Madame X, demikian beliau memintaku memanggil dirinya. Dari dirinyalah aku belajar cara-cara menulis berita opini. Pertama kali kenal Madame X, karena dulunya aku adalah pembaca dan komentator di sebuah media opini yang sudah cukup ternama, dan Madame X adalah salah satu penulis papan atas di media tersebut. Tulisannya termasuk salah satu tulisan yang sering aku tunggu-tunggu kehadirannya.
Tulisannya enak dibaca, sederhana dan mudah dipahami, itu yang aku suka. Tapi jangan cerita kalau dia sedang kesal terhadap tokoh yang ditulisnya, bisa sangat tajam dan menohok. Mungkin bila tokoh yang diceritakan dalam artikel tersebut, membaca tulisan yang ditulis Madame X, paling tidak mukanya akan merah padam.
Suatu ketika, di tempat dia biasa menulis, karena sesuatu hal, ada sedikit kevakuman. Dari perbincangan dengan sesama komentator yang kehilangan bahan untuk dibaca dan dikomentari. Akhirnya aku mendapat kabar kalau Madame X menulis di salah satu portal opini yang baru lahir, namanya Indovoices, tempat aku bernaung saat ini. Mungkin karena lama tidak membaca tulisannya, beberapa artikelnya aku komentari panjang lebar. Bisa jadi karena itulah, lalu aku ditawari untuk menjadi penulis oleh Madame X.
Awalnya aku juga tidak yakin akan kemampuan sendiri dan sempat ragu-ragu. Hal ini mengingat antara menulis dengan berkomentar itu sangat berbeda. Sebagai komentator menuliskan satu dua kalimat saja sudah cukup, sementara sebagai penulis, kita dituntut untuk menulis sebuah topik secara panjang lebar dan mendalam. Secara teknis patokannya lebih kurang 600 kata untuk satu artikel.
Namun berkat dorongan dari beliau, aku memberanikan diri untuk belajar menulis. Topik pertama yang aku tulis adalah mengenai “sampah”. Untuk satu artikel itu saja butuh 7 kali revisi, bolak-balik dikomplain oleh Madame X. Ada saja yang kurang dan ada saja yang salah. Untungnya aku adalah murid yang bandel, tidak gampang putus asa dan mau terus belajar. Untungnya juga beliau adalah guru yang tidak mudah menyerah dan mau terus mengajar.
Jangan bayangkan dirinya akan mengajar dengan lemah lembut, aku tahu kadang dirinya harus menahan kedongkolan dan harus ekstra sabar menjelaskan hal yang sama berulang-ulang untuk diriku. Selama membimbing diriku, sesekali dia sempat lost control, alhasil aku kena damprat.
“Robinnnn, apa ini?, ganti.. ganti.. ganti..”, atau “Robinnn, kamu harusnya menulis dari sisi ini bukan dari sisi itu, ayo tulis ulang dari awal”. Di lain kesempatan, “Robin, kalau kamu tidak mengerti harusnya nanya, jangan sok pintar”, itulah beberapa kalimat yang aku ingat hingga kini.
Lantas apakah karena didamprat seperti itu membuat aku menyerah? Kalau hanya karena itu aku baper dan menyerah, mungkin pembaca tidak akan membaca tulisan ini sekarang. Justru melalui didikannya yang tegas dan keras lah, aku merasa banyak kemajuan yang ku capai. Dari komentator menjadi penulis pemula. Selama tiga bulan, dirinya banyak memberikan bimbingan dan petunjuk.
Dibalik sikapnya yang terkesan tegas dan galak, Madame X sesungguhnya memiliki hati yang lembut, hal ini terlihat dari artikel yang dituliskannya. Melalui salah satu artikelnya Madame X pernah bercerita mengantar seorang nenek-nenek yang tersesat dengan jarak yang lumayan jauh untuk pulang kembali ke rumah nenek-nenek itu. Jangan bercerita soal Ahok di depan dirinya, bisa nangis bombay dia, hahaha..
Karena satu dan hal lainnya, Madame X kemudian kembali ke media opini lamanya. Pergi meninggalkanku, cukup mendadak karena tidak ada ucapan selamat tinggal ataupun pesan apapun. Walau sempat terkejut, namun aku berusaha memakluminya. Karena aku tahu dirinya cukup dewasa dan bijak, jadi tentu ada alasan kuat kenapa beliau mengambil tindakan seperti itu.
Sejak itu aku berusaha untuk mandiri, terus belajar untuk mengembangkan kemampuan menulis. Bertanya kepada rekan-rekan di WAG IV maupun belajar dari penulis senior lainnya yang bersedia memberikan petunjuk.
