Sudah berkali-kali di masa kampanye dan selama masa Pilkada Jakarta, bahwa kita sedang memilih diantara pemimpin yang melayani dan pemimpin yang menjadi bos atau ngebos. Dan prediksi tersebut benar, karena tidak perlu menunggu berbulan-bulan, terlihat bahwa yang menjadi Gubernur saat ini adalah seorangpemimpin yang ngebos.
Sebenarnya karakter ngebosnya ini sudah terlihat saat menjadi Menteri Pendidikan Nasional. Anies yang lebih banyak retorikanya akhirnya dipecat Presiden Jokowi. Apalagi ditemukan kekeliruan dana yang sangat besar. Dan sebagai seorang menteri, Anies sering sekali bertindak sesuka hatinya dan terindikasi sedang bermain.
Nah, saat memimpin sebaga Gubernur Jakarta, Anies yang memang tipe ngebos akhirnya memang tidak mau bersentuhan langsung dengan warga. Dalam sistem yang sedang dibangunnya, Anies menginginkan bahwa setiap laporan warga itu dilayani oleh Kelurahan dan kecamatan. Tidak perlu capek-capek dan jauh ke Balai Kota.
Alasan Gubernur Anies ini memang kesannya sangat peduli dan perhatian kepada warga supaya tidak jauh-jauh ke Balai Kota. Tetapi Gubernur Anies harus tahu mengapa mereka akhirnya memilih jauh-jauh datang ke Balai Kota. Bukan karena tidak mencoba mengadu ke Kelurahan ataupun Kecamatan, tetapi karena memang mentok disana.
Dan itulah sebabnya mengapa layanan aduan di Balai Kota dibuka. Bukan menggantikan fungsi pelayanan di Kelurahan dan Kecamatan, tetapi karena banyak warga yang tidak puas dengan aduan yang mereka laporkan di Kelurahan dan Kecamatan. Bukan apa-apa, birokrasi kita ini memang haru digerakkan dan diperintah, belum berjalan dengan sendirinya.
Dan karena fokus utamanya adalah warga bisa dilayani dengan baik dan cepat, Ahok sampai memberikan lebih dari satu nomer HP untuk menerima keluhan warga melalui SMS. Meski sudah ada layanan qlue, dll yang sistem Jakarta Smart City, layanan SMS langsung untuk mengakomodir warga yang tidak paham dengan sistem begituan dan masih mengandalkan SMS.
Beda yang dilakukan Gubernur Anies sekarang, kecepatan dan kepuasan warga aduannya diterima dan diselesaikan tidak jadi prioritas utama. Karena Gubernur Anies sudah mengembalikan layanan aduan berjenjang dan memberikan akses aduan dengan sistem Jakarta Smart City, tetapi tidak ada akses untuk bisa langsung melapor kepadanya melalui SMS. Mungkinkah Karena Gubernur Anies tidak mau diganggu oleh warganya??
Itulah mengapa jadinya kesan Gubernur Anies yang dulu saat kampanye dekat dengan warga kini sirna. Gubernur Anies kembali menampilkan sosok seorang Kepala Daerah yang susah disentuh dan susah diakses oleh warganya. Memang layanan aduan di Ibukota masih diterima, tetapi melihat dan mendengar anjuran Gubernur Anies yang berharap warga tidak datang lagi ke Balai Kota membuat kita jadi paham bahwa Gubernur Anies tidak ingin diganggu oleh aduan warga.
Jika dulu warga begitu mudah mengakses aduan atau setidaknya berfoto dengan Gubernurnya, kini yang terjadi sebaliknya. Gubernur Anies memang adalah kepemimpinan primordial dan bergaya kolonial. Pemimpin yang sangat berjarak dengan yang dipimpinnya. Bukan salah meminta warga mengadu ke Kelurahan dan Kecamatan, tetapi bukankah dari dulu memang sudah begitu sistemnya??
Beginilah Gubernur Jakarta Now. Tidak ada lagi kehangatan dan keceriaan. Ini sama saja dengan kita dijodohin oleh seseorang dan lupakan mantan hanya alasan SARA, tetapi akhirnya menderita gara-gara kehangatan mantan dan ketulusannya lebih terasa. Karena yang dijodohin dan karena SARA ini ternyata hanya urusan uang dan harta saja.
Dan itulah yang terjadi sekarang. Jakarta dijodohin dengan orang yang haus kekuasaan dan hanya bagi-bagi anggaran saja dengan DPRD. Dan terlihat jelas apa yang seakrang beredar, banyak anggaran-anggaran aneh dan yang sangat berlebihan. Kongkalikong itu pun kini terbukti dan mereka bahagia bersama-sama dapat bagian.
Jadi, kalau dulu Gubernur dekat dengan warga dan sering bertentang dengan DPRD yang suka ambil uang rakyat, maka kini terbalik, Gubernurnya dekat dengan DPRD dan sepakat APBD penuh kongkalikong, dan menjauh dari rakyat. Sebuah pengalaman berharga untuk Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019.
Kamu mau pilih pemimpin yang melayani atau pemimpin yang dilayani?? Semoga tidak terulang lagi kesalahan memilih pemimpin seperti di Jakarta.
Salam SMS.