Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Pagi tadi, saya duduk dengan among Saut Manurung ( ayah dari Martin Manurung). Kami menonton TV. Anak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang tinggal di Posko Martin Manurung permisi mau ke sekolah. Anak sekolah itu adalah anak yang pernah dilatih koordinator Divisi Relawan Martin Manurung yaitu Manogu Sihaloho untuk sablon. Mereka sudah terampil untuk menyablon. Manogu Sihaloho itu adalah sarjana pertanian dari USU yang ahli sablon-menyablon.
Among Saut Manurung yang beberapa kali ke posko mengatakan anak itu baik, tapi ada masalah dengan komunikasi? Saya katakan iya. Saya melihat anak itu terkesan kurang percaya diri. Anak itu datang dari Desa yang jauh dan sekolah di Siborongborong.
Banyak anak desa hatinya baik, tapi terkesan minder? Lae si Barat yang guru sejarah yang sedang beraktivitas di sampingku mengatakan, di sekolah saya siswa sulit memberikan pendapat di ruang kelas? Mengapa?, tanyaku. Lae si Barat mengatakan tidak tahu.
Menurut saya ada kelemahan anak-anak desa kita. Kelemahan mereka kurang percaya diri atau minder. Mengapa itu terjadi?, karena mereka mendapat tekanan dari kita. Sadar atau tidak, ada di dalam diri kita sifat menekan alias sikap penjajah.
Kita hadir bukan membangun diri orang lain tetapi menekan. Orang tua, tetangga, teman dan termasuk guru ada sikap penjajah bagi orang di sekitarnya. Andaikan kita membangun percaya diri orang-orang di sekitar kita maka muncullah orang-orang yang percaya diri.
Membangun Percaya Diri
Membangun percaya diri tidak mudah. Saya sendiri sering salah fatsun. Buktinya, bulan lalu saya mengunjungi orang tua mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Prof.Yohanes Surya di sebuah desa di Samosir. Orang tua itu menceritakan bahwa anaknya sakit ditahankan dan tidak memberitahu saya atau istri saya. Padahal, sejak awal kami sudah janji semua kesulitannya diberitahu kami agar kami bisa membantunya.
Sakitnya ditahankan saja karena tidak mau memberitahu karena saya sudah “terlalu baik”, baginya. Tidak mau membebani lagi. Padahal saya dan istrin saya dengan suka cita menolongnya. Kami suka cita merawatnya sebagaimana teman-temannya.
Bagi dia, mengatasi sakit pasti sulit karena jauh dari orang tua. Bagi saya, tidak sulit karena teman banyak dokter, juga perawat. Mudah untuk menolongnya. Di Toba saja sangat mudah menjumpai dokter Tota Manurung yang 24 jam siap membantu. Apalagi di Tangerang ada “malaikat” kami Dr.dr. Yusak Siahaan dan istrinya kakak boru Simajuntak yang juga dokter. Ada juga perawat senior Susi Agustina Lasmaida Sirait yang sangat rendah hati.
Membagun percaya diri anak desa merupakan bagian dari pergumulan saya. Salah satunya adalah mengajak orang tua, guru dan semua kita untuk mengeluarkan kata-kata yang membangunkan orang lain. Bersikap mendukung agar orang di sekitar kita percaya diri.
Kita mulailah mengikis sikap “penjajah” kita hari demi hari. Sikap “penjajah” kita kikis, nurani kita asah, wawasan terus dikembangkan. Teruslah kita berhikmat dan teruslah kita belajar dan pembelajar.
Jika sikap belajar dan pembelajar terus kita kembangkan, maka muncullah anak-anak Indonesia yang cerdas dan bijak. Caranya adalah ayo berubahlah oleh pembaruan budimu kata Alkitab.
#gurmanpunyacerita.