Di Jakarta ini wakil rakyat tidaklah menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan apa yang menjadi hak rakyat, tetapi sibuk mementingkan dirinya sendiri dan juga kelompok mereka. Bukan sibuk memikirkan fasilitas dan pelayanan masyrakat, malah sibuk meningkatkan fasilitas dan kesejahteraan diri sendiri.
Itulah mengapa saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat menjadi Gubernur Jakarta, perselisihan dengan DPRD menjadi sajian wajib saat pengesahan APBD. Jikalau Ahok memperjuangkan supaya pembangunan dan kesejahteraan warga Jakarta terjamin, maka seperti biasanya, DPRD memperjuangkan hak-hak mereka.
Beberapa kali terjadi gontok-gontokan sampai akhirnya Ahok melepas diri sebagai kader Gerindra dan serangan kepadanya pun semakin menjadi-jadi. Ahok seperti seorang diri berhadapan dengan DPRD. Meski sudah punya wakil Djarot Saiful Hidayat yang adalah elit PDIP, tidak menyurutkan serangan-serangan DPRD kepada Ahok.
Banyak sekali hal yang dilakukan dalam tawar menawar anggaran yang bahkan sampai menghambat penggunaan APBD untuk pembangunan. Tetapi namanya Ahok, dia tidak bergeming dan sudah punya strategi-strategi untuk mengantisipasi dan mengatasi tingkah laku DPRD DKI yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Saat itulah muncul sebuah mantra yang menjadi terkenal sampai sekarang, ‘Pemahaman Nenek Loe’.
Kegigihan Ahok mempertahankan apa yang menjadi hak rakyat dan menahan DPRD dalam mempermainkan anggaran menjadi sebuah cerita kepahlawanan yang luar biasa. Bahkan terakhir seorang anak mengirim kepada Ahok sebuah gambar dimana Ahok menjadi seorang superhero.
Kini, Jakarta sudah kehilangan superheronya. Djarot akhirnya kewalahan melawan DPRD DKI dan terdesak dengan kondisi dimana Djarot dipojokkan untuk tanda tangan APBD Perubahan atau pembangunan terhambat. Djarot dalam posisi terjepit dan harus memilih dimana posisinya. Apakah dia akan menjadi ‘terpaksa’ melakukannya atau bertahan sampai masalah ini selesai dengan intervensi Mendagri seperti kasus Ahok tahun 2015.
Djarot memang harus bertahan karena kelakuan DPRD ini sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Bayangkan saja, APBD Jakarta 2017 bertambah 1,7 triliun dengan adanya perubahan dari sisi belanja DPRD DKI. Ada dua hal yang menjadi sorotan dari penambahan belanja tersebut, yaitu fasilitas tunjangan mobil sekelas Mercy dan dana jalan-jalan ke Luar Negeri.
Dalam anggaran, tunjangan transportasi sekelas Mercy tersebut menjadi Rp 21 juta perbulan dan anggaran jalan-jalan ke Luar Negeri yang lebih dari US$ 400 per hari. Anehnya, anggaran ini dibuat dengan waktu anggaran yang tinggal 2 bulan lagi. Apa yang bisa dilakukan dengan waktu yang tinggal dua bulan lagi??
Kelakuan mereka ini tentu saja tidak lepas dengan akan digantinya Gubernur Jakarta. Gubernur yang tentunya bisa diajak kongkalikong soal anggaran. Beda dengan Gubernur sebelumnya yang galak soal anggaran, maka Gubernur ini diyakini akan memprioritaskan serapan anggaran mendekati 100 persen dengan proyek-proyek tidak jelas.
Saya berpikir seperti ini bukan karena sinis dan skeptis kepada Gubernur Baru tetapi rekam jejaknya membuktikan bahwa Gubernur Baru ini sangat kuat konkalikongnya. Info dari orang-orang di Kementerian yang dulu dipimpinnya, Gubernur Baru ini diyakini akan membawa gerbongnya dan akan merealisasikan keberpihakannya kepada orang-orangnya yang “miskin” dapat APBD.
Dalam perkembangannya, Djarot memang pada akhirnya merealisasikan fasilitas sekelas Mercy tersebut dan juga jalan-jalan ke Luar Negeri. Sayang memang Djarot tidak bisa sekeras Ahok yang bahkan tidak peduli kalau APBD harus tertahan penggunaannya karena dia selalu punya cara mengantisipasi supaya pembangunan tidak terhambat.
Jakarta tanpa Ahok memang sudah sangat sulit lagi diharapkan perubahan dalam hal APBDnya. Kongkalikong akan terus terjadi. Berharap kepada birokrasi berani bersuara sepertinya akan sangat sulit. Semua tidak akan lagi berani bersuara. Lalu bagaimana caranya supaya hal ini bisa kita lawan??
Salah satu dari banyak caranya adalah menyampaikan hal-hal yang tidak benar tersebut melalui media opini. Saya juga berharap para birokrasi yang ingin melakukan perubahan tetapi tidak berani mau untuk mengirimkan info-info tersebut kepada saya untuk diblow up dan diramaikan. Kalau dulu kita berharap kepada kepala daerah yang memang terbukti bersihnya, maka kini kita yang harus lawan kepala daerah kita.
Jakarta punya Gubernur Baru yang kemungkinan besar akan kongkalikong ini adalah sebuah tanda bahwa sudah saatnya rakyat bergerak dan ikut mengawasi. Jangan biarkan keberpihakan berpaling dari warga Jakarta kepada elit partai, ormas intoleran, dan sekelompok orang. Kalau kita tidak bergerak maka jangan mengeluh dan meyesal kalau Jakarta benar-benar jadi sarang penyamun.
Salam Bergerak.