien ditempatkan pada sebuah ruang isolasi, yaitu 1 kamar hanya boleh ada 1 pasien untuk mencegah resiko infeksi dari pasien lain. Tim dokter akan rutin memantau kondisi pasien, test darah juga harus rutin dilakukan. Saya tinggal di rumah sakit selama 3 minggu. Staff di rumah sakit cukup perhatian. Pada saat Saya tidak mempunyai selera makan, apalagi mengingat makanan rumah sakit termasuk tawar ditambah lagi efek samping dari kemotherapi, Ahli Gizi dari rumah sakit mencoba membantu Saya untuk makan.
Mereka tak ragu menanyakan makanan apa yang Saya suka dan berusaha menambahkan makanan yang saya inginkan, jika bahannya tersedia di dapur rumah sakit. Padahal setiap 3 hari ada staff yang memberikan pilihan menu kepada setiap pasien. Mau minum coca-cola atau minuman soda lain pun disediakan jika pasien tidak mempunyai pantangan. Bisa dibilang tinggal di rumah sakit tersebut (St. Vincent Hospital) tidak akan kekurangan makanan.
Saat sarapan pagi kita bisa memilih, ada cereal dan susu, roti bakar dengan selai dan butter ataupun bubur gandum. Makan siang dan malam biasanya diberikan pilihan 3-4 macam menu dan juga ditambah makanan penutup seperti pudding atau kue plus juice buah. Diantara waktu sarapan, makan siang dan makan malam, ada staff yang keliling menawarkan kopi, teh dan biscuit.
Karena Saya dianggap oleh ahli gizi tidak cukup makan, Saya diberikan susu khusus untuk menyeimbangkan gizi. Saya sempat cek ternyata susu tersebut tidak dijual bebas dan hanya bisa dibeli dengan cara memesan dan harganyapun tidak murah. Semua yang Saya dapatkan dari rumah sakit adalah gratis tanpa harus membayar apapun.
Untuk hiburan, setiap pagi ada relawan yang keliling menawarkan koran, majalah dan novel untuk dibaca, juga ada TTS untuk mengobati kejenuhan.
Biasanya setiap beberapa jam, suster akan rutin memeriksa temperatur, tekanan darah, detak jantung dan menanyakan kondisi pasien apakah perlu bantuan dan sebagainya. Suster-suster tersebut cukup ramah, biasanya sambil periksa, mereka mengajak pasien ngobrol berbagai hal umum. Pernah ada, seorang suster menawarkan Saya untuk meminjamkan DVD film agar Saya tidak bosan. Iya betul, di ruangan kamar isolasi disediakan TV, DVD player dan reclining chair atau semacam sofa sandar ( bisa diatur setengah baring). Di kamar saya juga ada kamar mandi tersendiri.
Hampir setiap hari selalu ada tim dokter dan calon dokter yang mengunjungi Saya.
Ohya, saya tambahkan sedikit informasi mengenai penyakit scleroderma ini. Scleroderma termasuk ke dalam penyakit langka yang belum ditemukan penyembuhannya. Orang yang menderita Scleroderma biasanya adalah keturunan Afrika dan orang berkulit putih(bule), sedangkan untuk orang Asia masih sangat jarang menurut penelitian para ahli. Penyakit ini kebanyakan diderita oleh wanita sekitar umur 20an sampai 40an. Sedangkan untuk penyebab scleroderma masih belum bisa dipastikan hingga kini, namun sementara diperkirakan kemungkinan factor keturunan dan kontaminasi kimia.
Baiklah, kembali ke kondisi saya. Setelah pencangkokan sel induk, kondisi saya mulai membaik. Dokter kemudian menyarankan saya untuk menjaga kesehatan dan makanan untuk menghindari infeksi karena antibodi saya sangat rendah. Namun pada tahun 2013, secara tidak disangka, kondisi saya menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Hal ini disebabkan saya menderita cacar air yang menyebar hingga ke paru-paru (pneumonia). Scleroderma yang belum sembuh pun kembali aktif dengan skala “balas dendam”. Seluruh badan dari kepala sampai ujung jari kaki tidak luput dari gelembung cacar. Seluruh tulang, otot dan persendian sakit seperti pasien rematik akut. Bahkan ketika itu saya sampai menduga bila keluarga saya sempat berpikir bahwa kali ini saya sudah tidak “tertolong” lagi.
