Tulisan ini secara khusus untuk memperingati Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia (End Of Poverty day) 2017
Sejujurnya saya orang yang tidak suka berbagi di sosial media, selain berbagi tulisan, pengalaman dan ide. Kadang-kadang sih saya tidak bisa menahan diri untuk curhat, ya saya kadang kehilangan kontrol. Di sosial media, selain kadang suka merasa lebay, apa-apa kok diceritain. Hal lainnya adalah : apa yang saya tulis membuat orang jadi mengerti siapa saya. Norak? (memang norak :p)
Itulah sebabnya saya salut dengan orang-orang yang jarang berbagi di publik. Dimata saya, mereka mampu meletakkan masalah pada waktu dan tempatnya. Dan sejujurnya saya ingin seperti itu. Tapi kali ini ijinkan saya kehilangan kontrol diri untuk curhat :D.
Ini pengalaman saya tahun lalu, tepatnya 20 Mei 2016. Ijinkan tulisan saya banyak menggunakan istilah asing :D. Malam itu saat saya ingin pulang ke rumah, saya menaiki angkutan umum (angkot). Dan pengalaman ini yang semakin menguatkan tekad saya terjun di bidang itu. Tentunya selain titik vokasi (dan saya yakini panggilan hidup). Sewaktu duduk di angkot, saya mengambil duduk di sudut, tempat itu kosong. Saya heran kenapa disana kosong padahal di pintu angkot sudah penuh. Saya melihat ada seorang bapak tua dan anak kecil (saya tebak cucunya) berpakaian kumal dan compang-camping. Ternyata saya tahu kenapa tidak ada yang mau duduk didepan bapak tersebut, karena memang sangat bau sekali. Tanpa bermaksud hipokrit, saya saja sampai merasa mual.
Lama saya perhatikan bapak itu, dia hanya terdiam. Dia mungkin merasa terintimidasi atau memang sering dianggap hina orang lain. Saya merasa iba, biasanya saya cuek dan bergumam dalam hati “paling hanya akting, gepeng kan banyak mafianya”. Tapi kali ini beda, dari sorot matanya, saya yakin bapak tersebut orang jujur. Entah kenapa secara refleks tangan saya merogoh dompet saya yang isinya tidak seberapa: hanya tersisa selembar duit biru, selembar duit merah, dan selembar duit abu-abu.
Sembari memeriksa isi dompet, saya melihat ada nasi kotak diletakkan dilantai angkot beserta bungkusan baju, dsb. Saya mendengar dia berkata kepada anak kecil itu “ada rejeki dari orang yang baik hati setelah beberapa hari tidak makan“. Sekitar 700m sebelum saya turun, saya menanyakan dimana tinggalnya dan dia menjawab cukup ramah dia tinggal di daerah X. Saya tidak pernah dengar daerah tersebut, karena saya orang yang tidak sering keluar rumah keluyuran. Saya memang sering keluar rumah karena saya aktif di beberapa organisasi yang kebanyakan bergerak di bidang pelayanan. Saya memberikan selembar uang biru kepada bapak itu, saya ada sedikit rejeki untuk membeli baju adik kecil tersebut (yang mana saya sadari uang sebanyak itu palingan hanya bisa membeli sebuah baju). Sebenarnya ingin memberi lebih banyak, tapi apa daya uang saya tidak ada lagi. Salah satu hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita ingin memberi tetapi tak ada yang bisa diberikan, ketika ingin membantu tak berdaya membantu.
Bapak itu tak henti-hentinya berterima kasih padahal saya sengaja memberikannya ketika mau turun agar bapak itu tidak merasa berhutang budi dan tentunya saya tidak ingin show off (apa yang mau dipamerin, hidup Senin-Kamis :d). Dan sesuai perkiraanku bapak tersebut tidak langsung melihat uang yang kuberikan tetapi memberikannya kepada adik kecil tersebut. Tapi saya berkata agar jangan diberikan kepada adik kecil itu, karena mereka tidak mengerti ‘gunanya uang’. Adik kecil tersebut menangis ketika duit tadi diminta. Terpaksa saya sogok dengan selembar uang berwarna abu rokok. Ya, saya tidak punya uang lagi selain selembar uang berwarna merah tua buat ongkos dan tentu saja tidak baik ‘menyogok’ anak kecil dengan banyak uang. Saya paham resiko dengan selembar uang merah tua tadi. Artinya saya hanya punya ongkos angkot dan tidak bisa naik ojek ke rumah (waktu itu saya belum pernah menggunakan ojek online :D). Jalan kaki dari depan perumahan dengan membawa tas berat berisi laptop dan buku tentu saja tidak mengenakkan. Ditanbah dengan jalanan yang gelap dan sehabis hukan.
