Yang namanya diehard wajarlah kalau ngebet bin ngotot ketemu dengan Jokowi-Ahok. Sejak di Kompasiana, sebenarnya saya sudah ingin ketemu dengan Jokowi-Ahok saat mereka masih menjabat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Kompasiana yang pernah buat acara ngobrol santai dengan Jokowi tidak bisa saya datangi karena kendala dana, maklum kerjaan dengan gaji UMR.
Masuk jadi penulis di media lain, saya sempat menguak sebuah asa akan ketemu dengan Presiden Jokowi. Tetapi entah kenapa ternyata itu semua hanya janji manis. Nyatanya ketemu Presiden Jokowi batal. Bahkan acara yang katanya akan dihadiri oleh Presiden Jokowi pun tidak kunjung tiba. Sadar bahwa yang menjanjikan tidak lagi bisa dipercaya, saya pun usaha sendiri.
Dan benar, kalau kita berusaha, bertemu Presiden itu bukanlah hal yang susah, apalagi kalau sudah direstui Yang Kuasa. Karena benar, bertemu dengan Presiden dan bisa bersalaman dengannya juga butuh yang namanya keberuntungan. Seperti saat saya akhirnya bersalaman, kalau bukan karena arah jalannya dekat dengan kursi saya, tidak mungkinlah bisa bersalaman.
Setelah berhasil bersalaman, saya pun punya target lebih lagi ingin bertemu dan berfoto dengan Jokowi. Tentu bukan lagi melalui media yang lama, tetapi berharap melalui media Indovoices. Karena yang lama hanya bisa berjanji saja tanpa ada realisasi yang jelas. Untuk ini saya sudah ketemu link yang mungkin bisa menolong, tetapi target yang terdekat bukanlah ketemu Presiden Jokowi, tetapi Ahok.
Ya, ketemu Pak Ahok jauh lebih mudah daripada ketemu Presiden Jokowi. Dan jalan itu sepertinya sudah sedikit terbuka, walau belum tentu bisa ketemu. Karena semua tergantung kepada keputusan Ahok selanjutnya. Yang penting usaha sudah dilakukan dan buktinya sudah ada tidak hanya asal berjanji.
Ini buktinya. Hehehe.. Semoga deh ada jalannya. Kami ingin ketemu Ahok tentu dengan sebuah tujuan yang jelas. Melihat seseorang yang membuat kami bisa percaya lagi bahwa Indonesia bisa maju dan bahkan sejajar dengan negara-negara maju saat ini. Menjadi negara yang warga negaranya punya keadilan sosial yang diadministrasikan dengan baik.
Surat sudah diberikan dan diterima dengan baik oleh Ahok. Dalam surat itu, saya sengaja memutihkan satu alinea. Karena dalam alinea itu ada sebuah kalimat yang saya sampaikan dengan sebuah gambaran mendalam relasi saya dengan Ahok. Dalam surat itu saya tuliskan, “Kalau Sandiaga anggap dirinya Arjuna dan Anies Yudistira, maka saya menganggap saya Timotius dan bapak Paulus.”
Pernyataan saya ini bukan mengada-ada dan bukan juga sok rohani. Jujur, yang membuat saya semakin berani terjun di dunia politik yang penuh dengan SARA ini adalah keberanian Ahok yang menghantam para politisi SARA dan mempolitisi agama. Sebuah hentakan yang mengajak saya untuk juga berani mengikuti jalan penderitaannya yang dikriminalisasi oleh para mafia, koruptor, dan kaum radikal.
Surat ini pun sangat beruntung bisa sampai ke tangan Ahok dan ditandatangani, yang lainnya ditinggal dan tidak diberikan tanda tangan. Bukan apa-apa, saat itu ternyata Bu Vero juga sedang kunjungan dan yang lain akhirnya hanya menonton saja. Syukurnya Ahok sepertinya antusias untuk bertemu dengan kami. Dan kalau ini benar-benar bisa terealisasi maka akan menjadi sebuah keberuntungan yang istimewa bagi Indovoices.
Semoga kami di Indovoices tidak takut hanya karena menyatakan kebenaran dipersekusi dan dilaporkan. Karena teladan kami adalah Jokowi dan Ahok. Bukan hanya dekat dengan rakyat, tetapi juga menghantam para lawan. Kami juga ingin terus dekat dengan pembaca kami dan menghantam para lawan NKRI. Karena itu, tetaplah doakan dan dukung supaya kami tetap pada jalurnya.
Salam IV