Pergantian rezim ibarat mimpi buruk bagi warga Jakarta. Bukannya sesegera mungkin bekerja menunaikan janji-janji, rezim saat ini malah sibuk menabur benih-benih kontroversi. Entah sekadar ingin tampil beda atau memang ada motif lain dibaliknya, hampir semua terobosan dan kebijakan rezim sebelumnya seolah ingin dirombak total.
Lebih aneh dan lucunya, argumen-argumen yang disampaikan –meminjam istilah Fadli Zon- justru mengganggu nalar dan intelektualitas kita. Ketika ditanya mengapa saat ini Pemprov DKI tak pernah lagi menayangkan video Rapim di Youtube, Sandiaga memberikan alasan yang ajaib tapi nyata; tak ingin warga terpecah.
Sebuah alasan yang mengada-ada karena tentu saja tak didukung fakta dan data. Sandiaga dan rekannya barangkali memang tipe pemimpin yang malas belajar dan membaca. Alasan rezim sebelumnya rajin menayangkan video di Youtube justru sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban ke publik.
Melalui transparansi, warga diajak turut serta terlibat dalam proses perumusan dan pengambilan kebijakan di Jakarta. Transparansi juga membuktikan keberanian dan komitmen pemerintah untuk mau terus diawasi oleh publik. Melalui transparansi yang terang-benderang sekaligus menutup ruang bagi oknum-oknum nakal di pemerintahan yang biasa dan senang mempermainkan anggaran dan kebijakan di ruang yang “remang-remang”.
Bukankah rezim saat ini di masa-masa kampanye sebelumnya juga menjanjikan kepemimpinan yang melibatkan sebesar-besarnya partisipasi publik ?. Jika benar dan masih demikian, seharusnya tak ada alasan untuk menghentikan penayangan video di Youtube. Bagaimana mau melibatkan warga, jika transparansi sudah tidak ada ?.
Soal alasan tak ingin warga terpecah, Sandiaga semestinya sadar dan jujur mengakui bahwa satu-satunya yang bisa melakukannya adalah penggunaan isu SARA terutama saat kontestasi politik. Ini sudah terbukti saat Pilkada DKI Jakarta dan terindikasi akan dipraktikkan kembali di tahun politik 2018 dan 2019.
Selanjutnya, ketika alasan Sandiaga sudah tak bisa diterima, wajar publik menduga-duga. Mungkin saja kebijakan ini memang disengaja dan tentunya ada motif di baliknya. Rezim saat ini sepertinya tak senang publik menjadi cerdas dan vokal mengkritisi setiap kebijakan yang diambil pemerintah karena membuat mereka dan kelompok-kelompoknya menjadi tak leluasa memainkan akrobatnya.
Fakta yang sudah tersaji di depan mata adalah tentang proses penyusunan APBD 2018. Melalui sistem penganggaran yang transparan hasil warisan pemerintahan sebelumnya, publik berhasil “menelanjangi” APBD DKI Jakarta yang amburadul. Andaipun APBD amburadul tersebut akhirnya tetap disahkan, setidak-tidaknya itu akan tetap menjadi catatan sejarah yang tak bisa dihilangkan begitu saja.
Rezim saat ini seolah ingin menegaskan bahwa mereka masih tipe penguasa zaman old yang tidak ingin seluruh tindak-tanduknya bisa dinilai langsung dan dikritisi oleh publik. Barangkali terinspirasi rezim Soeharto, mereka ingin publik hanya mendapat informasi dan klaim keberhasilan lalu bersama-sama tepuk tangan dan bahagialah warganya.
Baru beberapa bulan dipimpin rezim yang baru, warga Jakarta sudah pusing karena tak henti-hentinya disuguhi berbagai pernyataan dan kebijakan yang cacat logika. Sementara itu di dalam sebuah ruangan pengap penjara, seorang pria berkacamata dengan ikhlas sedang menjalani masa-masa tahanan atas kesalahan mengada-ada yang tak pernah dilakukannya.
Waktu demi waktu dilaluinya dengan meditasi dan berdoa untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Di luar tembok penjara, banyak orang yang kian rindu padanya bahkan rela antri untuk bertemu guna meneguk semangat dan inspirasi darinya. Tiba-tiba saya jadi teringat pernyataan beliau yang dibalut dengan nada jenaka di salah satu stasiun televisi swasta; “Penak toh, zamanku jadi Gubernur ?”.
#100HariKepemimpinanAnies-Sandi
Silakan baca tulisan-tulisan saya sebelumnya