Kekalahan Ahok di Pilkada DKI 2017 adalah kekalahan kasih terhadap kebencian, kekalahan obyektifitas terhadap subyektiftias, kekalahan nasionalime terhadap SARA. Kekalahan yang demokratis, jadi harus diterima secara legal hukum dan politis. Tetapi, tidak serta merta menjadi kemenangan demokrasi Pancasila. Sebab itu, tidak boleh dilupakan, tapi harus korban Ahok harus terus diingatkan. It’s not over, it’s just a beginning!
Dari tulisan Subyektifitas Dimainkan, Relawan Indonesia Baru Harus Merubah Strategi terlihat bahwa dari 70% yang puas dengan Ahok, ternyata hanya 42% yang memilih, secara kasar 28% tidak memilih karena kepuasan kinerja Ahok, tapi lebih karena ketidaksukaan terhadapnya.
Ketidaksukaan yang terasa sekali menjadi kebencian yang luar biasa. Bahkan tersandingnya kata-kata pemujaan kepada Tuhan dengan bunuh, gantung, ganyang, hajar, atau sesederhana “kita akan pecat!” memperlihatkan masalah hati berperan sangat penting dalam dizoliminya Ahok.
Demo berseri (411,212) yang berhasil menekan Kepolisian RI untuk men-TSK-kan Ahok (sumber), yang pada akhirnya juga berhasil menjebloskannya ke Mako Brimob, menyisakan keadilan Tuhan yang akan menghakimi semua pihak yang mengorkestrasi ketidakadilan terhadap Ahok.
Karena tidak bisa dianalisis secara obyektif, maka secara subyektif atau mungkin bisa dikatakan sebagai pendekatan psikologis daripada pendekatan filosofis lebih tepat digunakan untuk mengerti mengapa Ahok demikian dibenci “orang-orang ini”
Bahkan setelah menang pun, sampai hari ini, dalam 100 hari kepimpinannya Anies-Sandi masih mengumbar kebencian terhadap Ahok secara frontal. Mungkin mereka tidak akan mengakui, tapi kita melihat dan merasakan aura itu. Dari senyum sinis, sampai fitnah, dan brutalnya usaha untuk menghancurkan semua yang berbau Ahok. Why Lord, Why?
Ada tiga penyakit hati yang terasa menjangkiti, dan bahkan sudah menjadi wabah yang harus segera ditanggulangi. Yang pertama, IRI HATI. Seperti sebuah kata-kata bijak mengatakan:
Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat
Sebenarnya, iri hati ini bukan ditujukkan awalnya kepada Ahok, tapi Jokowi. Jokowi yang “plonga-plongo” bukan lahir dengan mimpi-mimpi politik, tiba-tiba melejit menjadi DKI1, bahkan RI1. Dan Ahok, yang notabene minoritas ganda, tiba-tiba juga mendapat spot di panggung utama politi Indonesia.
Kinerja mereka berdua yang diatas rata-rata semakin membuat orang-orang yang sudah investasi panjang untuk menjadi pemimpin bangsa ini menjadi semakin gerah dan merasa ketinggalan. Begitulah ketika ambisi sudah menguasai, amanah tidak lagi ditunggu, tapi mulai direkayasa. Jokowi – Ahok harus turun!Â
Yang kedua, SAKIT HATI. Bukan hanya Anies, tapi SS atau Sudirman Said dilengser Jokowi tanpa ampun. Perlu diketahu SS adalah pejabat rektor Paramadina, yang kemudian digantikan Sohibul Iman (ketua PKS sekarang)yang kemudian diganti Anies.
Jadi mereka bertiga adalah “mantan rektor Paramadina”, ditambah JK sebagai Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina, Sandiaga Uno sebagai wakil bendaraha yayasan, tidak terlalu mengada-ada kalau kelompok ini menjadi “injustice league” yang cukup kuat dalam melawan arus perubahan Indonesia Baru, yang dipelopori Jokowi-Ahok.
Barisan Sakit Hati ini telah menguasai Jakarta, dan tidak malu-malu lagi sekarang SS menyiapkan diri menghantam Ganjar Pranowo, dan JK sudah secara terus terang mengatakan tidak akan lagi bersama Jokowi di 2019.
Dipihak lain, adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, adalah orang yang sangat terluka dengan Ahok. Perhatikan kalimat kebencian Hashim berikut:
Saya seorang kristen protestan. Dulu ikut mendukung dan mengantarkan Ahok jadi Wakil Gubernur tahun 2012. Saya ikut memenangkannya dulu, tetapi saya sekarang sudah bertobat karena pilihan saya 2012 itu keliru dan harus diluruskan (sumber)
Hashim terluka, karena Basuki Tjahaya Purnama ternyata bukan orang yang bisa dijadikan boneka. Revolusi Putih yang sudah disetuji Anies-Sandi mendapatkan anggaran fantastik 885 Milliar rupiah (sumber). Di jaman Ahok, jangankan revolusi putih, Congor Putih saja sempat sakit hati karena Ahok berjalan independen.
Yang ketiga, adalah TINGGI HATI. Jokowi-Ahok adalah orang-orang biasa yang secara hitungan bukan keturunan “darah biru” seperti Prabowo, Anies, Sandi, atau bahkan AHY. Orang-orang ini terjangkiti penyakti sombong. Merasa paling bisa dan mampu, sehingga sulit untuk bisa menerima bahwa ada orang lain yang lebih baik, atau mungkin lebih tepat.
Kerja. Kerja. Kerja. adalah filosofi yang tepat untuk Indonesia Baru saat ini. Kajian, plan, strategi, dan filosofi-filosofi sudah dikerjakan banyak orang pendahulu. SBY selama 10 tahun dengan MP3EI sudah cukup menghasilkan program mangkrak, kita tidak butuh program-program mangkrak lagi. Eksekusi yang penting.
Eksekutor seperti mereka, terkesan tidak begitu pandai beretorika dan kurang dalam strategi, tapi sebenarnya mereka sedang menerapkan strategi yang tepat. Strategi eksekusi bukan filosofi. Dimanifestasikan dalam pribadi yang Bersih. Transparan. Profesional.
Nabi Sulaiman menyatakan sesuatu yang sangat pas dalam konteks kondisi yang dialami Indonesia Baru sekarang ini:
Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara (Sulaiman)
Kondisi tidak baik inilah yang justru akan memanggil pulang (homecoming call), relawan-relawan Indonesia Baru untuk berjuang melawan ketidakadilan. Apakah kalian orangnya?
Pendekar Solo