Pidato pertama Anies Baswedan pasca dirinya dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta menuai kontroversi. Kata pribumi yang dia ucapkan memancing kegeraman banyak pihak hingga ada yang melaporkan Anies ke polisi. Kegeraman masyarakat bisa dimaklumi karena istilah pribumi itu sendiri adalah istilah yang telah dilarang sejak tahun 1998 dengan dikeluarkannya Impres nomor 26 tahun 1998. Instruksi ini diperkuat dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Saya berpendapat bahwa Anies sebenarnya tidak perlu memanasi situasi dengan kalimat di pidatonya tersebut. Saya justru melihat bahwa isu pribumi akan terus dimainkan hingga tahun 2019 mendatang. Seperti kita ketahui, Anies memenangkan Pilgub dengan memainkan isu SARA. Isu yang dihembuskan ini berhasil membawanya menjadi orang nomor satu di Jakarta.
Melihat keberhasilan Anies, tentu hal ini menjadi peluang emas bagi orang-orang yang membenci Jokowi. Mereka selalu mencari celah untuk menjatuhkan Jokowi. Berbagai isu dihembuskan untuk menjatuhkan beliau mulai dari isu bahwa Jokowi adalah keturunan PKI hingga Jokowi yang anti-Islam. Isu-isu tersebut terbukti telah gagal untuk menjatuhkan Jokowi karena Jokowi dengan mudah dapat mematahkan serangan yang ditujukan kepada dirinya tersebut.
Maka dari itu, isu pribumi pun kembali dimainkan. Saat Pilpres 2014, Jokowi memang diserang kampanye hitam yang mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Tionghoa. Parahnya lagi, mereka membuat orbituari seorang Jokowi dengan nama Oey Hoey Liong. Namun sayangnya saat itu kampanye hitam yang dilancarkan kepada Jokowi gagal untuk membendung beliau menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Melihat kegagalan itu, pihak yang tidak senang dengan kepemimpinan Jokowi terus mencari cara untuk menjatuhkan Jokowi. Apapun caranya. Mereka mendapatkan momen ketika Ahok terpeleset lidah saat berpidato di Kepulauan Seribu. Aksi (yang katanya) damai pun digelar selama berjilid-jilid. Kampanye saat Pilgub DKI beberapa waktu lalu juga berusaha menggiring opini masyarakat untuk memilih pemimpin pribumi-Muslim. Kampanye dengan isu SARA terus dihembuskan dengan tujuan menjatuhkan pertahana yang mempunyai kinerja yang sangat baik. Dan akhirnya isu itu pun berhasil, sang pertahana tumbang bahkan dijatuhi hukuman penjara dua tahun setelah dirinya didakwa bersalah.
Melihat kampanye Pilgub DKI dan hubungannya dengan pidato Anies membuat saya menduga bahwa isu pribumi ini akan terus dimainkan hingga 2019. Hal ini tentu berbahaya, apalagi pada tahun depan kita akan melaksana Pilkada serentak di berbagai daerah. Melihat keberhasilan Anies dengan kampanye SARA nya membuat saya cemas daerah-daerah lain akan menggunakan isu ini untuk meraup suara. Ini tentu tidak baik bagi proses demokrasi kita.
Dan yang lebih mengkhawatirkannya lagi, isu ini akan terus dimainkan hingga Pilpres 2019. Apalagi sekarang sedang ada penggiringan opini bahwa Jokowi anti-Islam karena Perppu Ormas yang mereka anggap tindakan represif Jokowi kepada ormas-ormas radikal. Selain itu, Jokowi juga mempunyai peluang besar untuk dicalonkan dengan Ahok yang mempunyai elektabilitas yang tinggi untuk mendampingi Jokowi di Pilpres dua tahun mendatang. Ahok sendiri diperkirakan akan bebas pada tahun 2019 mendatang. Apabila duet maut Jokowi-Ahok pada Pilpres 2019 nanti terealisasi tentu bakal ada penggiringan opini yang masif, terstruktur, dan sistematis tentang isu pribumi ini.
Hadeh saya jadi pusing melihatnya. Ditengah zaman yang sudah serba terbuka ini masyarakat masih saja ada yang memilih hanya berdasarkan satu kesamaan tertentu ketimbang kinerja dari si pemimpin tersebut. Sulit ini sulit!