Pilpres memang masih sekitar satu setengah tahun lagi. Namun genderang perang sudah ditabuh. Aroma persaingan semakin menyengat dengan ditolaknya gugatan ambang batas pencalonan presiden oleh MK. Nama-nama calon yang akan maju juga sudah diangkat oleh beberapa lembaga survei. Adalah sebuah hal yang bodoh kalau kita tidak siap-siap “menjemput bola” pilpres dimulai dari detik ini.
Agar kita tidak terkejut dengan kerasnya Pilpres 2019, saya ingin memberikan sedikit gambaran yang mudah-mudahan bisa membuat kita bersiap-siap jika tak ingin Jokowi terkapar. Kita dengar beberapa hari yang lalu Mardani Ali Sera dalam acara ILC secara terang-terangan mengungkapkan ingin mengganti pemerintahan presiden Jokowi. Bagaimana caranya? Ya jelaslah dengan segala cara…
Dengan presidential Threshold sebesar 20%, prediksi saya, akan ada tiga pasang calon. Lagi-lagi ini adalah strategi pecah suara untuk memaksakan pilpres dua putaran layaknya pilgub DKI Jakarta. Meski ada tiga paslon, saya meyakini hanya akan ada dua kubu yaitu : Jokowi dan Asal bukan Jokowi. Maka pola kreasi serangan agresif yang terbukti jitu di pilgub DKI Jakarta akan kembali dimainkan oleh mereka yang ada di pihak asal bukan Jokowi.
Isu-isu yang selama ini menghantam Jokowi akan kembali dihembuskan sekencang mungkin. Lawan akan semakin agresif menyerang sembari berharap Jokowi maupun timsesnya melakukan peryataan atau blunder yang siap disergap demo-demo yang mencekam…
Jika Jokowi hanya menerapkan pola “parkir bus” alias bertahan dengan bagi-bagi sepeda, sertifikat, pamer pembangunan di Indonesia timur, kemungkinan besar Jokowi akan keok dan akan menjadi bulan bulanan lawan.
Jika skenario dua putaran ini berjalan, saya prediksi Jokowi tetap akan masuk putaran dua. Nah siapapun paslon yang maju ke putaran dua, kubu asal bukan jokowi akan saling dukung. Inilah yang dimaksud Gerindra nasib Jokowi 2019 akan sama dengan Ahok.
Menyerang Jokowi memang tak semudah menyerang Ahok yang memang double minority. Tetapi jika melihat fakta bahwa tudingan-tudingan Jokowi penjual aset negara, utang semakin banyak, Jokowi anti-Islam, Jokowi PKI, dan lain-lain sudah mulai masuk meracuni pikiran dan diterima masyarakat, maka suka tidak suka pola kampanye lawas pamer prestasi Jokowi harus diubah. Apalagi pembangunan Jokowi terjadi diluar Jawa dimana jumlah penduduk relatif sedikit dan tak bisa diandalkan suaranya. Bukan berarti tidak perlu, tetapi harus sedikit licik mensiasatinya.
Saya mencatat tiga kunci kemenangan Jokowi di Pilpres 2019.
Pertama, kemampuan Jokowi meredam demo-demo dan isu-isu kekacauan.
Jumat sore itu paska pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru Anies Baswedan dan Sandiaga Uno…
Datanglah pengurus RT untuk memberikan undangan pertemuan rutin warga. Tertera undangan hari sabtu. Biasanya saya masuk kerja di hari sabtu, tetapi kebetulan hari itu bertepatan saya mendapat libur.
Sudah saya prediksi hasil Pilkada dan pelantikan gubernur masih akan menjadi topik yang diperbincangkan dalam pertemuan itu. Dugaan saya tidak meleset, dalam sambutan salah satu tokoh masyarakat yang merangkap jabatan sebagai sekretaris RT menyampaikan pesan yang pada intinya adalah :
Kita sebagai warga harus mendukung Gubernur dan wakilnya terpilih. Dengan pergantian pemerintahan di DKI Jakarta, diharapkan kegaduhan-kegaduhan yang ada selama ini dan juga kontroversi Gubernur lama akan berakhir.
Ya, ancaman akan terjadi kegaduhan, demo-demo, dan kerusuhan jika Jokowi masi berkuasa sangatlah meresahkan warga. Bagi para pengusaha tentu akan merugikan bisnis mereka. Bagi masyarakat tentu tak ingin ada lagi benturan-benturan yang menguras energi dan pikiran. Isu inilah yang akan dimainkan lawan…reuni 212 kemarin sudah mengkonfirmasi hal itu bahwa akan ada reuni-reuni berikutnya…
Oleh karena itu sebisa mungkin Jokowi harus mampu meredam kegaduhan-kegaduhan di masyarakat selama masa kampanye.
Kedua, kecerdikan dalam memilih calon wakil presiden.
Siapa yang akan mendampingi Jokowi akan sangat menentukan. Disinilah yang saya maksud Jokowi harus sedikit licik. Jokowi tidak bisa lagi mengambil pasangan yang tidak tepat dan hanya berdasarkan kinerja atau rekam jejak tetapi juga harus mempertimbangkan orang tersebut mampu meredam serangan terhadap Jokowi, termasuk jika harus menggandeng orang yang selama ini berseberangan dengannya. Tak hanya lembut seperti merpati, tetapi juga cerdik seperti ular.
Ketiga, Keberhasilan Jokowi dan partai pengusungnya menguasai Pilkada serentak 2018.
Bagaimana hasil Pilkada serentak 2018 juga akan sangat mempengaruhi peta kekuatan Jokowi dengan PDI-Pnya. Jika PDIP sebagai pengusung Jokowi kalah di pilgub Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara, maka perjuangan Jokowi akan semakin berat.
Sekarang saja isu SARA sudah mulai dimainkan di Sumatera Utara dan tiga provinsi terbesar di pulau Jawa ini. Dan jika berhasil, maka bisa jadi puncaknya ada di Pilpres 2019.
Lihat saja di Sumut sudah muncul spanduk tolak pemimpin import Djaro-Sihar. Di Jabar sudah muncul serangan SARA untuk Anton charliyan, bahkan tolak calon yang didukung partai pendukung perppu ormas juga sudah disuarakan.
Celakanya, PDI-P berpotensi kalah di 4 daerah krusial Jabar, Jateng, Jatim dan Sumut pada pilgub 2018. Analisisnya seperti apa? Nantikan tulisan saya berikutnya hanya di Indovoices…
Itulah ketiga kunci kemenangan Jokowi. Jika ketiganya gagal, ya siap-siap saja rakyat Indonesia kehilangan putra terbaiknya. Sia-sia lah pekerjaan Jokowi membangun selama ini…
Sesungguhnya genderang perang sudah ditabuh. Mulai detik ini kita tidak bisa tinggal diam. Sampaikan kepada masyarakat bukan saja apa yang sudah dikerjakan tetapi juga apa yang akan Jokowi kerjakan. Sembari kita kuliti kebodohan-kebodohan dan rencana jahat lawan yang mengangkat filosofi “Asal Bukan Jokowi”.
Selamat memerangi kebodohan!!
Lihat juga tulisan saya yang lain disini :