Kenyataan bahwa lebar sungai di Jakarta yang seharusnya duapuluh meter dan kini tersisa dua meter dan bahkan menghilang karena tertutup rumah warga menyadarkan kita betapa berpuluh-puluh tahun tidak ada seorangpun gubernur yang benar-benar mampu, mau, berani dan memiliki ketegasan menegakkan aturan tentang tata kota di Jakarta ini.
Arus urbanisasi dari desa ke kota Jakarta yang tak terkendali akhirnya membawa Jakarta menjadi kota metropolitan kumuh kronis dan liar sehingga seperti sudah tidak ada lagi yang sanggup dan punya solusi untuk mengatasinya. Menyedihkan! Apa tidak menyedihkan jika ada rumah permanen dibangun diatas sungai dan dibiarkan begitu saja selama bertahun-tahun. Ya, berpuluh-puluh tahun lamanya…
Dan seolah-olah ingin menjadi pahlawan penyelamat, seorang gubernur baru yang terpilih karena kampanye tipu-tipu dan politisasi ayat dan mayat datang ke pinggir sungai Kali Pulo di Jatipadang geleng-geleng kepala, heran mengapa sungai menghilang lenyap dan berubah menjadi hunian permanen.
Bak seorang polisi India yang terlambat datang di lokasi kejadian perkara ia menjelaskan kenyataan dilapangan kepada wartawan seolah ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa dialah penemu “sungai yang hilang” di Jatipadang itu.
“Jangka panjang harus ada pelebaran sungainya itu harusnya 20 meter, tinggal 2 meter. Bahkan ada tempat yang tinggal 1 meter, bahkan banyak yang tempat yang sungainya hilang. Sampai warga di sana menyebutnya sungai yang hilang, karena sungai nya ada di bawah-bawah rumah, di atasnya rumah-rumah,” – Gubernur Anies.
Dan sekarang, Gubernur Anies yang semasa kampanye sukses membunuh karakter Ahok dan berhasil menyematkan label “Ahok semena-mena, Ahok tukang gusur” dalam pikiran dan hati warga Jakarta, kini tanpa malu malu dan tanpa merasa bersalah ingin menggusur juga. Penggusuran yang ia pakai mendiskreditkan Ahok akan ia terapkan untuk mengatasi banjir di sungai Kali Pulo di Jatipadang. Namun Gubernur Anies akan menggusurnya dengan terminologi yang baru : Menggeser.
Dengan lihai dan berbelit-belit, Gubernur Anies ingin menormalisasi sungai yang tirsisa dua meter dengan menggeser. Artinya tidak akan ada relokasi. Apakah mungkin? padahal dengan menggeser satu rumah otomatis akan menggeser rumah-rumah yang lain. kemungkinan akan ada rumah yang sebenarnya legal tetapi harus tergeser untuk memberi ruang bagi rumah ilegal dibibir sungai yang akan digeser. Logikanya bagaimana orang yang memiliki tanah legal harus merelakan tanahnya tergeser demi warga yang tidak memiliki tanah??
Padahal menurut Ahok, dibutuhkan lahan 350 hektare untuk membangun rumah-rumah itu jika tak ingin direlokasi. Kemana mencari lahan seluas itu ditempat yang sama yang tidak jauh dari sungai?
Sedangkan bicara normalisasi sepadan sungai di Jakarta ini bukan hanya daerah aliran sungainya, tetapi termasuk juga jalan inspeksi yang kira-kira 8 sampai 10 meter. Jadi tidak mungkinlah mendirikan bangunan diatas jalan inspeksi. Kenapa? Karena ada Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2011 yang menjelaskan bangunan yang ada berdiri di atas sepadan sungai harus ditertibkan supaya fungsi sepadan sungai kembali seperti semula.
Jika masih ada bangunan di lokasi normalisasi, maka dipastikan akan sulit mengontrol dan memelihara sungai yang dinormalisasi. Sebab normalisasi dilakukan dengan cara di beton yang artinya harus ada jalan inspeksi di atas bantarannya untuk masuk alat berat.
Bak buah simalakama, kini Gubernur Anies bimbang diantara dua pilihan. Di satu sisi dia ingin mengatasi banjir di Jatipadang, tetapi celakanya, satu satunya jalan adalah dengan menggusur. Disisi lain dia ingin sekali menghindari kata-kata gusur. Malulah kalau harus menerapkan cara Ahok sedangkan cara itu yang dia gunakan untuk mencuci otak warga Jakarta agar tidak memilih Ahok.
Jikapun harus menggusur, mau dikemanakan warga yang digusur? Rumah lapis tidak ada, rumah susun belum jadi karena rusun baru akan mulai dibangun tahun depan. Dan itupun tidak akan disewa subsidikan untuk warga miskin, rusun akan dijual kepada orang kaya di Jakarta ( baca: masyarakat dengan gaji diatas 7 juta rupiah). Penjajahan terjadi dimana? Di Ibukota…
Kebohongan Gubernur Anies yang diungkapkan Ahok setahun yang lalu terbukti hari ini. Gusti ora sare, pak Ahok tidak bersalah menggusur. Kalau dulu penjajahan itu terjadi di Ibukota, sekarang pembodohan itu terjadi di Ibukota. Masih ingat tantangan Ahok?
Kalau Pak Anies diizinkan Tuhan jadi Gubernur DKI Jakarta, kalau dia enggak lakukan normalisasi seperti yang saya lakukan, bohong itu dia. Berani taruhan kita,” -Ahok, Bukit Duri, Jakarta Selatan 20 Februari 2017.
Dan akhirnya cara jitu paling aman yang suatu saat bisa diputar-putar lagi adalah dengan permainan kata-kata. mari kita simak bersama-sama solusi yang akan dilakukan Anies sang pakar kata-kata dalam mengatasi banjir jatipadang. Sengaja saya pakai huruf tebal agar jelas, barangkali cebong ngga ngerti beginian, Cekidot :
“Satu adalah memastikan bahwa di tempat itu tanggul-tanggulnya kuat untuk sementara dan itu apapun harus dikerjakan, harus kuat dulu,”
Yang kedua : Dalam jangka panjang, kita harus bereskan karena tempat ini dari pengakuan warga sejak 2014 (banjir). Setiap musim hujan pasti jebol di situ, jangan ini dibiarkan. Jadi kita akan siapkan solusi komprehensif jangka panjang pengamanannya.
Yang kita nanti-nantikan bersama akhirnya tiba. Teka-teki bagaimana cara normalisasi sungai tanpa menggusur akhirnya terbongkar. Ternyata solusi Gubernur Anies membangun tanpa menggusur, normalisasi tanpa memindahkan rumah warga adalah dengan cara “dibereskan“.
Selamat! Sungai Kali Pulo Jatipadang akan dibereskan.
Sumber :