Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Tahun 90-an berita yang santer di lapo tuak adalah sarjana lulusan Universitas Odong-Odong masuk PNS karena disogok sekitar Rp 100-200 jutaan. Lulus sarjana karena dosennya kasihan. Dari segi kognitif, karakter dan wawasan tidak ada. Orang Lapo tuak menyebutnya sarjana latteung.
Ditengarai para sarjana latteung itu kini sudah menjadi pejabat. Pejabat yang tidak bisa bekerja, membuat Bupati dan gubernur puyeng. Pejabat bukan memberi kebijakan cerdas, tetapi menjadi beban. Jadi, maklumlah kalau para Bupati lamban mengatasi masalah.
Kini, berita di lapo tuak sudah berubah. Berita tidak lagi sarjana latteung tetapi anak mami menjadi dewan. Menjadi dewan dengan “siraman 1,5 M”. Hampir sama dengan nilai Rp 200 jutaan tahun 90-an.
Berita di lapo ini sudah lama. Konon, seorang anak pejabat anak mami yang tidak paham berorganisasi menjadi anggota dewan di sebuah kota. Namanya si Brons (nama samaran). Brons bilang ke bapaknya, “pak, bapak itu kan bisa pindahkan pejabat kemana saja, aku tidak suka lagi aku anggota dewan di tempatku, bisakah bapak pindahkan aku ke kota Anu?”. Baba mi (mulutmu itulah) katanya. Intonasi canda tentunya. Itulah, kalau anak mami jadi dewan.
Ketika dampak tahun 90 an membuat Bupati dan pejabat puyeng, dan rakyat sulit mendapat hak dan kebijakan yang adil, bagaimana dengan anak mami jadi dewan? Apa yang diharapkan? Mungkinkah anak mami mampu melaksanakan tugasnya sebagai kontrol, budgeting dan membuat regulasi untuk mensejahterakan rakyat. Tentu saja tidak.
Kalaupun dewan didominasi anak mami, jika Bupati, Gubernur seperti Ridwan Kamil, tidak apa-apa. Dewan tinggal stempel saja. Bahayanya anak mami jadi dewan jika Bupati/Walikota/Gubernurnya adalah koruptor dan feodal. Kalau ini yang terjadi maka sempurnalah penderitaan rakyat. Rakyat merasakan dampak pilihannya, memilih anak mami yang kalau bersidang gemetar memegang palu. Gemetar bukan karena merasakan pentingnya keputusan, tapi karena grogi.
Inilah wajah demokrasi kita. Demokrasi itu memang hebat, tetapi dengan asumsi. Asumsinya adalah rakyat pemilih rasional dan cerdas. Anak mami yang terpilih adalah konsekuensi asumsi demokrasi. Demokrasi kita jalankan tanpa proses pencerahan politik.
Salah satu kelemahan demokrasi adalah suara terbanyak menang. Bayangkan, jika saya laki-laki karena ada pemilik uang yang tidak suka kepada saya menyogok banyak orang agar menyebut saya perempuan. Jika orang rasional pasti menyebut saya laki-laki. Itulah kelemahan demokrasi.
Bayangkan, masa anak umur 27 tahun menjadi wakil Bupati tanpa pengalaman empirik? Dalam konteks bangsa kita, apakah kita mengabaikan pengalaman empirik? Jujurlah kita, apakah wakil Bupati 27 tahun terbaik?
Demokrasi itu kan alat rakyat untuk memilih yang terbaik. Lalu, mengapa sering teripilih yang bukan terbaik? Itulah kelemahan demokrasi. Dan kelemahan demokrasi itulah yang menonjol di negeri kita.
Pemilu sudah berlalu, apakah yang terpilih yang terbaik di daerahmu? Jika sudah, teruslah kembangkan kualitas demokrasi itu. Jika tidak, kita lanjutkan pencerahan demi pencerahan demi kehebatan bangsa kita.
#gurmanpunyacerita