Pernah mendengar kalimat “1000 kali kebohongan yg diulangi terus menerus, dapat menjadi kebenaran?”. Pada saat pilkada DKI lalu, kata kata tersebut sering kita dengar, namun tahukah Anda, darimana kata kata tersebut berasal? Adalah Joseph Goebbels yang dikenal sebagai Bapak Propaganda Modern yang memperkenalkannya. Bagi yang menggemari sejarah, khususnya sejarah Perang Dunia ke 2, pasti tidak asing dengan nama ini. Namun bagi yang belum tahu, penulis akan menuliskan secara singkat siapa Joseph Goebbels.
Joseph Goebbels adalah seorang Menteri Propaganda Nazi, dan merupakan orang ketiga yang paling populer di Jerman ketika itu, setelah Hitler dan Martin Bormann (ketua Partai Pekerja Nasional Sosialis Jerman)
Teknik propaganda jitu yang diciptakannya diberi nama Argentum ad nausem atau lebih dikenal dengan teknik Big Lie (kebohongan besar). Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sederhana namun mematikan.
Ia juga mempelopori pemakaian film dan radio sebagai media propaganda massal. Dengan menggunakan film dan radio gelombang pendek yang mampu menjangkau berbagai belahan bumi, ia menyebarluaskan doktrin Nazi. Bahkan pada tanggal 18 Februari 1943, ia mengumandangkan Perang Propaganda Total demi menaikkan moral balatentara Jerman di medan perang.
Tekniknya tersebut dikemudian hari banyak ditiru oleh para propagandis di dunia hingga sekarang dan salah satu contohnya adalah pilkada DKI lalu yang memakan korban seorang Ahok + 42% warga Jakarta, namun sebelum penulis membahas lebih lanjut, penulis akan membahas terlebih dahulu siapa arsitek yang ada dibelakang propaganda politisasi masjid, ayat dan mayat tersebut.
Adalah Eep Saefulloh otak yang berada dibalik politisasi masjid, hal ini diakui oleh dirinya melalui video yang beredar luas di Youtube. Eep terinspirasi dari Partai FIS di Aljazair yang memanfaatkan masjid sebagai alat propaganda politik.
Kita sendiri yang berdomisili di Jakarta dapat melihat seberapa brutalnya Pilkada DKI 2017 yang lalu sebagai efek politisasi pemakaian masjid, ayat dan mayat tersebut. Sepanjang pilkada, masjid masjid terutama setiap hari jumat, hampir seluruhnya berisi khotbah politik untuk tidak memilih si kafir, disertai ancaman neraka bagi yang tidak mematuhinya. Berbagai ajakan untuk tidak memilih Ahok sebagai gubernur, menolak menshalatkan jenazah bagi yang memilih Ahok, bahkan perkuburan pun ikut ikutan tidak menerima mayat bagi yang memilih Ahok dengan spanduk bertebaran dimana-mana.
Mereka lupa, bisa jadi para marbot, penjaga masjid yang masjidnya dipakai untuk mencaci maki Ahok, mungkin adalah orang orang yang diberangkatkan oleh Ahok si kafir ini untuk menunaikan Umroh di tanah suci. Apakah Ahok menyimpan dendam? Tidak, beliau tidak dendam sama sekali, kegiatan memberangkatkan para marbot dan penjaga masjid tersebut tetap dilakukannya tanpa memandang siapa yang diberangkatkan, apakah yang diberangkatkan itu adalah yang suka dengan dia atau yang membencinya, apakah yang diberangkatkan itu adalah orang yang ikut menghina, mencaci maki, atau mengutuk dirinya, bahkan setelah beliau tidak menjabat lagi, dipenjara dan dilanjutkan dengan uang pribadinya, puluhan bahkan ratusan yang telah menerima kebaikan hatinya tanpa pernah dia bertanya, eh waktu pilkada kemarin kamu pilih siapa?
