Sebenarnya sangat sayang sekali kita harus membuktikan kebenaran pernyataan Ahok bahwa kalau kepala lurus maka semua bawahannya bakalan lurus. Walau tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi usaha Ahok terlihat nyata dengan semakin baiknya birokrasi dan bersemangatnya para pasukan pelangi karya Ahok.
Dan semua pernyataan itu terbukti tidak butuh waktu lama-lama. Tidak sampai sebulan, Jakarta berubah karena kepalanya sudah berganti. Ketika kepala Jakarta penuh retorika dan kajian-kajian yang ujung-ujungnya kepentingan, maka yang ada adalah kesemrawutan dan sebuah kinerja dan produktivitas yang jauh menurun. Karena bawahan jadi lebih banyak waktu memahami perintah dan kebijakan atasan daripada berkerja.
Bayangkan saja saat rapat, Walikota bertanya, malah disuruh memikirkan sendiri solusinya. Padahal dia yang membuat ide dan gagasan, malah orang yang disuruh mengejewantahkannya. Yah harus punya konsep dan realisasi yang jelas dong sebagai kepala. Dimana-mana, kepala yang atur semua mau bergerak kemana. Kecuali ini kepalanya dodol dan entok kagak ngerti apa-apa.
Dan pada akhirnya semua terbukti. Kepala daerah cuman lari, datang peresmian, foto-foto, rapat mengambang, dan semua berjalan dalam dunia penuh kebingungan. Bingung bukan karena bodoh, tetapi karena sok tahu dan menerima jabatan di luar kemampuannya. Mereka pikir jadi kepala daerah itu seperti jadi Rektor dan Pengusaha?? Tidak bisa.
Daerah itu tidak sama dengan Univrsitas dan juga perusahaan. Begitu jelimet dan rumit. Kalau tidak punya wawasan yang jelas, maka akan sangat sulit menanganinya. Apalagi tidak punya pengalaman memimpin dan kalau ada malah yang ada kegagalan. Jakarta itu punya masalah yang kompleks dan rumit dan kepalanya harus lugas dan tegas tanpa kerumitan.
Apalagi kini memasuki musim hujan dan Jakarta akan mulai mendapatkan air banyak dari hulu dan juga dari daerahnya sendiri. Banjir tinggal tunggu waktu saja. Dan kalau mau cerdik, tidak usah pusing kaji mengkaji, tinggal lanjutkan saja program Ahok. Tetapi yaitulah namanya gengsi, akhirnya malah warga yang jadi korban.
Warga mulai mengeluhkan lambatnya penanganan dan antisipasi banjir pemerintahan provinsi Jakarta. Pasukan oranye yang dahulu sigap kini mulai jarang terlihat. Padahal, saat jaman Ahok, pasukan oranye selalu sigap saat ada tanggul jebol dan membantu masyarakat di sekitarnya.
“Semenjak (Jakarta) dipimpin Anies-Sandi (Gubernur-Wakil Gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno), pasukan oranye jadi kurang sigap,” ucap Reza sambil membersihkan lumpur sisa lumpur yang berasal dari kali.
“Kerjanya (pasukan oranye) sudah enggak kaya dulu lagi, waktu zamannya Pak Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama), (kerja pasukan oranye) bisa dari pagi ketemu pagi lagi. Ini cuma ketemu siang tadi saja,” kata dia.
Dan akhirnya benarkan apa yang sudah kita prediksi. Bahwa ganti Gubernur akan berganti suasana dan iklim birokrasinya. Apalagi kalau yang mengganti sejak awal kita sudah tahu adalah orang gagal dan tidak becus, dan yang satu lagi kerjanya cuma lari dan tipu menipu. Hal-hal begini dengan alamiahnya akan terjadi tanpa kita perlu melakukan sabotase.
Beda dengan Jokowi-Ahok yang harus ada sabotase baru terlihat gagal, Anies-Sandi tanpa diapa-apain pun sudah gagal. Itulah apa yang dikatakan dalam ilmu manajemen, gagal dalam berencana itu artinya merencanakan kegagalan. Gagal memilih kepala daerah, itu berarti merencanakan pembangunan daerah yang gagal.
Lalu apa yang bisa dilakukan?? Tidak lain dan bukan adalah warga terus mendesak supaya Anies-Sandi bisa terus bergerak dan berkerja. Menghentikan aksi-aksi retorika dan hal-hal bodoh yang terus mereka lakukan. Jangan sampai mereka ini santai-santai dan malah kita diadu dengan bawahan mereka.
Apalagi Gubernur Anies sudah mengatakan bahwa kalau ada yang salah maka atasanlah yang bertanggung jawab. Kalau ada ketidakbenaran seperti ini, maka kepalanya lah yang harus bertanggung jawab. Turun ke lapangan dan melihat langsung apa yang terjadi. Bukan memonitor melalui Jakarta Smart City buatan Ahok.
Beberapa hari ini kita akan terus melihat warga membandingkan kinerja Ahok dan Anies. Padahal kalau mau aman dan tidak gengsi, Anies tinggal lanjutkan konsep Ahok kok. Tetapi karena ingin menghilangkan jejak Ahok dan ingin terlihat pintar (padahal sok tahu), maka penanganan menjadi lambat begini.
Apakah warga Jakarta sudah mulai merindukan Ahok?? Bagaimana JKT 58, masih mau salah memilih pemimpin di 2019??
Salam Jokowi-Ahok.