Oleh: Herry Tjahjono, rakyat NKRI.
Tiba-tiba datang pertanyaan menggelitik : ‘Kan sudah menulis buku tentang Ahok, kenapa statusnya masih terus bahas Ahok ? Gak bosen ?’
Saya tertawa spontan membacanya. Bisa saja saya menjawabnya dengan menggelitik pula : ‘ Kan mau menulis tentang apa saja, termasuk tentang Ahok, setiap hari sampai kapanpun itu hak asasi saya ?’
Tapi itu tidak saya lakukan. Saya menulis tentang Ahok karena saya meyakini dan mengugemi sebuah prinsip kehidupan yang pada akhirnya kelak akan menentukan apakah seseorang itu layak disebut terhormat / bermartabat atau tidak.
Prinsip itu adalah ‘kesetiaan’. Bukan kesetiaan kepada Ahok sebagai sosok, tapi kesetiaan pada nilai-nilai baik dan mulia yang selama ini dijalankan secara konsisten oleh Ahok. Karena Ahok sendiri setia pada nilai-nilai baik itu.
Kesetiaan saya adalah pada nilai-nilai. Saya belajar dari ayah saya bagaimana dia menjaga kesetiaannya pada keluarga sampai saat terakhir. Saya sering marah pada seseorang – sehebat apapun dia – jika selalu membicarakan hal buruk tentang perusahaannya sementara dia masih makan gaji dari perusahaan itu. Kalau sudah benci, mestinya pergi saja dari perusahaan itu.
Saya tak suka dengan WNI, apalagi pemimpin (apapun) yang bicara buruk tentang negara, pemerintah, bangsanya – sementara dia lahir, bekerja, menganggur dan sampai hari ini masih makan di negeri ini. Kalau sudah benci, mestinya pergi saja dari negeri ini.
Dari Ahok saya belajar setia untuk tetap dan selalu menjadi orang baik. Sederhana saja. Lihatlah dirinya. Dikhianati, dinistakan, dan sudah terpuruk di penjara – tapi dia tetap menjadi orang baik. Menerima, memaafkan. Dan jauh lebih ‘gila’ – dia masih menyumbang untuk Air Mancur Menari di Monas.
Kabar terakhir soal Nek Mimi yang berusia 72 tahun dan sedemikian papa, sehingga tak mampu membayar sewa di rusun Pesakih (Cengkareng) berbulan-bulan.
Tapi pada hari yang sama – kabarnya, datang pula orangnya Ahok yang akan membantu Nek Mimi. Ahok – melalui utusannya menyampaikan bahwa sewa rusun sampai akhir 2018 sudah diberesi, bahkan diusahakan seumur hidup. Yang lebih mengharukan, sebelum pergi – utusan Ahok meninggalkan 2 karung beras 10 kg an. Ahok sendiri berada di balik penjara, namun ia tak surut melakukan kebaikan yang menggetarkan itu.
Ahok selalu berjuang untuk menjadi orang baik. Dia demikian setia menjadi orang baik. Dia ingin menunjukkan : menjadi orang baik itu tak dipengaruhi perlakuan orang lain atau dunia kepada kita. Sejahat apapun orang memperlakukanmu
Dirinya boleh sakit. Ia boleh perih, ia boleh sepi, ia boleh menangis – tapi menjadi orang baik jalan terus, ia tetap setia menjadi orang baik. Ia bahkan berbuat baik pada Jakarta, kota yang mencampakkannya
Kesetiaan, yang akan menentukan apakah seseorang layak disebut ‘A Man of Honor’ atau tidak. Kesetiaan menjadi orang baik itu perjuangan, bukan ucapan manis di bibir.
Di tengah dukanya, Ahok tetap setia menjadi orang baik. Jadi kenapa saya tak boleh ‘setia’ menulisnya, sebagai bagian dari perjuangan saya untuk menjadi orang baik sepertinya ? Kawan – kata saya pada orang yang bertanya itu : kesetiaan itu tak kenal kata ‘bosen’.