Untungnya system pelayanan kesehatan di Australia termasuk telaten. Walaupun saya harus kembali masuk rumah sakit dan diisolasi selama 1 minggu, namun kondisi saya membaik dengan transfusi obat antibiotic selama beberapa hari.
Orang bisa sakit mendadak dan kondisinya bisa menurun dengan cepat seperti bola salju menggelinding dari atas sampai ke dasar bukit, namun untuk membaik seperti menyaksikan siput lomba lari. Walaupun kondisi saya semakin baik dengan kecepatan siput berlari, saya tetap bersyukur.
Bukannya saya bersyukur karena penyakit saya namun saya bersyukur walaupun sakit, saya mempunyai harapan. Saya bersyukur walau saya sakit dan kondisi keuangan keluarga saya hanya secukupnya namun saya mendapatkan prioritas pengobatan yang baik. Tim kesehatan yang menangani penyakit saya cukup ramah dan perhatian, memberikan dukungan dan pujian untuk ketahanan fisik dan mental saya dan keluarga. Selalu menanyakan hambatan yang kami alami dan memberikan solusi ataupun bantuan untuk setiap masalah apapun yang kami hadapi.
Mau tidak mau saya harus membandingkan dengan pelayanan kesehatan di Indonesia. Mama saya pernah mengalami sakit selama berbulan-bulan, dirawat di berbagai rumah sakit dan konsultasi ke berbagai dokter namun tidak bisa mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Pernah sekali saya membawa mama saya konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam di Pluit, Jakarta Utara.
Kalau tidak salah ingat namanya Dr. Andrian. Teman saya yang merekomendasikan dokter ini. Setelah menunggu dan antri selama 1 jam-an, kami lalu masuk ke ruang konsultasi. Dokter ini hanya tanya-tanya sedikit tanpa melakukan pemeriksaan lalu dengan seenaknya bilang bahwa mama saya tidak sakit dan hanya mengalami depresi.
Saya agak bingung dan menanyakan ulang untuk memastikannya, si dokter dengan nada tidak sabar dan mungkin menganggap kami bodoh karena tidak mengerti kembali menegaskan diagnosis dia. Kemudian dia dengan tidak sabar mengisyaratkan kami untuk keluar dari ruangan dia agar pasien berikutnya bisa masuk. Kami bayar cukup mahal untuk tarif konsultasi lebih kurang 5 menit sekalian dapat bonus dimarahi dokter. Sampai saat ini saya merasa tidak puas bila ingat pengalaman tersebut.
Pasien itu pada dasarnya tidak ada yang mau mengalami sakit, namun pada saat penyakit datang, bukan hanya fisik yang menderita, mental juga tersiksa. Kalau di Indonesia pastinya ditambah “penyiksaan” keuangan. Untuk itu pasien tidak membutuhkan dokter materialist yang arrogant beresiko menambah beban pasien. Saya ingin menambahkan untuk dokter-dokter di Indonesia khususnya, jika anda tidak bisa menyembuhkan pasien, jangan menambahi beban pasien dengan sikap arrogant.
Pada saat mental pasien positif dan stabil maka proses penyembuhan sudah bisa mencapai 50%. Bukankah dengan demikian tugas dokter menjadi lebih ringan? Sikap dan perhatian para dokter, suster, staff administrasi dan pihak yang bersangkutan lainnya menyumbangkan factor kesembuhan pasien.
Demikianlah artikel ini saya tulis, semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi keluarga maupun orang-orang yang sedang mengalami penyakit Scleroderma seperti yang saya derita dan membutuhkan pengobatan serta kepada para dokter dan tenaga kesehatan lainnya agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi ke depannya.
Penulis: Juliana Lim