Lagi-lagi terpaksa kita harus menelan pil pahit janji palsu akibat kekalahan Ahok di pilkada DKI yang lalu. Dan parahnya, yang menjadi korban janji palsu kali ini adalah adik-adik kita anak yatim dan kaum dhuafa. Mereka yang dicatut namanya untuk mendulang suara dalam Pilkada terpaksa harus mendapatkan pepesan kosong.
Jika kita masih ingat, sewaktu kampanye untuk mendapatkan suara di Pilkada, Sandiaga pernah bernazar dan berjanji tidak akan mengambil gaji dan uang operasionalnya dan akan menyumbangkan sepenuhnya untuk anak yatim dan kaum dhuafa melalui Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa.
Namun apa lacur, setelah terpilih, Sandiaga berubah pikiran. Mungkin dia baru sadar bahwa uang operasionalnya besar sekali. Jadi sayang jika disia-siakan. Apalagi dia sudah kehilangan puluhan miliar untuk biaya kampanye Pilkada lalu. Bayangkan 1,8 miliar, Bro! siapa sih yang tidak ngiler? Padahal alasan Sandi akan menyumbangkan gaji dan dana operasionalnya adalah karena uang itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan harta kekayaan yang ia miliki saat ini.
Ini sekaligus sebagai pembelajaran buat kita semua untuk lebih berhati-hati dalam mengucapkan nazar yang menyangkut soal uang. Jika sekiranya tidak sanggup, ya sebaiknya tidak usah sok-sokan bernazar, apalagi sampai membawa-bawa nama anak yatim dan kaum dhuafa.
Setahu saya, nazar adalah sebuah janji seseorang untuk melaksanakan sesuatu jika tujuan yang diinginkan terpenuhi atau terkabul. Misalnya kita bernazar akan puasa satu bulan penuh jika mendapatkan pekerjaan yang baru. Maka setelah kita mendapatkan pekerjaan baru, ya janji kita untuk berpuasa satu bulan penuh haruslah dipenuhi. Mengenai apa hukumnya jika nazar tidak dilakukan? tentu bukan kapasitas saya untuk menjawabnya…
Agar tidak dibilang menyebar hoax, ini pernyataan Sandiaga kala itu :
“Seandainya saya jadi wakil gubernur, semua pendapatan yang saya dapat nanti dari Pemprov akan dikelola oleh mereka (Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa) untuk disalurkan ke kaum dhuafa dan anak yatim,” kata Sandi (18 oktober 2016).Kompas.com
“Ga ada yang masuk ke kantong saya (gaji dan uang operasional akan disumbangkan),” kata Sandiaga.(31 Oktober 2016).Kompas.com
Namun setahun kemudian setelah benar-benar terpilih, Sandi berubah pikiran. Yang akan disumbangkan ternyata adalah sisanya. Ha..ha..ha..
“Semua dana operasional yang untuk saya, setelah digunakan untuk operasional, sisanya akan saya alokasikan kepada masyarakat dan kita berikan untuk infak, sedekah dan wakaf, termasuk gaji saya sebagai wagub,ā kata Sandiaga di Balaikota DKI, Jakarta, Rabu (22 November 2017). Poskotanews.com
Belum selesai sampai disitu, seminggu setelahnya berubah lagi. Uang sisa operasional yang sedianya akan disumbangkan dan dikelola rumah zakat, ternyata tidak ada yang disumbangkan. Dia yang pegang sendiri dan dia juga yang kelola. Ha..ha..ha. Apa ini yang dinamakan tipu-tipu dalam balutan kesantunan?
“Dana operasional saya? Untuk menunjang operasional. Dalam kegiatan sehari-hari dalam operasional. Untuk Operasional Wagub,ā katanya di Balaikota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (29/11/2017).poskotanews.com
“Sekarang ini masih saya pegang sendiri tapi nanti pada ujungnya juga harus di mungkin tim yang mengatur,ā tutup Sandi.
Sandiaga berdalih semuanya akan digunakan untuk operasional yang muaranya akan ke masyarakat. Lah kalau cuma muaranya ke masyarakat, apa bedanya dengan Ahok? bukankah uang operasional Ahok juga bermuara ke masyarakat? Lebih bagus Ahok malahan karena uang operasional Ahok dikelola oleh staff pribadi, Sekda, para walikota dan bupati Kepulauan seribu.
Sungguh tak disangka, niat Sandiaga yang sungguh mulia sebenarnya tapi sayang seribu sayang palsu belaka. Sandi malah menelan ludahnya sendiri setelah terpilih.
Dari sini kita bisa petik tiga pembelajaran penting.
Pertama, Pikirkan masak-masak jika ingin bernazar. Jika keinginan terkabul dan kita tidak mampu penuhi janji, pertanggungjawabanyannya sangatlah berat.
Kedua, Jangan mudah tergiur dengan janji-janji orang jika soal uang. Sifat jahat manusia yang memang punya “dosa warisan” sangat rentan dalam mengelola uang. Kita ingat akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang. Bahkan tidak jarang orang tidak punya rasa malu makan uang rakyat atau mendapatkan uang dengan cara-cara yang dilarang agama. Ya para koruptor itulah contohnya!
Ketiga atau yang terakhir, Jangan pilih pemimpin yang menjanjikan uang, tetapi pilihlah pemimpin yang menjanjikan kebijakan. Ahok adalah satu-satunya politisi yang menjanjikan kebijakan untuk membantu warga. Dia tidak pernah menjanjikan BLT, uang tunai ataupun sembako. Karena dia sadar jika uangnya habis, dia tidak bisa lagi membantu warga, akhirnya korupsi untuk memenuhi proposal konstituen. Tetapi dengan kebijakan, dia bisa membantu orang banyak bahkan tanpa dengan uang.
“Sudah terlambat pak, Ahok sudah kalah”. Tidak! Masih ada harapan. Apa itu? Pilkada serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pilih pemimpin yang omongannya bisa dipegang, dan janji-janjinya realistis.
100 hari kepemimpinan Anies Sandi, mari kita kawal terus uang-uang kita.
Selamat memilih pemimpin yang menjanjikan kebijakan!