Apa yang dulu diyakini sebagai sebuah kebenaran, boleh jadi kini tidak lagi relevan. Hal yang dulu dianggap sebuah keajaiban, terbukti kini bahwa hal tersebut hanya sebuah tehnik. Namun tidak sedikit orang, yang walaupun tahu bahwa zaman sudah berubah tetap saja terpaku pada pola pikir yang keliru. Hasil dari cara berpikir yang salah di masa muda, ternyata baru dirasakan sakitnya di masa tua. Di mana seharusnya para orang tua menikmati masa-masa pensiun dengan damai dan hati tenang, justru hadapi masa-masa yang menyakitkan.
Menjadikan Anak-Anak Sebagai Investasi Di Hari Tua
Cara berpikir itu adalah sebagai berikut “sebagai orang tua, kita sudah membesarkan anak-anak dengan susah payah. Menyekolahkan mereka hingga selesai dengan mengorbankan seluruh kesenangan hidup kita. Maka wajarlah bila kita sudah tua, maka giliran anak-anak yang akan menjaga kita.” Cara berpikir yang keliru ini, ternyata berlanjut dari satu generasi hingga generasi yang berikutnya. Tanpa orang mau belajar dari setiap peristiwa hidup bahwa jaman sudah berubah. Siapa saja yang menjadikan anak-anaknya investasi masa tua, maka kelak akan menuai kekecewaan dan kesedihan mendalam Karena apa yang telah “ditanam”, ternyata tidak bisa ”dipanen”
Sebuah Kilas Balik
Ketika kami merayakan ultah ke 50, adalah merupakan kesempatan emas untuk dapat berjumpa dengan sahabat dari berbagai komunitas, disamping keluarga dan kerabat yang hadir. Saat sebelum acara usai, mendekati jam 10.00 malam saya sempat menyalami salah satu teman lama saya. Yang tampaknya jauh lebih tua dari pada usia sebenarnya, padahal faktanya 7 tahun lebih muda dari saya. Isi dari pembicaraan singkat dengan pak Gito (bukan nama sebenarnya), sesungguhnya merupakan sebuah pembicaraan yang biasa-biasa saja. Yakni, rasa kekagumannya menyaksikan anak, mantu dan cucu-cucu, serta teman-teman yang datang dari berbagai pelosok. “Hebat ya Pak Effendi, luar biasa, anak, mantu dan cucu-cucu datang semua ya dari Australia. Berapa biayanya pulang pergi Indonesia – Australia?”
Karena saya anggap pertanyaan basa-basi maka saya dengan santai menjawab “Ya pak Gito, kami berdua beruntung. Setidaknya ada 6 orang dari Perth dan 4 orang dari Wollongong, pulang pergi minimal 60 -70 jutaan, Tapi Karena menyayangi kami, mereka tidak memerdulikan mengenai biaya, untuk bisa hadir dalam acara ini” Tanpa saya duga, ternyata jawaban yang sangat biasa-biasa saja dari saya, membuat pak Gito menangis. Saya heran dan berpikir, apa ada yang salah saya ucapkan.? Istrinya yang mendampinginya, mengambil alih pembicaraan dan berkata “Maaf pak Effendi, kami kurang beruntung. Anak-anak kami sekolahkan dengan harapan, bisa jadi tempat bersandar dihari tua kami, ternyata yang terjadi jauh dari semuanya itu. Minggu lalu suami saya ulang tahun ke 65, namun tak seorangpun dari ketiga anak kami yang datang, inilah yang menyebabkan suami saya menjadi sangat terpukul”
Pelajaran Ilmu Kehidupan
Namun pembicaraan ini terputus, karena sudah berulang kali saya dipanggil untuk foto bersama. Maka saya mohon maaf dan pamit meninggalkan mereka berdua di meja tempat mereka duduk. Saya mencoba menepis masalah yang terjadi pada diri teman saya ini, namun perasaan saya sempat terusik. Di satu pihak, rasa syukur kami kepada Tuhan yang secara luar biasa memberikan kami anak, mantu, cucu, kerabat dan teman-teman yang sangat peduli sehingga mau meluangkan waktu untuk bisa hadir. Namun disisi lain, saya ikut prihatin, memiikir perasaan sahabat saya, yang berharap bisa ”memetik” buah-buah dari pohon yang “ditanam pada diri anak anaknya”, namun ternyata ketika saat mereka ingin panen, tak satupun buah yang tersedia bagi mereka berdua.
Mempersiapkan Diri Sedini Mungkin
Sebenarnya kisah sedih dari pak Gito ini bukanlah hal baru, tapi merupakan kejadian klise yang senantiasa berulang dari satu generasi ke generasi lainnya. Para orang tua tidak pernah mau belajar, bahwa bila menganggap apa yang dikeluarkan mereka untuk menyekolahkan anak-anak adalah sebuah investasi di hari tua, maka akan berakibat fatal. Namun kebanyakan mereka menganggap hal tersebut adalah faktor keberuntungan atau faktor “hoki” , yang ternyata mengulangi kembali kisah kisah sedih dan pilu, karena merasa “dicampakkan” oleh anak-anak yang sudah bersusah payah merek besarkan dan dibiayai hingga lulus, hingga sarjana.
Sudah saatnya para orang tua menyadari bahwa anak-anak bukanlah investasi, yang dapat dimanfaatkan ketika memasuki usia tua. Karena bila pola pikir ini tidak diubah secara total, maka para orang tua, kelak akan menuai kekecewaan dan kepedihan yang mendalam.
Persiapkan Masa Depan Anak dan Sekaligus Masa Tua Kita
Untuk mencegah agar hal ini tidak terulang lagi, maka perlu orang tua memahami dan mempersiapkan diri dengan memahami, bahwa tidak cukup hanya mempersiapkan masa depan anak anak. Tapi juga perlu mempersiapkan masa tua diri sendiri. Jangan sampai kesadaran baru tiba ketika usia sudah menua, karena segala sesuatu sudah terlambat.
Kalaupun hingga saat ini deposito cukup banyak, usaha lancar dan rezeki melimpah, ya disyukuri. Namun jangan lupa, tidak selamanya keberuntungan berada di pihak kita. Karena itu,seperti kata pribahasa “Don’t wait untill tomorrow what you can do today, because tomorrow maybe too late”
Tjiptadinata Effendi