Ketika saya turun, saya bertanya kepada supir angkot ongkos ke daerah tersebut dan dijawab Rp 5.000,00 . Saya membayar ongkos saya dan ongkos bapak tersebut. Praktis saya tidak punya duit sepeser pun di dompet (selain duit ‘digital’ alias ATM).
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, saya tidak mau pamer termasuk saat menuliskan tulisan ini tentang apa yang saya lakukan. Tetapi menjadi motivasi dan pengingat bagi saya (dan semoga juga bagi Anda yang membacanya). Inilah salah satu motivasi yang menguatkan saya memutuskan menempuh ‘jalan terjal yang konon katanya kotor’. Saya ingin menjadi peace maker. Sampai saat ini saya hanya bisa melakukan charity, yang lingkupnya sangat kecil. Saya ingin berbuat lebih banyak dan membantu lebih banyak orang. Tidak ada cara lain selain menegakkan keadilan (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia – sila ke-5 Pancasila). *Semoga saya tidak dianggap pemuja aliran kiri :d
kredit gambar: WTFO
Charity (amal, derma, belas kasihan) umpamanya seperti yang dilakukan oleh orang yang menolong korban perampokan. Justice (keadilan) memastikan tidak ada perampokan dan jikalau terjadi korban akan mendapatkan keadilan dan pelaku akan mendapat hukuman yang setimpal.
Itulah mengapa saya memilih jalan ‘sepi’ itu. Dan untuk menegakkan keadilan tidak ada cara lain selain terjun, terlibat, dan menjadi pemimpin yang menegakkan keadilan.
Saudara-saudari pembaca yang budiman, 17 Oktober 2017, adalah Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia (End Of Poverty day) 2017. Tidak banyak yang tahu dan ingat. Saya memperhatikan sosial media dan media massa tidak banyak membahasnya. Apalagi masih pada ribut membahas pelantikan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Ditambah kontroversi pidato beliau soal #Pribumi. Bahkan tulisan saya ini saat ini statusnya draft – pending review dan mungkin bisa terbit setelah tulisan saya yang membahas kontroversi tersebut terbit. Lalu apa hubungannya dengan curhat saya sebelumnya?
kredit gambar: United Nations
Pemberantasan kemiskinan (dan kebodohan), tidak cukup hanya berbuat baik, dermawan. Zakat, infaq, persembahan, perpuluhan, ucapan terima kasih itu memang sangat perlu. Tetapi itu tidak cukup. Selain hanya mencakup area yang sempit dan hanya berlangsung sementara, terkadang bantuan amal itu akan memanjakan mereka juga. Mohon maaf saya tidak ada maksud apa-apa. Tidak ada pilihan lain selain mengakhiri kemiskinan (dan berbagai macam persoalan) tersebut. Bagaimana caranya? Memastikan sistem dan kebijakan yang adil. Saya tidak secara khusus mengatakan ‘berpihak pada mereka yang miskin’, karena kadang kemiskinan itu kita jadikan suatu alasan untuk pembenaran. Tidak sedikit banyak orang memanfaatkan kemiskinan, bahkan mempolitisasinya.
Bagaimana cara memastikan sistem itu berjalan dengan baik dan adil? Hanya satu cara yaitu terjun langsung ke dalamnya. Menjadi pemimpin atau wakil rakyat yang memiliki komitmen untuk menegakkan sistem dan kebijakan yang adil untuk mensejaterahkan masyarakat sesuai sila ke-5 Pancasila. Tetapi tidak semua bisa jadi pemimpin, maka tugas kita yang belum diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin atau belum waktunya menjadi pemimpin adalah mengawasi sistem dan kebijakan itu. Berpikir kritis dan objektif, bukan hanya bergantung pada politik LIKE dan DISLIKE. Jangan hanya karena kita mendukung seseorang, lantas kita anti kritik. Saya mendukung pemerintahan pak Jokowi sekarang, tetapi tidak segan-segan melontarkan kritik jika menurut pemahaman saya tidak benar. Untuk warga Indonesia dan secara khusus untuk warga Jakarta, berikan kesempatan untuk pemimpin yang terpilih untuk bekerja dan jadilah wasit yang adil.
Selamat memperingati Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia 17 Oktober 2017. Untuk Indonesia yang lebih baik, Ayo kita KERJA!!
Calon Pemimpin, yang muda yang berkarya
-SP