Berbagi pengalaman bisa jadi ada manfaatnya bagi orang lain, minimal pengetahuan tentang wilayah NKRI serta budaya yang beragam. Keragaman budaya ini bagi saya adalah sebuah kekuatan dan ciri bangsa Indonesia, saya sangat bangga menjadi bagian dari bangsa besar ini. Jayapura, pada tahun 1988 saya diberi info oleh seorang sahabat bahwa ada lowongan kerja di anak perusahaan HPH tempat beliau bekerja yaitu PT. Djajanti Grup, anak perusahaan ini beroperasi di wilayah distrik Sawa Erma, Asmat. Ketika itu kalau tidak salah berada dalam wilayah Kabupaten Merauke, Irian Jaya. Saya sudah didaftarkan sebagai kandidat pengisi lowongan tersebut atas rekomendasi beliau.
Setelah bertemu dengan manager camp yang kebetulan berada di Jayapura, saya di terima bekerja di anak perusahaan PT. Djajanti Grup yaitu PT. Artika Optima Inti yang berlokasi di daerah Asmat. Manager camp adalah seorang warga negara Malaysia bernama Mr. Kiu Ing Hing lelaki paruh baya yang ramah, berbicara bahasa Inggris dan Indonesia dialek melayu. Oleh Mr. Kiu saya diberi jadwal keberangkatan ke camp perusahaan 2 hari kemudian karena beliau akan cuti ke Malaysia. Rute perjalanan saya menuju camp adalah dari Jayapura – Wamena – Agats.
Pagi hari saya berangkat menuju bandara Sentani Jayapura. Terjadi kejutan bagi saya, ternyata saya berangkat dengan menggunakan pesawat carter jenis cessna milik MAF Ā ( Mission Aviation Fellowship ). Pesawat ini jenis kecil dengan kapasitas 4 seat termasuk pilot, bagi saya ini keren banget karena belum pernah naik pesawat.
Singgah di Wamena, kira – kira 25 menit kemudian take off lagi menuju lapangan terbang perintis Ewer di Asmat. Landasan pacunya terletak dipinggir sungai besar, bagian ujungnya hutan lebat dengan pohon tinggi menjulang. Tiba di Ewer saya dijemput karyawan senior menggunakan speed boat bermesin tempel 40 PK menuju Agats untuk mengambil kiriman surat – surat untuk karyawan di kantor pos setempat. Dari Ewer menuju Agats ditempuh 20 menit. Selesai keperluan di Agats kami berdua langsung berangkat melewati alur sungai Momath yang bagian terlebarnya mungkin sampai 400 m menuju camp di desa Sawa Erma, perkiraan waktu tempuh 2,5 jam. Sungai ini merupakan habitat favorit buaya muara yang berukuran jumbo. Cukup mengerikan diceritain penghuni sungai yang berukuran jumbo, nyali langsung ciut takut kecebur sangai.
Sampai di camp saya mendapat kamar tinggal 1 rumah dengan penjemput, beliau adalah karyawan senior dari camp Kalimantan yang ditugaskan ke Asmat. Kantor perusahaan, rumah karyawan dan masyarakat desa dibuat model rumah panggung karena berdiri ditanah pinggir sungai yang terendam bila air pasang. Antara rumah ke rumah dihubungkan dengan jembatan kayu selebar kira – kira 2 m, tinggi jembatan dari tanah lebih kurang 2,5 m. Air pasang terbesar terjadi pada bulan November dan Desember, jarak permukaan air hanya sejengkal dari jembatan. Bagi saya pribadi pada saat air pasang besar adalah situasi yang membuat ciut nyali untuk keluar rumah karena takut dilirik buaya jumbo, tapi masyarakat setempat terlihat biasa saja saat menghadapi situasi tersebut.
Bekerja sebagai bendahara saya jalani dengan riang karena saya tidak merasa bekerja, rasanya bertamasya tapi diberi gaji. Pada pagi hari, siang, dan sore saya juga diberi tugas sebagai operator radio SSB untuk melapor ke kantor pusat di Jakarta tentang cuaca dan stok kayu log hasil tebang. Di camp masih ada 2 petinggi lain yaitu Mr. Wong Yuk Nang manager armada tug boat dan Mr. Ting Kay Keng keduanya juga warga negara Malaysia. Jam kerja kantor mulai jam 08.00 wita, sebelum itu saya mancing udang galah di sungai untuk lauk. Biasanya tidak sampai 30 menit sudah dapat 3 atau 5 ekor. Digoreng atau dibakar untuk menemani nasi hangat lezat banget rasanya.
Setiap 2 hari selalu ada teman yang bertugas ke distrik Agats untuk berbagai keperluan, biasanya kalau pulang ke camp mereka membawa oleh – oleh kepiting bakau. Dikukus atau direbus bisa bikin air liur maleleh.
Target produksi tiap bulan sekitar 10 ribu m3 kayu log yang dimuat kapal perusahaan 2 kali dalamĀ sebulan, dikirim ke Gresik. Saat berangkat kapal tersebut membawa bahan makanan dan BBM serta avtur untuk helikopter, ini saya order lewat SSB untuk keperluan operasional camp. Perusahaan juga memberikan bantuan obat – obatan secara rutin untuk Puskesmas berdasarkan permintaan dokter. Kawan – kawan yang suka bercocok tanam mereka masih bisa menyalurkan hobynya menanam kangkung, bayam, sawi dan lombok kecil menggunakan pot dari perahu yang rusak dibeli dari masyarakat Asmat.
Media tanamnya diambil dari tumpukan daun dan tanah sarang burung maleo. Media tanam ini ternyata cukup subur. Dikala musim pohon matoa berbuah adalah saat yang ditunggu – tunggu, kawan – kawan mencari buah matoa hutan dengan cara yang tidak lazim ( menurut saya ). Dengan menggunakan chain saw mereka menebang pohon yang berbuah lebat, bukan dipanjat.
Untuk mengisi waktu senggang, sebagai hiburan saya memelihara burung Rangkok / Enggang. Burung ini agak aneh, seperti anjing yang setia selalu mengikuti tuannya. Kemanapun saya pergi burung Rangkok ini terbang mengikuti.
Saya juga memelihara burung kakak tua jambul kuning, burung ini pandai meniru orang bicara seperti burung beo. Kakak tua ini sejak masih bayi sudah saya pelihara. Saya bekerja di Asmat kurang lebih 2 tahun. Pada tahun 1990 saya mengajukan pengunduran diri, lalu kembali ke Jayapura merintis usahaĀ sendiri.
Demikian sedikit cerita pengalaman bekerja di Asmat, moga bisa menambah wawasan.
Papua memang indah !