Kebisingan hampir 1.5 tahun sejak jaman pra-kampanye, kampanye, sampai 100 hari kepimpinan Anies Baswedan di Jakarta menyisakan satu pertanyaan diantara para relawan nasionalis, dan mungkin juga jutaan WNI yang mengamati sepak terjangnya selama ini. Pertanyaan yang sederhana, siapakah sebenarnya Anies ini? Apakah dia berubah berubah, ataukah ini aslinya?
Mau dipoles seperti apapun, perubahan drastis posisi politik Anies dari seorang negarawan nasionalis menjadi “hanya” seorang politikus sektarian yang oportunis harus diakui baik lawan, maupun teman. Secara pribadi, hanya Anies yang bisa menjawab dengan sejujurnya apa yang sedang terjadi.
Memang disayangkan, bagaikan Jedi yang berubah pihak ke Dark Force menjadi Darth Vader yang jahat, si Penenun Kebangsaan harus tertatih-tatih menyatukan becak, tanah abang, DP0%, sampai ke Alexis. Sebuah kenyataan pahit bagi para relawan nasionalis sejati yang percaya mendukung semua “orang baik” untuk masuk politik.
Para relawan Rp. 0,- yang tidak berharap apapun untuk diri sendiri, kecuali melihat yang sudah ada diposisi untuk menjadi negarawan-negarawan yang lebih takut sejarawan, daripada talkshow opini seperti Mata Najwa.
Indonesia sudah terlalu banyak politikus di birokrasi, dan kekurangan negarawan yang mau bisa mengatakan “Hidup NKRI, kalau mati pun sebuah keuntungan”. Orang-orang yang berani “turun tangan” – mimpi indah yang sudah terlanjur menjadi mimpi buruk – dan bukan “main tangan” terhadap pekerjaan yang sudah dirajut pendahulu-pendahulunya karena benci, ambisi, dan situasi.
Belokan Yang Menentukan
1 Januari 2017, tidak pernah saya lupakan, karena pas awal tahun ada berita mengejutkan ketika seorang Anies harus mencari muka kepada FPI yang selalu berseberangan dengan para penegak NKRI. Garis embarkasi itu sudah dilalui, dalam hati saya mengatakan, “Anies is gone”
1 tahun setelah itu, bulan Januari 2018 ternyata tebakan saya benar. Bolehlah orang mengatakan ini strategi populis, dengan demikian rating Anies (dan Sandi) akan terus naik, sehingga kalau mungkin 2019 nyapres sekalian atau cawapres, atau minimal membayar hutang-hutang politik yang pasti di panggung politik Anies Baswedan sudah selesai.
Meskipun dia bisa jadi presiden pun, itu pun cuma hanya akan menjadi catatan hitam sejarah. Seperti sekarang, posisi boleh didapat, DKI1 bisa dinikmati, tapi harapan untuk melihat Anies menjadi tokoh negarawan dan guru bangsa sudah sirna.
Jalan politik terjal yang dipilih Anies dengan mengorbankan semua modal sosial adalah tragedi dalam perjuangan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin muda baru yang bebas kepentingan, dan masa lalu. Blunder politik yang ternyata bukan hanya menyeret Anies tapi juga harapan calon-calon pemimpin yang unggul untuk masuk politik semakin meredup.
Panggilan Nurani Relawan Rp. 0,-
Anies tidak memiliki partai, tapi dia memiliki relawan-relawan yang percaya ide Tenun Kebangsaan dengan jalan menjadi lilin yang menerangi dan tidak mengutuki. Para relawan yang begitu antusias melihat Jokowi menjadi RI1, Ahok DKI1, dan Anies menjadi Menteri Pendidikan.
Keantusiasan yang hancur karena Anies ternyata tidak punya hati sebesar alm. Gus Dur yang setelah “dicukupkan” tetap bersinar sebagai guru bangsa. Dan semakin habis karena politik SARA di Pilkada yang mencapai puncaknya dengan Pidato Pribumi yang tidak senonoh di hari pertama. Semua menjadi sejarah hitam yang tidak mungkin dihapus.
Semuanya sudah mencapai point of no return, terlihat Anies dengan dukungan JK semakin mengukuhkan diri untuk melawan Jokowi dengan “berternak orang miskin”. Teknik memelihara orang miskin untuk kepentingan politik sangat mudah terbaca, dan sangat jahat.
Kata kunci dari kekusutan politik saat ini adalah “dibodohi”. Orang-orang miskin, tidak berpendidikan karena kebutuhan dan ketidakmengertian dibodohi dan dipelihara untuk kepentingan politik. LSM-LSM yang haus dana hibah dengan tangkas menyambut peluang ini. Politisasi orang miskin ini adalah teknik politik bermoral rendah yang para relawan tidak pernah menyangka akan dilakukan seorang bertrah Baswedan.
Sebab itu, sudah pada tempatnya, nurani para relawan sejati terusik. Lupakan para relawan yang mencari posisi dan imbal balik yang hanya mendorong politik kemana mereka diuntungkan.
Saya yakin masih banyak relawan Rp. 0,- yang murni dan tulus. Ini waktunya melawan! Melawan penjajahan kemanusiaan yang mengatasnamakan keadilan dan keberpihakan.
350 tahun Belanda mampu menjajah nusantara, karena apa? Karena Belanda selalu menjaga supaya orang Indonesia selalu ada dilevel kemiskinan dan pendidikan yang manageable. Jadi, Belanda tidak selalu menekan, tapi justru terasa memberi makan kepada orang Indonesia juga. Sehingga terjadi devide et empera antar warga. Itu yang sedang dilakukan.
Dengan memberi angin kepada tukang becak, PKL tanah abang, para pengemudi motor, dan berbagai simbol-simbol kemiskinan yang lain, warga DKI semakin hari semakin “bodoh” dan berkutat diisu-isu yang tidak signifikan untuk kemajuan ibukota.
Para relawan Rp. 0,- boleh dikatakan ikut bertanggung jawab menempatkan Anies ditempatnya sekarang. Paling tidak, apabila memiliki hati nurani, para relawan harus mulai lebih kritis dan tajam dalam menjagai Anies secara aktif. Paling tidak menjaganya untuk tidak memakai rompi oranye KPK.
A friend in need is a friend indeed. Anies saat ini membutuh teman sejati yang tidak takut mengkritik dan menghajar dia didalam maupun diluar sistem, siapa tahu terjadi mujizat, dan dia bisa kembali sembuh. Mungkinkah? Wallahualam karena itu pertanyaan tetap, siapakah Anies sebenarnya?
Pendekar Solo