Beruntung dari para penulis yang ku tanya, mau memberikan arahan dan petunjuk. Meskipun beberapa diantara mereka bisa dikatakan sudah termasuk penulis senior namun tidak pelit dalam berbagi ilmu. Seperti halnya dengan Pak Xavier Quentin, aku belajar memadukan atau menganalogikan berbagai kisah ke dalam tulisan, termasuk juga cara penempatan kata.
Dari Pak Danang Setiawan, aku belajar untuk membuat judul-judul tulisan yang lebih “provokatif”. Dari Ibu Lana, aku belajar soal ketelitian, mana huruf yang perlu dibuat menjadi huruf miring dan mana yang tidak. Melalui Pak Tjiptadinata Effendi, aku belajar bahwa hidup itu adalah sebuah universitas, universitas kehidupan menurut istilah beliau, tempat kita belajar dari kehidupan itu sendiri.
Belum lagi dukungan dari Mas Sunardo serta inspirasi yang diberikan oleh teman-teman di WAG IV yang sangkin banyaknya tidak bisa aku sebut satu persatu. Kritikan dan masukan yang diberikan sekaligus menjadikan mereka tidak hanya teman, sahabat, tapi juga mentor bagi diriku dalam menulis. Namun di atas semua itu, tetap Madame X lah yang membentuk pondasi diriku dalam dunia tulis menulis opini.
Menulis bagiku ibarat menanam tanaman. Kita tidak bisa beranggapan bahwa setelah tulisan kita publish (terbitkan), pekerjaan kita pun sudah selesai, lantas berharap ada ribuan bahkan puluhan ribu orang akan membacanya, bukan begitu cara kerjanya. Seperti halnya tanaman, belum dianggap selesai kalau hanya memasukkan bibit ke dalam tanah saja, masih perlu disiram, dipupuk dan dirawat hingga dia tumbuh dengan baik.
Tulisan yang berhasil dipublish, baru setengah perjalanan. Kita masih harus menshare tulisan yang kita buat agar banyak dibaca oleh pembaca. Menanggapi reaksi pembaca serta berinteraksi dengan mereka, merupakan bagian dari kegiatan seorang penulis. Kontinuitas untuk menelurkan tulisan yang lain lagi begitu satu tulisan selesai dibagikan, menjadi sebuah keharusan.
Jangan bayangkan diri kita seperti penulis-penulis opini terkenal lainnya seperti Denny Siregar, Birgaldo Sinaga, Eko Kuntadhi, Erika Ebener, Jemima Wulandari ataupun Rahmatika. Tulisan mereka sudah memiliki fans base tersendiri, ditunggu-tunggu oleh pembaca setianya. Bagi mereka, cukup sekali dua kali share saja sudah dibaca oleh ribuan orang.
Sedangkan kita, atau saya pribadi, belum mencapai level para penulis terkenal itu. Seperti halnya pianis profesional, disebut mahir apabila telah memiliki 10 ribu jam terbang. Bila satu artikel diasumsikan dengan 1 jam terbang, maka saya masih butuh setidaknya 9500 artikel lagi untuk berani menyamakan diri dengan para penulis terkenal itu.
Jadi terkadang saya merasa lucu terhadap beberapa rekan penulis yang setelah menulis beberapa artikel, karena jumlah viewernya sedikit, lantas putus asa dan menyerah. Layaknya seperti anak yang terbiasa dimanja, inginnya serba instan. Menulis seminggu satu artikel, bahkan terkadang sebulan pun belum tentu ada satu artikel, malas share, lantas mengharapkan ada ribuan orang yang membaca tulisannya. Tidak semuanya, namun ada beberapa yang seperti itu.
Saya tidak menyalahkan mereka, bisa jadi ini hanya kebiasaan di tempat lamanya, dimana karena portalnya sudah terkenal, sehingga dengan usaha minim atau tanpa usaha pun, pembacanya sudah banyak. Jadi begitu harus mulai dari nol lagi di tempat yang baru, mereka tidak siap, terkejut lantas putus asa.
Kembali ke Madame X, meskipun sudah lama kami tidak berkomunikasi, namun sesekali waktu, bila memungkinkan, aku tetap mengunjungi Madame X, melalui tulisannya. Mencari-cari karya terbarunya hanya untuk mengetahui, kali ini dia sedang mengomeli siapa, hahaha.
Walau tidak di media yang sama, namun aku senang, kami masih berada di barisan yang sama, memiliki harapan dan tujuan yang sama.
Di hari guru ini, aku hanya ingin mengucapkan, Terima Kasih Madame X, sudah mau membimbing muridmu yang bebal ini dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Semoga Madame selalu sehat dan diberkahi. Mari kita berjuang sekali lagi, demi Ahok, demi Jokowi dan demi Indonesia yang lebih baik di bawah #Jokowi1xLagi
Selamat Hari Guru 2018, Madame X…
Dari muridmu,
Robin