Ibukota negara adalah etalase negara itu sendiri, kita dapat menilai bagus tidaknya sebuah negara, baik buruknya negara tersebut dengan hanya berkunjung ke Ibukota negara tersebut. Ibukota yang tertata rapi, bebas banjir dan tidak macet tentu akan membuat pengunjung menjadi betah, tak menutup kemungkinan para pengunjung atau wisatawan menjadi tertarik untuk mengunjungi daerah atau kota-kota lainnya.
Sementara ibukota yang tata kotanya buruk, dipenuhi perkampungan kumuh di sepanjang aliran sungainya, macet di mana-mana, banjir kerap melanda saat musim hujan tiba, tentu akan menurunkan citra negara tersebut. Para wisatawan yang datang berkunjung, apakah untuk keperluan bisnis atau jalan-jalan akan bertanya-tanya apa penyebabnya? Antara gubernur yang tidak becus kerja atau warga yang tidak becus memilih gubernurnya.
Dan kebetulan jabatan Gubernur DKI Jakarta saat ini dipegang oleh Anies Baswedan beserta wakilnya Sandiaga Uno. Mereka berdua saat kampanye dulu, sangat lugas menjawab pertanyaan dengan mengutarakan berbagai solusi untuk mengatasi berbagai persoalan di Jakarta. Kata-kata yang dirangkai dengan sangat indahnya mampu membuai sebagian warga Jakarta ketika itu.
Namun tentu saja, setelah memimpin, kata-kata dan retorika yang membuai tidak dibutuhkan lagi, yang dibutuhkan adalah hasil nyata yang hanya bisa direalisasikan dengan tindakan dan bekerja, bukan kata-kata.
Mungkin kita bisa mengambil banjir yang merupakan salah satu masalah utama di ibukota sebagai contohnya.
Coba kita lihat program apa saja yang Anies sampaikan ketika kampanye dulu:
“Pertama, di hulunya kita harus bicara dengan Pemda Jawa Barat tentang memastikan agar volume air dari hulu ke Jakarta terkendali.”
Pertanyaannya, sudah sejauh mana pembicaraan tersebut dilakukan?. Seingat saya, sudah satu bulan dia menjabat, belum ada pembicaraan apa apa, yang ada hanya menyalahkan kebun teh sebagai penyebab banjir.
“Kedua, daerah aliran sungai memastikan tidak ada air yang spil over atau keluar dari aliran sungai,” ucap Anies saat berkunjung ke redaksi detikcom, Jalan Warung Jati Barat Raya, Jakarta Selatan, Kamis (13/10/2016).”
Pertanyaannya, bagaimana memastikan tidak ada air yang spill over? Sejauh ini saya melihat belum ada tindakan yang diambil, selain retorika mengeruk tanpa menggusur, mengumpulkan kajian, naturalisasi sungai dan bla…bla…bla.., tanpa ada tindakan nyata.
“Ketiga, bagi masyarakat bagaimana bisa sesedikit mungkin membuang air ke saluran, tapi semaksimal mungkin air dimasukan ke dalam sumur resapan.”
Untuk point nomor 3 ini saya tidak mengerti maksudnya apa, mungkin maksudnya air bekas mandi, cucian baju, cucian piring, dan air air kotor lainnya jangan dibuang ke selokan, tapi dibuang ke dalam sumur resapan, cuma tidak dijelaskan apakah sumur resapan itu akan dibuat oleh pemprov atau para warga sendiri yang harus membuatnya.
“Keempat memastikan semua jalur aliran air itu berjalan dengan baik tidak ada hambatan.”
Lagi-lagi retorika, saya tidak melihat apa tindakan yang telah diambil Gubernur Anies untuk memastikan jalur aliran air berjalan tanpa hambatan, apakah mengerahkan pasukan kuning dan pasukan biru untuk membersihkan sampah diselokan, memperdalam parit dan sebagainya. Justru yang ada, pasukan biru dan pasukan oranye sudah mulai jarang terlihat dan mulai lambat menangani masalah.
Secara keseluruhan, satu bulan sejak menjabat, belum ada tindakan yang layak disebut “kerja” selain kebanyakan ngomong dan merangkai kata dari pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Bahkan Alexis yang katanya sudah ditutup pun nyatanya masih beroperasi hingga hari ini.
Bagi warga yang tinggal di Jakarta tentu sudah bisa menilai sendiri, di hari ke 5 dirinya dilantik saja, Anies sudah diuji dengan banjir. Dirinya memantau banjir di Smart City buatan pendahulunya, sambil tak lupa meminta anak buahnya mengambil foto dirinya yang sedang berakting serius mengamati layar Smart City, tak lupa juga foto tersebut di upload ke Instagramnya untuk menimbulkan kesan seakan-akan dirinya serius bekerja.
Adalah Ismael, karyawan pemprov yang bekerja dibawah kepemimpinan Anies yang membocorkan hal tersebut sehingga gaya Anies yang tujuannya mungkin untuk menuai pujian, akhirnya malah menjadi bahan tertawaan kaum netizen.
Dengan memposisikan dirinya sebagai pemimpin dan bukan pelayan masyarakat, Anies juga menginstruksikan para Walikota, Camat, Lurah, RT dan RW, bersiap bekerja 24 jam. Bahkan para Walikota, Camat, Lurah, RT dan RW diberi tugas untuk menyelesaikan permasalahan di daerahnya masing-masing.
Bila demikian halnya, lalu kerja Gubernur dan Wakil Gubernur, apa?. Beginilah jadinya bila sebuah ibukota tidak dipimpin oleh orang yang tidak berkompeten dan tidak menguasai permasalahan kota tersebut. Bukannya tambah maju malah jadi mundur, bukannya makin rapi malah jadi makin semrawut. Yang bila dibiarkan akan mempermalukan dan mencoreng citra negara di mata dunia Internasional.