Tidak jarang kita menyaksikan betapa beberapa para Petugas menjalankan tugasnya dengan arogan. Walaupun merupakan perintah dari atasan, namun seharusnya mampu bertindak tegas, tanpa melukai hati warga yang terkena aturan, dengan bersikap arif.
Namun harapan tersebut, rasanya terlalu muluk-muluk. Karena para petugas yang diperintahkan berhadapan langsung dengan masyarakat, pada umumnya pemahaman mereka, hanyalah sebatas menjalani tugasnya. Salah satu yang sejak dulu dapat disaksikan, baik langsung ataupun melalui layar kaca di pesawat televise kita adalah SatPol PP.
Banyak cerita tentang tindakan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya, yang selalu menciptakan pro dan kontra. Ada yang memahami, bahwa mereka, para petugas Satpol PP adalah orang yang ditugaskan untuk melakukan upaya penertitban dan pembersihan. Dan dalam melakukan tugas melakukan tugasnya, pasti tidak akan terluput dari terciptanya berbagai rasa tidak puas, bahkan perlawanan.
Namun tidak sedikit sumpah serapah yang ditujukan, karena dianggap tindakan mereka tidak manusiawi. Hal ini tidak hanya sebatas sumpah serapah, melainkan tidak jarang dalam bentuk tindakan phisik, dengan menyiramkan air comberan ke petugas atau melempari dengan apa saja yang ada di depan mereka.
Setiap Aksi Menimbulkan Reaksi
Tugas para Satpol PP ini adalah melakukan penertiban dan pembersihan, sesuai perintah atasan, agar DKI menjadi kota yang apik dan rapi, serta warga mendapatkan tempat tinggal yang layak di rusun. Namun para warga yang terkait langsung dengan penertiban ini, sebagian tidak dapat menerima dan menganggap hal ini adalah sebuah bentuk penindasan.
Tulisan ini bukanlah dalam konteks memberikan penilaian penilaian, melainkan semata dari sudut pandang anggota Satpol PP yang melakukan tugas ini.
Ada Kalanya Mereka Harus Merombak Rumah Mereka Sendiri
Tahun lalu, saya ke Kantor Kecamatan Kemayoran di Jalan Yos Sudarso, untuk mengurus pembayaran PBB apartement kami, yang sudah jatuh tempo. Kami diminta naik kelantai 3 dan disambut dengan sangat santun oleh petugas. Yang memberikan selembar kertas yang berisikan data data dan jumlah uang yang harus kami lunaskan.
Kami lalu pamitan dan turun kelantai dasar. Sementara duduk dibangku menunggu kendaraan, ada dua orang anggota SatPol PP disana, yang menyapa kami: “Lagi urus PBB pak, bu?” Agak surprise juga, karena selama ini dalam pikiran saya, petugas SatPol PP adalah orang orang yang arogan dalam menjalankan tugasnya. Ternyata kali ini, malah kami yang disapa dengan sopan.
Maka kami jadi ngobrol., hingga menyangkut masalah penertiban. “Pak“, kata Sudibyo dengan wajah serius, “Kami juga warga biasa, yang kebetulan bertugas di bidang penertiban. Orang hanya menilai dari satu sisi saja, tapi jarang yang melihat dari sisi penderitaan kami”
Ditimpuk kotoran, disiram air comberan dan bahkan dilempari dengan apa saja.
Tidak ada yang tahu, bagaimana perasaan saya, ketika harus merombak rumah yang didiami orang orang tua sendiri, “Walaupun saya tidak ikut turun dengan tangan sendiri untuk merobohkan, tapi saya ada disana pak.” kata mas Dibyo dengan pandangan mata menerawang, ….
Menengok dari jarak sekitar satu meter di depan mata, sosok yang termasuk anggota SatPol PP ini, tampak bagaikan melamun.. entah apa yang ada dibenaknya. Tapi yang jelas wajahnya sama sekali tidak menunjukkan wajah orang yang arogan dan tanpa rasa kemanusiaan
Saya hanya terdiam. Sungguh, saya juga termasuk salah seorang, yang tidak pernah berpikir tentang perasaan mereka, karena selama ini yang ditampilkan di televisi dan berbagai media, adalah keganasan SatPol PP ini dalam melakukan upaya penertiban, Tak sekali jua menayangkan kisah, bagaimana perasaan mereka ketika harus merobohkan rumah yang didiami kedua orang tuanya.
Kisah ini memang bukan kisah spektakuler, hanya kisah kecil yang mungkin saja tidak ada artinya di tengah tengah hiruk pikuknya Pilpres.
Tapi setidaknya, pembicaraan sekilas pintas yang hanya berlangsung dalam waktu kurang dari 5 menit, telah mengubah image saya pribadi terhadap mereka.. Mencoba memahami perasaan orang lain, memang tidak mudah. Karena sudah terbiasa, memikirkan tentang perasaan kita sendiri dan melihat semuanya dari kaca mata kepentingan kita.
Pertemuan tersebut, menjadi pelajaran amat berharga dalam diri saya, bahwa kendati sudah menginjak usia 76 tahun, ternyata pemahaman saya dalam hal ini sangat dangkal. Saya perlu belajar lebih banyak lagi. Sesuai dengan pesan moral yang sering kita dengar: ”Belajar sejak dari buaian, hingga akhir hayat”
Tjiptadinata Effendi