Pertanyaan saya, ada berapa pemimpin daerah atau pengusaha atau orang kaya yang mampu melakukan apa yang dilakukan oleh Ahok? Jawabannya banyak, namun coba perhatikan, biasanya yang diberangkatkan adalah anggota keluarganya, pembantunya, karyawannya, tetangganya, artinya yang diberangkatkan itu adalah orang orang yang dikenal, punya hubungan darah, punya jasa, ataupun pernah berbuat baik kepada yang memberangkatkan.
Pertanyaan saya berikutnya, ada berapa orang yang seperti Ahok yang mau memberangkatkan orang yang tidak dikenalnya, yang mungkin pernah dan masih membenci dirinya, pernah mencaci maki dirinya, pernah mengutuk dirinya? Jawabannya yang saya ketahui sampai sekarang, hanya AHOK, THE ONE AND THE ONLY, bila ada yang lain, tolong kasih tahu saya.
Baiklah, kita kembali lagi ke Eep. Pada saat dirinya mencetuskan ide untuk memanfaatkan masjid sebagai alat politisasi, apakah dirinya pernah berpikir bahwa memperalat tempat suci untuk kampanye adalah tindakan yang tidak etis atau bahkan mencoreng kesucian tempat ibadah itu sendiri? Apakah dia pernah berpikir, politisasi tersebut hampir berakibat rusuh dan merobek tenun kebangsaan yang didengung dengungkan Anies? Tidak. Apa yang dia pikirkan? Yang penting saya bisa menangkan siapa yang bayar saya walaupun itu harus menggunakan cara kotor sekalipun, itu pemikirannya menurut penulis.
Apa yang dilakukan Eep, tidaklah berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh Saracen, keduanya sama sama menghalalkan segala cara untuk memenangkan pihak yang membayarnya, bedanya Eep bisa berlindung dibalik status sebagai Konsultan Politik sehingga tidak bisa dijerat oleh hukum, toh dia bisa beralasan cuman mengusulkan, memberi ide, memberikan nasihat dan masukan, tapi dia tidak turun tangan sendiri.
Eep Saefulloh mencontoh dengan baik Joseph Goebbels, bila Joseph Goebbels memanfaatkan radio, televisi, film untuk melancarkan propagandanya menyatukan rakyat Jerman melawan negara lain, maka Eep Saefullah memanfaatkan corong corong masjid, spanduk, sosmed, untuk memecah belah, mengkotak kotakkan sesama saudara sebangsa untuk saling membenci dengan berselimutkan agama.
Percayalah, apa yang dia lakukan terhadap Ahok, akan mampu dia ulangi lagi pada saat pilpres 2019 nanti, bahkan bisa jadi lebih brutal dan lebih kasar.
Seandainya dia berdiri dipihak lawan Jokowi, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya propaganda juga, propaganda harus dilawan dengan propaganda.
Mulai sekarang, propagandakanlah kerja dan hasil kerja Jokowi, mulai sekarang, propagandakanlah keberhasilan Jokowi dalam pemenuhan janji janji kampanyenya, mulai sekarang, propagandakanlah bahwa memanfaatkan masjid untuk politisasi adalah melanggar kesucian tempat ibadah itu sendiri, mulai sekarang, propagandakanlah bahwa orang orang yang memakai agama untuk mencapai ambisi politiknya adalah orang orang yang kotor, picik dan tidak bermoral.
Baca dan sebarkanlah hal hal yang positif mengenai pemerintah, manfaatkan sosmed kita untuk membantu penyebaran tersebut. Bila mereka mampu memanfaatkan sosmed mereka untuk menyebarkan hoak dan fitnah, kenapa kita tidak bisa menggunakan sosmed kita untuk menyebarkan hal yang baik dan positif yang telah dilakukan oleh pemerintah?
Kita harus lebih agresif, lebih brutal, lebih militan bukan dalam arti fisik atau otot tapi otak, kita harus lebih ulet tapi dalam arti semangat, semangat untuk mendukung perubahan dan pembangunan di negara ini
Genderang perang Pilpres 2019 telah ditabuh pada pilkada DKI 2017 kemarin, saatnya kita bangkit berperang menggunakan gagasan, pengaruh, ide, konsep melawan mereka mereka yang terkungkung fanatisme dangkal dan radikalisme sempit.
Salam Jokowi 2 periode